Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Perburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi

Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Perburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi
Penulis: Reza A.A. Wattimena
Penerbit: Kanisius, 2012
Tebal: 208 halaman

Korupsi dan perilaku korup tidak saja karena sistem pemerintahan buruk. Banalitas korupsi turut dipengaruhi libido, hasrat manusia. Kuasa manusia didorong kenikmatan semu menjerumuskannya ke dalam kubangan pengkhianatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi pun dianggap wajar.

Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba yakni, kehendak untuk berkuasa, dan dorongan berkuasa membutakan segalanya. Buku ini meneropong sisi kelam pada diri manusia hingga ia menjerumuskan tubuh dalam korupsi.

Reza Wattimena memandang, korupsi atau tindakan korup berawal pada kehendak pribadi seseorang. Manusia tak bisa mengendalikan dorongan kuasa untuk mendapat sesuatu. Diri seseorang dipenuhi perburuan hasrat dan kuasa. Sisi hewani manusia menjadi dominan dalam ritus korupsi.

Apa pun cara ditempuh demi memenuhi kebutuhan hewani yang menguasainya. Pengingkaran atas kepercayaan yang diberikan menjadi biasa. Kekuasaan diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penindasan dan hegemoni kekuasaan legal, meski orang lain merasakan derita. Nurani kemanusiaan diabaikan. Etika sosial, nilai-nilai moral, dan norma hukum ditabrak dalam batas-batas tak wajar.

Dalam konteks itu, benar kata Aristoteles, korupsi identik dengan dua hal, yakni kematian dan dekadensi moral yang disamakannya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata. Orang yang melakukan korupsi akan mengalami sensasi luar biasa akibat kehendak pribadi terpenuhi. Kenikmatan dunia ia rasakan dari harta jarahan.

Di dalam buku ini, Reza menjabarkan beberapa hal yang menjadi sisi gelap manusia hingga ia melakukan korupsi. Ada hasrat berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, ada pula nafsu untuk meraup kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan ketidakberpikiran manusia, dan kekosongan jiwa manusia.

Dari lima sisi gelap itu, kita bisa melihat bagaimana kejahatan menorehkan jejaknya dalam sejarah manusia, dan akhirnya berubah menjadi kejahatan sistemik yang mengakar begitu dalam dan begitu luas dalam masyarakat.

Korupsi telah menggurita dalam kehidupan masyarakat, tak terkecuali di negeri kita. Segala sendi kehidupan ada benalu korupsi di dalamnya. Birokrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah marak tikus-tikus berdasi meraup keuntungan uang haram. Mereka lebih takut tak punya uang, dan mereka gelisah jika tak mampu membeli kenikmatan semu yang tersaji.

Republik ini rusak akibat ulah koruptor dan kebiasaan korup masyarakat. Suap-menyuap, ketidakjujuran, dan kekuasaan disalahgunakan menjadi berita yang lumrah kita temukan. Media mengekspose kabar perilaku korup aparat pemerintah, elite parpol, pejabat negara --dari yang pribadi hingga "korupsi berjamaah".

Hasrat hewani begitu kuat mendedah, utamanya pejabat pemerintah yang duduk di kursi empuk kekuasaan. Mereka memiliki kesempatan besar meraih kebahagian dengan kuasa yang digenggam. Mereka dapat melakukan apa saja di atas kenikmatan kekuasaan. Mentalitas menerabas, meminjam istilah Koentodiningrat, yang berujung pada perbuatan korup mendedah penguasa.

Karya Reza ini dengan cerdas membidik hal lain fenomena korupsi ataupun budaya korup masyarakat. Kasus korupsi tak saja menyangkut sistem birokrasi bobrok yang membuka peluang terjadinya praktek korupsi aparat, bukan pula karena produk hukum lemah menindak koruptor, melainkan juga faktor "kedirian" seseorang ternyata juga mempengaruhi ia bertindak culas (baca: korup).

Manusia ditempatkan sebagai subjek aktif pelaku korupsi. Buku yang mengajak kita mengenali latar belakang seseorang atau kelompok melakukan tindakan korup. Mengetahui dorongan hewani yang menguasi manusia lalu melampaui kehendak yang tak wajar itu adalah tujuan penting penulisan buku ini.

Andi Andrianto
Kolumnis, tinggal di Yogyakarta