Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa

Judul: Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-medio abad XX)
Penulis: Prof. Dr. Joko Sukiman
Penerbit: Bentang Budaya, 2000
Tebal: 418 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok kosong

Menelaah peradaban yang sudah hilang. Kita pun mafhum asal pemujaan pada Barat dan kemewahan. Ketika imperialisme berjaya, ada gambaran tipikal para kolonialis Belanda: bangun kesiangan, lalu membunyikan lonceng dari ranjang memanggil pembantu. Setelah dimandikan, ia makan pagi yang mewah dan berkuda mengelilingi kebun yang luas. Hidup bersenang-senang di alam tropika yang bagai surga. Itulah gambaran Hindia permai, mooi Indie.

Kemewahan itulah yang terekam pada catatan P.P. Roorda di Pesangrahan Tjiampea pada awal abad XIX. Ada juga kebiasaan menjamu para petualang terkenal dari sesama negeri kolonial di Eropa. Misalnya saja, James Cook, sang "penemu" Benua Australia yang masyhur, pernah menikmati kemewahan mooi Indie di landhuizen (rumah besar dengan halaman luas) milik Van der Parra.

Gaya hidup para "toean" ini memang amat boros. Rumah Tjiteureup milik Mayor Jantje di tahun 1833, misalnya, sampai menampung 320 budak. Mereka mendapat tugas kerumahtanggaan, dari "pengawas selokan" sampai "pengawas sarang burung walet". Tentu saja kemakmuran luar biasa karena kemajuan lembaga kongsi Belanda abad ke-17: VOC.

Gambaran mooi Indie seperti itu adalah citra ideal peradaban, kebudayaan, gaya hidup Indis. Tapi tak selamanya gaya hidup Indis berbentuk kemewahan. Kebudayaan Indis, menurut Djoko Soekiman dalam buku ini, adalah perpaduan kebudayaan Belanda dengan Jawa akibat kontak budaya yang erat antara keduanya sejak abad XVIII hingga medio XX (halaman 39- 44). Singkatnya, kebudayaan Indis lahir setelah Belanda hadir di tanah Jawa. Dari perpaduan budaya yang terjadi, lahirlah suatu masyarakat baru, masyarakat campuran, yang disebut masyarakat Indis.

Sebagai hasil masyarakat campuran, kebudayaan Indis adalah kebudayaan gado-gado atau kebudayaan bazar (halaman 37). Mulanya, budaya ini terasa ganjil baik bagi bangsa Belanda "asli" maupun bagi pribumi. Di mata pribumi (Jawa), kebudayaan Indis dianggap kasar, sedangkan di mata orang Belanda dianggap rendah dan aneh.

Djoko Soekiman melakukan pendekatan unik dengan meminjam konsep antropologi "tujuh unsur universal kebudayaan" dari Kluckhon yang dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat di Indonesia. Pendekatan ini unik, karena Soekiman mencoba memadukan konsep antropologi dengan sosiologi dalam kajian sejarah.

Itu pula yang dianjurkan Sartono Kartodirdjo untuk memahami fenomena kebudayaan Indis. Masalahnya, konsep Kluckhon sendiri dianggap agak kasip, karena perkembangan antropologi makin meninggalkan "universalisme" menuju "partikularisme" seperti yang dicontohkan Geertz.

Kelemahan utama buku ini adalah seringnya Soekiman terjebak pada sikap Jawa-sentris. Walaupun "Jawa" adalah ranah penelitian disertasi ini, Soekiman tak semestinya abai terhadap perpaduan budaya non-Jawa, khususnya Ambon, dan Belanda dalam kebudayaan Indis. Kelemahan lain adalah penyakit umum sebuah kajian sejarah: ditulis dengan amat "kering". Data-data penting direntang dengan "dingin".

Walau demikian, buku ini amat baik memaparkan sebuah peradaban, kebudayaan, yang amat penting tapi telah hilang. Kebudayaan Indis dianggap telah mati ketika Jepang menjejakkan kakinya di Nusantara pada 1942. Represi Jepang selama tiga tahun efektif membunuh kebudayaan Indis.

Tapi benarkah (pengaruh) kebudayaan Indis telah lenyap? Soekiman meminjam petuah Ibnu Khaldun saat mengatakan bangsa terjajah selalu meniru budaya bangsa penjajah. Dan budaya Indis adalah sebuah tonggak penaklukan itu.

Membaca buku ini, kita bisa memahami salah satu akar gaya hidup yang memuja kemewahan dan dunia Barat di negeri ini. Apalagi, ketika Soekiman kemudian menyamakan kebudayaan Indis dengan kebudayaan priayi baru yang tumbuh di Hindia (halaman 37). Maka, kita tahu, sampai kini pun mentalitas priayisme masih subur di negeri ini.

Hikmat Dharmawan
Anggota Komunitas Budaya Musyawarah Burung