Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Penyembuhan Cara Sufi

Judul: Penyembuhan Cara Sufi
Penulis: Saykh Ghulam Moinuddin
Penerjemah: Arif Rakhmat
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, 1999
Buku Bekas (cukup)
Terjual Sampang
 

Seorang diplomat muda di Islamabad, Pakistan, pernah mengajak saya makan siang. Semula saya menolak. Kikuk. Tapi, kemudian dia mengutip sebuah hadis Nabi: "Makan pagi sendirian adalah makan bersama setan. Makan bersama satu orang yang lain adalah makan bersama tiran. Makan bersama dua orang lain adalah makan bersama para nabi."

Saya terkejut. Usut punya usut, diplomat tadi ternyata aktif mengikuti pengajian pada salah satu tarikat sufi (Chistiyah) yang banyak berkembang di Pakistan. Kesederhanaan, kebersamaan, dan gaya hidup lainnya yang diajarkan kaum sufi memang mulai ramai diikuti orang. Terutama di kota-kota metropolis, yang kental dengan warna individualistis.

Maka, meskipun sufisme pernah dikecam sebagai sekte yang paling bertanggung jawab atas kemunduran umat selama berabad-abad, warna esoteriknya ternyata tetap mampu menarik umat Islam untuk menyelaminya. Salah satu warna esoterik itu adalah penyembuhan penyakit, yang acap diderita manusia modern, dengan cara-cara sufistik.

Dalam menghadapi kehidupan yang fana ini, kaum sufi biasanya menekankan pentingnya puasa. Sebab, seperti sabda Rasulullah SAW, perut adalah rumah segala penyakit. Dan pengaturan makanan adalah obat utamanya. Berdasar pada hadis ini, kaum sufi kemudian menawarkan konsep hidup yang terkristalisasikan dalam tingkatan-tingkatan kehidupan.

Tingkatan itu dikenal sebagai fana fi syaikh (melebur diri dengan guru), fana fi mursyid (melebur diri dengan mursyid), fana fi rasul (melebur diri dalam bayangan Rasulullah), dan terakhir fana fi'Llah (penyatuan yang menyeluruh pada kuasa Allah). Harap diingat, sufisme selalu mengembangkan ajarannya dengan tak melepaskan silsilah guru, atau mursyid.

Maka, mengutip Syeikh Abd. Qadir Jailani, tokoh sufi asal Irak, pengembangan sufisme tanpa guru adalah belajar pada setan. Pada periode fana fi mursyid, umpamanya, seorang sufi hidup mengikuti jalan kehidupan gurunya. Mulai dari tata cara makan sampai pada sifat keseharian. Kemudian, bila secara fisik manusia berkembang dalam beberapa tahapan, mulai dari masa bayi hingga masa tua, secara kejiwaan pun semestinya manusia berevolusi.

Dalam istilah sufi, evolusi itu disebut maqamat (stasiun kehidupan). Maqamat itu dibagi ke dalam lima tingkatan: maqamat an-nafs (perhentian ego), maqamat al-qalb (perhentian kalbu), maqamat ar-sirr (perhentian roh murni), maqam al-qurb (perhentian kedekatan dengan Allah), dan maqam al-wishal (perhentian penyatuan dengan Allah). Pada tahapan terakhir itu, seorang sufi telah jadi wali yang dapat membaca tanda-tanda "ilmu Allah".

Sakit, yang merupakan problem fisik dan empirik, ternyata sangat erat kaitannya dengan perkembangan kejiwaan ini. Bila seseorang masih dalam tahapan maqam an-nafs, dia bukan saja rentan terhadap penyakit, melainkan juga sering dikuasai penyakit itu. Sampai pada tahap al-wishal, manusia jadi kebal terhadap sakit fisik, bahkan bisa merasakan api sebagai sesuatu yang dingin.

Pada bagian ketujuh buku ini, Saykh Moinuddin secara khusus membahas berbagai penyakit yang biasa diderita masyarakat modern, dan terapinya secara sufistik. Bronkitis, ternyata, bisa disembuhkan dengan ramuan dua sendok akar kayu manis, dua sendok miarmi, dan 12 sendok madu (halaman 125). Untuk penderita diabetes, rajin-rajinlah salat wajib. Sebab, bila dikalkulasi, dalam salat lima waktu terjadi 119 kali perubahan postur fisik yang mempengaruhi metabolisme organik tubuh untuk kelancaran darah (halaman 172).

Buku ini berhasil memberikan nuansa baru tentang sufisme, terutama kaitannya dengan penyembuhan alternatif. Saykh Ghulam Moinuddin, yang berafiliasi pada sufisme Chistiyah, melakukan studi lapangan selama hampir satu dekade, sebelum membukukan hasilnya. Sayangnya, penerjemah tidak memeriksa kesahihan hadis-hadis yang dikutip Saykh Moinuddin.

Sebab, ada beberapa hadis, baik dari segi matan (teks), sanad (silsilah), maupun tarikh (historis), perlu diteliti ulang. Misalnya, kutipan hadis, "Tak seorang pun wanita hamil yang memakan melon akan mengalami kegagalan dalam menghasilkan keturunan yang baik wajahnya dan karakternya" (halaman 107). Hadis ini ternyata telah dikritik oleh banyak ulama akan kesahihannya. Inayatullah Hasyim

Alumnus International Islamic University, Islamabad