Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bharatayuda: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari

Judul: Bharatayuda: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari
Penulis: Wawan Susetya
Penerbit: Kreasi Wacana, 2007
Tebal: 412 halaman
Kondisi: Buku stok lama (bagus)
Harga: Rp. 55.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312 


Perang Bharatayuda Jayabinangun tidak sekadar menceritakan kedahsyatan perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa. Lebih dari itu, muatan filosofi yakni penundukan hawa nafsu untuk mendapatkan kemuliaan hidup tersaji secara komprehensif dalam peristiwa berdarah ini. Sengsara dan derita adalah buah dari hasrat atau keinginan yang sangat.

Dalam terminologi agama samawi, melalui hasrat atau ambisi inilah setan merasuki darah, akal, dan jiwa umat manusia. Kita (manusia) yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk terbaik-Nya, turun derajatnya menjadi makhluk yang hina-dina.

Hakikat nyata dari hasrat yang membabi-buta dalam tragedi berdarah perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa, tampak pada profil Prabu Mahabisa (dalam kisah pewayangan juga dikenal sebagai Prabu Sentanu atau Prabu Maha Bima). Raja agung binathara Astina yang pernah menyelenggarakan sesaji Acwamedha seribu kali dan Rajasuya seratus kali—sebagai pemujaan menurut kepercayaan agama Hindu—ini harus terusir dari Kahyangan dan turun ke Madyapada karena hasrat dan syahwatnya yang amat sangat untuk melihat aurat Dewi Gangga. Dalam konteks ini, adagium “kuasa, harta, dan wanita” yang sering kali ‘menggoda’ para penguasa dan pemimpin, ada benarnya.

Simak juga bagaimana ambisi Dewi Durgandini agar anak-anak keturunannya kelak menjadi Raja Binathara. Hasrat dan ambisi akan kekuasaan ini menjadikan alas (padang) Kurusetra ‘banjir darah’ dari saru keluarga besar kerajaan, Kurawa dan Pandhawa.

Dari peristiwa tragis ini (kedahsyatan perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa) terpampang jelas berbagai perwatakan manusia. Dari watak yang terjahat hingga watak yang mulia. Masing-masing watak ini akan membawa konsekuensinya masing-masing.

Bisakah kita membayangkan jika manusia tak terbebani keinginan atau hasrat? Sebuah hasrat (keinginan)—untuk tidak menyebut ambisi—ternyata bisa membelenggu hati manusia. Lebih-lebih jika keinginan yang tersimpan di dalam hati itu adalah keinginan besar yang bersifat keduniawian. Hasrat besar ini akan menggiring hati menjadi nafsu serakah dan membahayakan hidupnya. Buku karya Wawan Susetya berjudul Bharatayuda: Ajaran, Simbolisasi, Filosofi, dan Maknanya bagi Kehidupan Sehari-hari ini mengungkap filosofinya.

Kisah perang saudara yang maha dahsyat antara Kurawa dan Pandhawa yang dikenal dengan Perang Bharatayuda Jayabinangun ini dipicu oleh perebutan kekuasaan atau takhta atas Kerajaan Astina. Konon, perang sengit ini tidak hanya terjadi di zaman Kurawa dan Pandhawa, namun sesungguhnya telah dimulai semenjak leluhur mereka.

Keinginan pertama dimulai dari Prabu Sentanu, Raja Astina, yang berhasrat menikahi Dewi Durgandini (dalam pewayangan dikenal juga sebagai Dewi Gandawati alias Dewi Lara Amis, Dewi Setyawati, atau Dewi Syayojanagandi) yang cantik jelita. Dikarenakan beberapa tahun hidup tanpa prameswari, membuat Prabu Sentanu kesepian dalam hidupnya.

Hingga di suatu hari ketika sedang berburu di hutan Astina, Prabu Sentanu bertemu dengan Dewi Durgandini yang dari tubuhnya memancarkan aroma harum semerbak. Sang Prabu kemudian berhasrat mempersunting sang Dewi nan cantik jelita ini. Namun calon prameswari Kerajaan Astina ini memberi persyaratan yang tidak mudah (berat) kepada Prabu Sentanu. Dewi Syayojanagandi alias Dewi Durgandini mau dinikahi, asalkan anak keturunannya kelak harus dinobatkan menjadi Raja Binathara di Kerajaan Astina!
Tuluskah keinginan Dewi Durgandini, janda cantik bekas istri Begawan Palasara beranak satu, yakni Wiyasa Kresna Dwipayana (Abiyasa) ini? Mantan suaminya, Begawan Palasara adalah pertapa yang berkhidmat melakukan semadi di Pertapaan Wukiratawu (Saptaarga). Apa jadinya jika keinginan diimbangi dengan keinginan pula? Padahal, takhta Kerajaan Astina telah dipersiapkan untuk Sang Pangeran, Raden Dewa Brata, sebagai pewaris takhta kerajaan yang sah yang akan menjadi Prabu di Kerajaan Astina.

Kisah legendaris dalam Babad Mahabharata (Keturunan Darah Bharata) ini merupakan karya besar Abhiyasa (nama aslinya Viyasa) dari India. Entahlah, penulis karya sastra besar (pujangga) tersebut masuk ke dalam cerita Mahabharata karena nama Abhiyasa (Wiyasa) ada dalam epik Mahabharata. Wiyasa adalah putra Begawan Palasara dengan Dewi Setyawati di Pertapaan Saptaarga atau Wukiratawu.

Tragedi perang saudara antara Kurawa dan Pandhawa dalam epik Bharatayuda Jayabinangun ini menjadi pelajaran penting bagi umat manusia secara universal. Kisah tragis ini syarat pelajaran penting, dan filosofinya membumi ke dalam kehidupan kita hingga kini.

Syafruddin Azhar, kolumnis.