Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Obituari Kuntowijoyo: Jernih di Dua Dunia

Kami dari fakultas yang sama. Tetapi Kuntowijoyo dari Jurusan Sejarah dan saya Jurusan Sastra Inggris. Saya lebih dahulu dua tahun menjadi mahasiswa, tapi ia lebih dulu menyelesaikan studi. Lebih dulu menyelesaikan program master, lebih dulu menyelesaikan program doktor dan lebih dulu mendapatkan guru besar.

Saya mengenal Kuntowijoyo pertama kali sekitar 1967 ketika di Yogyakarta ada semacam gerakan kecil di antara para penulis --yang pada waktu itu mereka menyebut diri sendiri pengarang-- untuk membuat semacam organisasi profesi. Waktu itu, kami kumpul-kumpul di sebuah rumah di Jalan Lempuyangan Wangi.

Mereka yang hadir bukan hanya penulis-penulis dari Yogyakarta saja, juga dari Surakarta, Klaten, dan kalau tidak salah ingat juga dari Semarang. Seperti biasa dan juga terjadi di mana-mana, sebelum acara kumpul-kumpul dimulai, begitu tiba di tempat, para peserta hanya berdiri-berdiri di depan rumah, merokok, ngobrol dengan teman dekat --tidak semua sudah saling mengenal.

Di antara mereka ada Kuntowijoyo, tapi saya tidak mengenalnya. Maklumlah, karena alasan kemalasan, sejak saya menyelesaikan bachelor of arts (sarjana muda) pada 1964 akhir, saya tidak aktif kuliah. Tatkala semua peserta diminta masuk ke rumah, mereka mulai duduk di kursi yang tersedia.

Saya pun ikutan masuk. Tanpa sadar saya duduk di samping Kuntowijoyo. Kami bersalaman saling mengenalkan diri dan kemudian terkejut bahwa kami sama-sama dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan.

Tujuan pertemuan itu, di samping membentuk organisasinya juga mencari orang yang tepat memimpin organisasi itu. Ada gagasan menunjuk Mas Willy, sebutan akrab Rendra, tetapi ia masih di Amerika. Pada waktu itulah, Kuntowijoyo yang sejak awal pertemuan diam, mengusulkan bagaimana kalau Jussac M.R. Wirosubroto, yang pada waktu itu memimpin koran Pelopor Yogya, dijadikan ketua.

Mulai saat itu saya sering menemui Kuntowijoyo di fakultas. Kami ngobrol tentang jagat kepenulisan. Dari pembicaraan dengannya beberapa kali pada dekade 1960-an itu, saya menarik kesimpulan bahwa Kuntowijoyo seorang yang sangat luas bacaannya pada bidang sastra.

Ia tidak hanya mengenal sastrawan-sastrawan dunia terkemuka pada waktu itu, juga penulis fiksi yang belum begitu dikenal di Indonesia, misalnya J.D. Salinger, sudah dipahami pula karyanya. Tidak hanya itu, ia mempunyai pandangannya sendiri terhadapnya.

Apa yang lebih mengesankan saya adalah bahwa walaupun ia seorang muslim yang taat, dan bahkan pernah sekolah di pesantren, hati dan pikirnya sangat terbuka. Bahkan, dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Teater Alam tentang lakon berjudul Caligula karangan Albert Camus di Seni-Sono, pada 28 Desember 1989, Kuntowijoyo yang duduk di sebelah saya mempertanyakan kasus orang-orang yang dianggap komunis.

Ia menggumam dalam bahasa Jawa, "Apa wong-wong kuwi ya ngerti tenan ajarane Karl Marx lan Engels (Apa orang-orang itu benar-benar paham ajaran Marx dan Engels...." Gumam itu dikemukakannya dalam hubungannya dengan perilaku sadis yang ditunjukkan tokoh Caligula dalam lakon itu.

Pada waktu itu, karena rekayasa Suharto, komunis diidentikkan dengan perilaku sadis. Padahal, yang tidak komunis justru lebih sadis. "Persoalannya kan bukan itu, tetapi ideologi," sambung Kuntowijoyo. Dari sini tampaklah Kunto terbiasa berpikir jernih dan pilah-pilah.

Barangkali karena itu, ia berhasil dengan baik menyutradarai dirinya sendiri sebagai seorang sejarawan yang harus terus-menerus kritis terhadap data, fakta, dan construct of facts, dan sebagai seorang penulis kreatif yang lebih memanjakan imajinasi dan bahkan bermain-main dengan data dan fakta.

Karya Kuntowijoyo tidak pernah menunjukkan kekacauan berpikir. Yang lebih menarik adalah bahwa baik sebagai sejarawan maupun sebagai penulis karya kreatif, Kuntowijoyo berhasil meraih papan tertinggi di Indonesia.

Pada 1983, Kunto mendorong saya agar ikut program S-2 Sastra Indonesia-Jawa. "Kita butuh orang yang mumpuni dalam bidang sastra yang berijazah formal," katanya. Ia, yang sudah memegang gelar doktor, memberi kuliah pengantar telaah sejarah. Oleh karena itu, saya menjawab dorongan studi itu dengan berkata, "Tapi saya nggak tahu apa-apa tentang sejarah."

Kunto tertawa rileks lalu menegaskan, "Gampang saja. Nanti kalau Mas Bakdi ikut kuliah saya, akan saya beri tugas menulis sejarah SGPC (sega pecel) yang terkenal di Yogya itu." Kunto ternyata juga mempunyai sense of humor yang tinggi.

Sebelum sakit, Kunto pernah ditawari Umar Kayam untuk menggantikannya menjadi Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM. Tawaran itu dijawabnya, "Saya mau kalau setiap hari ada tukang soto, bakmi, tenongan, ronde, ayam panggang, juadah-tempe, dhawet, datang ke kantor...."

Kuntowijoyo sudah menghadap Sang Khalik, Selasa, 22 Februari 2005 lalu. Tetapi karya, kecerdasan, dan keteladanannya terus akan berkesan di hati kita.

Bakdi Soemanto
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM