Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pierre Bourdieu Arena Produksi Kultural

Judul: Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya
Penulis: Pierre Bourdieu
Penerbit: Kreasi Wacana
Tebal: 396 halaman
Kondisi: stok lama (bagus)
Harga: Rp. 65.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312
 

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis, mencoba untuk mendamaikan perdebatan adanya pengaruh individu ke dalam masyarakat dan sebaliknya. Sehingga terdapat proses eksternalisasi internal dan internalisasi eksternal individu dalam masyarakat. Dalam menjelaskan struktur masyarakat, Bourdieu mengenalkan istilah agen, habitus, capital, dan arena. Agen diartikan sebagai individu-individu dalam masyarakat yang pada akhirnya akan membentuk struktur. Habitus merupakan cara mempersepsi agen dalam memandang suatu hal yang dihadapinya. Sehingga, habitus merupakan bagaimana agen memandang sesuatu, lalu dipikirkan, dan berlanjut pada tindakan yang akan diambilnya.

Sementara itu, capital dijelaskan sebagai modal utama agen dalam suatu arena. Capital tidak selalu identik dengan modal berupa material. Tapi bisa berbentuk kemampuan tertentu yang dimiliki agen, seperti kemampuan intelektual atau kemampuan menulis. Jika agen memiliki capital yang besar sesuai dengan hukum dan kultural arenanya, maka ia akan dapat lebih unggul dibandingkan lainnya. Dalam pertemuan antara satu agen dengan agen yang lain, terdapat istilah yang disebut arena. arena pun bermacam-macam. Bourdieu menyebutkan beberapa arena dalam penjelasannya yaitu arena ekonomi, pendidikan, politik, dan kultural.


Dalam arena-arena tersebut, terdapat benturan nilai-nilai karena keragaman agen dalam hal kapital. Di sini, Bourdieu terfokus pada pembahasan seni. Sebuah karya seni tidak dipandang hanya sebagai seni. Tapi juga mengandung fungsi sebagai objek simbol dan komoditas. Sehingga, para pembuat karya seni memiliki tugas untuk menyampaikan makna yang ingin disampaikannya pada pengamat. Namun, seringkali kerja produksi seni tersebut berbenturan dengan faktor patron dari sisi eksternal pekerja seni yaitu kolektor seni. Sehingga hal tersebut tentu dapat mengusik kebebasan seniman. Maka seniman sebisa mungkin terlepas dari faktor patron tersebut dalam kerja seninya. Pertentangan antara seni sebagai simbol maupun komoditas sebenarnya merupakan benturan antara arena seni dan arena kekuasaan.

Pada bagian kedua buku ini, Bourdieu menjelaskan kontradiksi kedua arena tersebut dengan mengulas novel berjudul sentimental education karangan Flaubert, seorang Sosiolog. Dalam novel tersebut, diceritakan seorang tokoh bernama Frederic yang terombang-ambing dalam kedua arena tersebut. Di satu sisi, ia jatuh cinta pada nyonya Arnoux, seorang seniman. Sedangkan di sisi lain, ia ingin menjadi seorang seniman dengan bantuan modal seorang bankir, Dembreusse.

Tidak hanya itu, Frederic juga terlibat perasaan cinta pada tiga perempuan lain lagi yaitu Rosannette, perempuan simpanan Tuan Arnoux, Nyonya Dembreusse, dan Louise Roque, gadis yang jatuh cinta padanya. Selain itu, Flaubert juga menampilkan tokoh tiga pemuda lain dengan capital yang berbeda-beda pula. Sehingga Bourdieu mencoba untuk menguraikan karakter-karakter tersebut dalam konsep arena kekuasaan Sentimental Education.

Melalui penguraian novel tersebut, Bourdiue menjelaskan kontradiksi antara arena seni politik dalam dunia seni Arnoux sebagai seniman dengan arena politik dan bisnis dalam dunia Dembreusse sebagai bankir.

Bourdieu menilai, dikarenakan Flaubert seorang sosiolog, ia cenderung untuk mengungkapkan kebenaran. Sedangkan dalam teks sastra, justru yang dilakukan dengan membiarkan sesuatu tetap tak tersirat secara eksplisit. Sementara yang terjadi pada Flaubert dalam karya novelnya, ia seperti membentuk gambaran sosiologi sekaligus menunjukkan kondisi sosiologisnya sendiri.

Sehingga dalam memahami novel karya Flaubert terdapat beberapa manfaat yang dapat diambil pembacanya. Pertama, dapat memahami keterkaitan antara arena sastra dengan arena kekuasaan. Kedua, terdapat pemahaman pula terdapat dominasi arena kekuasaan atas arena seni. Maka, dalam hal ini, Bourdieu membagi tiga posisi arena sastra yang muncul yaitu seni sosial, seni untuk seni, dan seni borjuis. Pendukung seni sosial menginginkan agar sastra berfungsi secara sosial dan politis. Para pendukung seni untuk seni berada dalam struktur yang sentral. Sedangkan seni borjuis terikat pada kelas dominan dikarenakan gaya hidup dan sistem nilai mereka yang cenderung menerima penghargaan dan simbol dari akademi yang telah terinstitusi.

Setelah mengulas konsep dalam struktur sosiologi dan karya sastra yang dijelaskan melalui konsep arena, Bourdieu menjelaskan teknik penguraian terhadap makna seni. Dalam menguraikan makna seni, tidak dapat dilepaskan dari latar belakang seniman dan pengamatnya.

Sehingga, suatu karya seni akan lebih sempurna dan lengkap jika ada keterlibatan kedua subjek tersebut dalam penguraian makna suatu karya seni. Hanya saja, seringkali dalam pemaknaan tersebut, terdapat produksi massal persepsi seni yang dibentuk melalui institusi formal seperti sekolah. Dari uraian Bourdieu dalam buku tersebut, terlihat jelas bagaimana ia menunjukkan pengaruh antara individu dengan masyarakat atau sistem dalam arena. Hal itu tentu sangat relevan untuk menjelaskan struktur sosial dan keadaan masyarakat saat ini dimana setiap agen memang harus memiliki capital dalam arenanya masing-masing.

Namun, dalam menjelaskan keseluruhan pendekatan sosiologinya, Bourdieu menggunakan bahasa yang agak sulit dicerna. Sehingga untuk memahami secara mendalam asumsi-asumsinya perlu pembacaan berulang kali.

Khalisotussurur, mahasiswi semester 7 Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta