Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh

Judul: Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Penulis: Doni Koesoema A.
Penerbit: Kanisius, 2012
Tebal: 251 halaman

Pendidikan karakter kian hari semakin santer diperbincangkan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Indonesia yang makin memprihatinkan. Pasalnya, korupsi, disorientasi wakil rakyat, tawuran pelajar dan mahasiswa, budaya mencontek, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hingga seks bebas kian merajalela.

Sejatinya, wacana pendidikan karakter bukanlah barang baru di Indonesia. Jika kita tengok sejarah kurikulum nasional, pendidikan karakter pernah diajarkan secara eksplisit di sekolah-sekolah formal dalam mata pelajaran pendidikan budi pekerti pada 1960-an. Di era Orde Baru, pendidikan karakter direpresentasikan dalam kebijakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan pendidikan moral Pancasila (PMP).

Berakhirnya era Orde Baru menandai peralihan PMP ke pendidikan kewarganegaraan. Pasca-reformasi, pendidikan karakter tampil bukan melalui pembelajaran nilai-nilai moral, melainkan pada dimensi religius keagamaan yang menekankan iman dan takwa (imtak) serta akhlak mulia. Tapi, mengapa perbuatan amoral justru makin meningkat di berbagai lini?

Doni Koesoema dalam buku ini mencoba mengurai akar problematika pendidikan karakter kita selama ini. Menurut dia, masalah pendidikan karakter kita ada pada landasan filosofis dan asumsi dasar dalam memahaminya. Selama ini, kita memakai landasan filosofis dan asumsi dasar pendidikan karakter yang kurang kokoh. Walhasil, strategi penerapan pun kurang memadai, bahkan kontraproduktif.

Satu hal paling mendasar sebelum mendesain pendidikan karakter adalah pemahaman antropologi pendidikan yang kita yakini. Membicarakan antropologi pendidikan sama dengan bertanya ihwal pemahaman tentang siapa manusia itu. Sebab manusia adalah subjek sekaligus objek pendidikan. Defisit konsepsi tentang manusia akan melahirkan praksis pendidikan yang defisit pula.

Dalam konteks ini, Doni melihat manusia dalam dua bentuk. Pertama, manusia sebagai penghayat nilai. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya sendiri dan masyarakatnya. Dari situ, ia dapat membaktikan diri pada nilai-nilai hidup yang ia yakini bermakna bagi hidupnya dan orang lain. Melalui penghayatan nilai ini, pendidikan karakter memperoleh roh yang kuat, baik dalam diri sendiri maupun masyarakat.

Kedua, manusia sebagai pelaku sejarah. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan akan menjadi seperti apa di masa depan. Proses pembentukan identitas diri ini berjalan dalam ruang dan waktu. Proses ini terjadi dalam perjumpaan dengan banyak individu lain. Di sinilah pendidikan karakter berfungsi sebagai blue print manusia dalam mencetak sejarahnya.

Selanjutnya, diperlukan sebuah konsensus tentang pendidikan karakter. Terminologi pendidikan mungkin relatif sama di kalangan pelbagai pakar. Tapi, untuk term "karakter", sering terjadi perdebatan sengit. Di satu sisi, karakter dipahami sebagai takdir (given). Di sisi lain, ada yang memahami karakter sebagai sesuatu yang dikehendaki manusia.

Jika ingin memaknai pendidikan karakter secara progresif, tentu kita harus mengabaikan konsep pertama. Sebab ia di luar kehendak manusia dan tidak dapat diganggu gugat. Doni pun memaknai pendidikan karakter sebagai suatu kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau hanya berhenti atas determinasi kodrati. Juga sebuah usaha untuk hidup semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan diri terus-menerus.

Ketika pemahaman ini diterapkan dalam konteks lembaga pendidikan, akan muncul dua dimensi pertumbuhan penting. Pertama, pertumbuhan individu ke dalam, mengarah pada pengembangan kemampuan transendental individu sebagai makhluk bermoral dan spiritual. Kedua, pertumbuhan individu yang mengarah ke luar, kaitannya dengan relasi sosial. Dengan asumsi dasar bahwa manusia tumbuh dalam kebersamaan, membangun tatanan masyarakat, corak relasi, menghargai perbedaan adalah fondasi kehidupan sosial.

Itulah yang digagas Doni dalam buku ini sebagai pendidikan karakter utuh menyeluruh. Sebuah proses pembentukan individu menjadi pribadi yang mampu menumbuhkan dimensi interioritasnya sebagai manusia serta eksterioritas mereka menjangkau orang lain, masyarakat, dan harapan hidup bersama yang lebih baik.

Mansata Indah Dwi Utari
Guru di Yayasan Pendidikan Assalam Kradenan, Grobogan, Jawa Tengah