Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tragedi Anak Bangsa: Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-santrinya

Tragedi Anak Bangsa; Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-santrinya
Penulis: Amran Zamzani
Penerbit: Bina Rena Pariwara
Tebal: xxvi+248 halaman

Tak kurang dari 250 undangan memenuhi ruangan Panti Surya Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Jumat malam pekan lalu. Di barisan paling depan tampak para tokoh nasional dan mantan pejabat. Ada Prof. Nurcholish Madjid, Prof. Emil Salim, Prof. KH Ali Yafie, Ismail Hasan Metareum, dan Kepala Bulog di era Orde Baru, Bustanil Arifin.

Suasana meriah yang sesekali diselingi kumandang salawat badar itu mengiringi peluncuran buku Tragedi Anak Bangsa; Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-santrinya. Buku setebal xxvi+248 halaman, yang diterbitkan PT Bina Rena Pariwara, itu ditulis Amran Zamzani, dan diberi kata pengantar oleh Nurcholish Madjid dan Emil Salim.

Malam itu, Cak Nur -panggilan akrab Nurcholish Madjid- memberi sambutan atas terbitnya buku yang, menurut istilah Cak Nur, "menggugah nilai-nilai kemanusiaan sebagai anak bangsa" ini. Dalam pandangan Cak Nur, buku ini secara grafis dan isi amat menarik, dan mencoba memaparkan suatu kejadian menyedihkan.

"Peristiwa Bantaqiah sama sekali tidak boleh terulang," ujar Cak Nur, disambut anggukan kepala sebagian besar peserta. "Peristiwa itu terasa sangat dramatis dan memilukan, karena justru terjadi di Aceh, daerah yang sedemikian berjasa dalam pertumbuhan dan pengembangan semangat keindonesiaan," kata Cak Nur.

Buku Tragedi Anak Bangsa ini terdiri dari lima bagian, ditulis dengan cara yang dramatis. Terutama pada bagian II, yang memaparkan pembantaian terhadap seorang tokoh Aceh, Teungku Bantaqiah, dan para santrinya. Bantaqiah, yang mukim di Beutong Ateuh, Kabupaten Aceh Barat, itu bersama 30 santrinya tewas diberondong peluru aparat keamanan atas perintah Letnan Kolonel Infanteri Sudjono, pada 23 Juli 1999. Selain Teungku Bantaqiah, seorang anaknya, Usman, 25 tahun, ikut terbantai.

Setelah peristiwa itu, aparat keamanan mengumpulkan penduduk. Mereka disuruh menggali dua lubang besar, berlokasi di belakang meunasah. "Dua puluh empat mayat ditumpuk dalam satu lubang besar, termasuk mayat Bantaqiah, dan selebihnya dikubur di lubang lainnya, tepatnya di belakang dayah" (halaman 57).

Penguburannya sendiri, menurut Amran Zamzami, dilakukan tanpa upacara doa, jauh dari tuntunan agama Islam. "Mereka tidak dimandikan, tak dikafani, tanpa disalati," kata Amran, dengan suara bergetar. Tak hanya sampai di situ; sebanyak 26 orang lainnya, yang terluka, ternyata dibantai di tengah jalan.

Pada Januari 2000, Sudjono raib. Padahal, orang ini yang paling bertanggung jawab atas tragedi di Beutong Ateuh itu. Pengadilan koneksitas pun digelar di Banda Aceh, 19 April 2000, menghadirkan 25 terdakwa, terdiri dari seorang kapten sebagai pemegang pangkat tertinggi, dua orang berpangkat letnan dua, sembilan sersan, dan 12 tamtama serta seorang sipil.

Majelis hakim peradilan koneksitas menetapkan amar putusannya, yang kemudian disahkan menjadi putusan tetap Pengadilan Negeri Banda Aceh, 17 Mei 2000. Hasilnya, 11 terdakwa dijatuhi hukuman delapan setengah tahun penjara, 13 terdakwa lain dijatuhi hukuman penjara sembilan tahun, dan seorang dijatuhi hukuman 10 tahun. Banyak pihak yang merasa tak puas atas putusan majelis hakim koneksitas itu.

Buku ini berhasil menghidangkan fakta-fakta atas pembantaian Bantaqiah dan para santrinya, dengan penuh warna. Dihimpun dari hasil Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh dan studi kepustakaan. Baik berupa buku, artikel, dokumen, maupun kliping media cetak. Bahan-bahan itu diramu, lalu dihidangkan kembali dengan bahasa yang mudah dicerna dan lancar alurnya.

Tragedi Anak Bangsa bisa lebih berdaging jika fakta-fakta yang dipaparkan secara dramatik itu bersumber dari hasil Tim Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dipimpin Amran sendiri. Sayangnya, warna-warni fakta itu agak banyak dirimbuni oleh kliping media cetak.

Oleh: Herry Mohammad