Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca Pemikiran Pram Lewat Karyanya

 BUKU SUDAH LAKU

Walau sudah berada di alam kubur, sastrawan Pramoedya Ananta Toer masih saja menuai pujian. "Dia merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi atau malah satu abad." Demikian pujian Arnold Teeuw kepada Pram --demikian Pramoedya Ananta Toer biasa disapa. Sanjungan dari guru besar bahasa dan kesusastraan Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, itu hanyalah satu dari sekian banyak ungkapan penuh decak kagum yang disenandungkan orang sebagai bentuk apresiasi atas karya-karya Pram.

Uniknya, segala puja-puji dari luar negeri itu tidak berbanding lurus dengan perlakuan Pemerintah Indonesia. Pria kelahiran Blora, 1925, itu boleh dikata sebagai sastrawan Indonesia yang paling banyak menerima penghargaan dari dunia internasional. Tapi ia juga sastrawan yang paling lama menghabiskan waktu di penjara dan paling banyak melahirkan kontroversi. Orang pun sering menghubungkan keterlibatan Pram dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia sebagai alasan mengapa ia menjadi bulan-bulanan penguasa Orde Baru.

Buku ini berusaha mendedah karya-karya Pram sebagai hasil proses kreatif, sekaligus penuh intuitif, dan kaya tafsir terhadap kehidupan yang mengitarinya. Namun, mengingat banyaknya karya Pram, buku ini membatasi diri hanya pada tujuh novelnya: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai.

Karya-karya Pram merupakan hasil seleksi pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya. Ia sosok novelis yang mencurahkan pemikirannya di bawah naungan humanisme dan ciri kemanusiaan merupakan landasan utama penciptaan seluruh karya sastranya. Hal inilah yang kemudian membuatnya kerap berseberangan dengan kepentingan para penguasa berbagai rezim. Pram harus menghabiskan tujuh belas setengah tahun hidupnya di penjara sebagai ganjarannya.

Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami semasa hidup tidak membuat seorang Pram kering, tandus, lantas mati. Sebaliknya, ide-ide besar semakin deras lahir dari pengalaman pahitnya, hingga menghasilkan berbagai karya mumpuni, penuh energi, dan daya gugat yang luar biasa, sekaligus merefleksikan kecintaannya pada kemanusiaan, terutama dalam karya monumentalnya, tetralogi Bumi Manusia.

Tetralogi Bumi Manusia dapat dikatakan sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Di dalamnya, Pram menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai citra pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peran wanita dalam peralihan zaman (halaman 89).

Sebagai pengarang, Pram punya dimensi sensitivitas yang tajam untuk mengolah kembali pengalaman pribadinya dalam bentuk karya sastra. Kendati demikian, kepekaan itu seperti enggan diajak kompromi dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran yang terjadi di depan matanya. Ia ibarat kuda liar yang sulit dijinakkan dengan bujuk rayu apa pun dan oleh siapa pun.

Sejak awal kiprah kepengarangannya, perhatian Pram lebih pada aspek manusia daripada peristiwa. Pram berpijak pada pemikiran bahwa manusialah yang bertindak sebagai akar dan dasar untuk memajukan bangsa. Baginya, manusia adalah sumber kejahatan, tetapi juga kebaikan. Kemanusiaan merupakan dasar pemikiran Pram (halaman 341).

Buku setebal 407 halaman ini mengajak pembaca untuk menjelajah cakrawala pemikiran Pramoedya Ananta Toer tentang keindonesiaan dengan lugas, tajam, dan penuh pertanggungjawaban akademik. Sekaligus berusaha menyelaminya dengan kedalaman makna, keunggulan, dan pesan tematik yang dikandungnya.

Seorang Pram bukan hanya sebuah narasi, melainkan juga elegi tentang perlakuan negara terhadap orang-orang hebat yang lahir dari perut Ibu Pertiwi. Pram hanya satu dari sekian banyak orang yang dimusuhi, diasingkan, dibungkam, bahkan dihabisi penguasa karena kecerdasan dan keberaniannya menyuarakan nurani. Pram terbilang "beruntung", selain sempat menghirup masa tua, jejaknya juga akan tetap terbaca dalam karya-karya yang dihasilkannya. Namanya tidak akan menguap begitu saja di udara, setidaknya dalam khazanah sastra Indonesia.

Oleh: Noval Maliki (Direktur Demi Buku Institute, tinggal di Yogyakarta)