Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

OBITUARI Keheningan yang Tidak Ditulis

Penyakit itu terlalu tangguh untuk tubuh dia yang terbiasa bekerja keras. Maka, dia pun memilih meninggalkan rumah sakit untuk kembali ke rumah, di saat-saat kritis. Dia ingin dekat dengan istri, anak, cucu, cicit, dan kerabat.

Suatu pagi, lelaki berwajah keras itu bernapas, dan tiba-tiba berhenti bernapas. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer mangkat pada Minggu pagi, 30 April 2006, di rumahnya di Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur.

Dulu, Pramoedya muda menyangka napasnya berhenti lebih cepat. Ibunya meninggal pada usia 34 tahun, dan ayahnya wafat di usia 55 tahun. Jika usia kedua orangtua itu dijumlahkan, kemudian dibagi dua, maka dugaannya, "Usia hidup saya tidak akan lebih dari 45 tahun," kata Pram di suatu sore, beberapa hari setelah usianya menginjak 80 tahun.

Dugaan meninggal di usia muda itu terasa mendekati kenyataan manakala menyimak kehidupan Pram di beberapa penjara di Tanah Air. Era revolusi kemerdekaan, misalnya, ia dipenjarakan di Bukit Duri, Jakarta (1947-1949). Di zaman pemerintahan Soekarno, ia pun dijebloskan ke bui karena bukunya, Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa.

Terakhir, di era pemerintahan Orde Baru, dia dipenjarakan selama 14 tahun (1965-1979) di Pulau Buru. Namun kehidupan keras di balik jeruji besi yang melelahkan membuat akal dan fisik Pram makin tertempa dan terlatih. "Kalau satu cobaan tidak mematikan, akan membuat kita tambah kuat," Pram seringkali mengutarakan kalimat ini.

Di pulau itu, lahir roman tetraloginya yang sangat populer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Di situ pula fokus hidup Pram jadi lebih sederhana, yakni melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Akhirnya, begitu ia dibebaskan pada 1979, banyak realitas hidup yang harus dihadapi dan diselesaikannya. "Kebebasan menjadi hal yang mengejutkan," katanya.

Entah seperti apa "kejutan" yang mengiringi kepergian dia pada Minggu pagi itu. Yang jelas, wajah tua itu tidak menggoreskan tanda-tanda keuzuran seperti, "Pandangan mata kabur, otak pikun, dan pendengaran brengsek," kelakar Pram suatu sore yang gerimis di Bojonggede, Bogor.

Memang, belakangan ini Pramoedya lebih sering menanggapi rentang panjang perjalanan hidupnya dengan kelakar. Alih-alih mengaku kalah atau merajuk terhadap kenyataan hari tua yang menyakitkan, sastrawan yang beberapa kali dinominasikan sebagai peraih Nobel Sastra itu menempatkan kelakarnya sebagai protes pribadi terhadap menggelindingnya hidup. "Padahal, semua orang yang sudah tua mengalami kondisi ini," kata Pram, menjawab sendiri protesnya dengan jenaka.

***

Dua hari setelah jasad Pram dikuburkan, seorang pemuda duduk tenang di sisi pusara yang terletak di Blad 41, Blok A1, Nomor 63, Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menyalakan dua batang rokok kegemaran sang pujangga semasa hidup. Satu batang untuk mendiang Pram diletakkan dekat papan nisan di antara bunga-bunga, satu lagi diisap sendiri.

Beberapa jam sebelum mangkat, ada tiga keinginan yang tidak dapat lagi dikerjakan Pram: memotong artikel surat kabar sebagai bahan kliping, membakar sampah, dan mengisap rokok. "Kami tidak bisa memenuhi permintaannya untuk merokok di saat-saat terakhir," kata lelaki muda bernama Mujib Hermani itu. Mujib adalah sahabat Pram, yang semakin dekat menjelang kepergiannya.

Dua bungkus rokok, dua porsi vitamin, dan sedikit senam pernapasan menjadi "resep panjang umur" versi Pram di masa tua. Setiap pagi, Pram mengguntingi halaman-halaman surat kabar untuk bahan kliping. Di antara kepulan asap rokok, yang seolah tidak pernah habis diisap itu, ia memotong dan melipat lembar-lembar yang dibutuhkan.

Bagian koran yang tersisa dia remas-remas --seperti lembaran tulisannya yang dianggap gagal-- dengan gaya khas seorang pengarang, dan membuangnya begitu saja ke lantai dapur, tempat istri dia repot memasak. Kebiasaan mengkliping itu merupakan bagian dari cita-citanya untuk membuat ensiklopedia tentang kawasan Indonesia.

Pram memang dikenal sebagai penulis yang memiliki kekuatan bercerita secara komplet. Diksinya kuat dan bernas, serta dilengkapi riset yang mendalam. Hanya ada sedikit kritik buat Pram dari para pengamat: ''Terjadi pengulangan gaya dan tema pada karya-karya fiksi yang berlatar belakang sejarah.''

Di masa ini, Pramoedya sudah mengubur dalam-dalam pelbagai persoalan ideologis yang menyeretnya dalam aneka polemik. Tidak ada lagi marxisme, leninisme, dan isme-isme lain di benaknya. "Saya sekarang penganut 'Pramisme'," ujar pengarang yang sudah menghasilkan lebih dari 50 buku itu.

Pramisme, sederhananya, adalah sebuah cara berpikir yang mandiri tanpa terikat oleh isme-isme lain. Perwujudannya berupa sikap individualistis yang melandasi kerja otak dan fisik. Pramisme lebih mengandalkan kemandirian dan kerja keras sebagai upaya keluar dari kesulitan.

Pernah Pramoedya membaca sebuah artikel tentang memelihara ayam kalkun, yang berhubungan dengan ketenangan di masa tua. Tertarik dengan itu, ia membeli dua ekor kalkun jantan dan beberapa betina. Kemudian, dengan semangat mandiri, ia mempelajari cara memeliharanya lewat buku panduan.

Semula, Pramoedya mengira semuanya bakal lancar. Ternyata keliru. Sebab tidak boleh lebih dari seekor kalkun jantan di antara kerumunan betina. Jika itu terjadi, keributan akibat persaingan antarpejantan tak terhindarkan. Begitulah. Kediamannya yang asri di Bojonggede jadi riuh oleh perkelahian kalkun. "Katanya mendatangkan ketenangan," Mujib menirukan ungkapan kekecewaan Pramoedya kala itu, sembari tersenyum lebar.

Jauh sebelum diabetes serta komplikasi jantung dan paru-paru membuat tubuhnya benar-benar tidak berdaya, Pram telah mengatasi problem kalkun-kalkunnya. Secara bergantian, satu kalkun jantan ditaruh di kandang terpisah, satunya lagi dilepas bersama para betina. Pokoknya, keduanya mendapat giliran. Ketenteraman dan kedamaian pun terwujud.

Kini, ketenangan itu hanya jadi keheningan panjang yang tak mungkin dituliskan sang pengarang. Ia pergi sendirian, setelah hampir 40 tahun menunggu dengan cemas. Seperti kalimat terakhir pada novel pendek Bukan Pasar Malam yang digubahnya:

''Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi.
Dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawa terbang entah ke mana....''

Oleh: Bambang Sulistiyo



Profil Pramoedya Ananta Toer

Lahir: Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Istri: Maemunah Thamrin
Anak: 8
Cucu: 16
Cicit: 5

Karya Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bagian 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951

Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia yang Menyerah, 1951
Tjerita dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958

Tjerita dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia, 1980

Anak Semua Bangsa, 1980

Tempo Doeloe, 1982
Jejak Langkah, 1985
Gadis Pantai, 1987
Hikayat Siti Mariah, 1987
Rumah Kaca, 1988
Arus Balik, 1995
Arok Dedes, 1999
Mangir, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi , 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, 2001
Cerita dari Digul, 2001
(Selain karya fiksi jenis roman dan novel, Pramoedya juga menulis puluhan cerpen, beberapa puisi, dan banyak karya terjemahan)

Nonfiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula, Biografi Tirto Adhi Soerjo, 1985
Memoar Oei Tjoe Tat, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, 1997

Kronik Revolusi Indonesia, Bagian 1 & 2, 1999

Kronik Revolusi Indonesia, Bagian 3, 2001