Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Novel Tak Enteni Keplokmu Sindhunata

Judul: Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Tebal: 174 halaman
Kondisi: Bekas (bagus) 
Stok Kosong


Lukisan satu milyar mengilhami novel Sindhunata. Sebuah kisah antipusat yang matang. Djoko Pekik tahu arti digilas kekuasaan. Gara-gara tuduhan terlibat Lekra, ia dipenjarakan tanpa pengadilan. Selepas itu ia miskin dan terasing. Lalu angin politik berubah, dan salah satu lukisannya Berburu Celeng, laku Rp 1 milyar. Dan Sindhunata pun menovelkan fenomena Djoko Pekik ini dalam gaya realisme magis.

Shindunata sendiri adalah fenomena yang nyaris ajaib. Hampir semua karyanya penting. Kontemporerisasi kisah Ramayana-nya, Anak Bajang Menggiring Angin, telah menjadi klasik. Ia juga memperkenalkan metode multimedia dalam novelnya Semar Mencari Raga. Dari pameran lukisan Semar, ia menghasilkan novel yang mengkritik kuasa negara.

Jika dalam Semar, gambar bisa menyatu dengan cerita, begitu juga dalam novel ini. Unsur visual jadi sangat penting. Tata huruf, yang mengiringi reproduksi tiga lukisan celeng Djoko Pekik, memberikan bobot narasi pengantar cerita. Setiap bab diawali dengan reproduksi lukisan yang dipetik dari truk, poster, sampul majalah Basis, dan sebagainya.

Sindhu lentur mencampur fakta dan fantasi. Di awal novel ia mengabarkan bahwa dalam cerita, Djoko Pekik -sebuah "fakta"- akan ia fantasikan sebagai "si pelukis". Tokoh ini pun menjalani nasib Djoko Pekik. Selepas dari penjara, si pelukis terpaksa jadi penjahit untuk bisa hidup. Ia masih mencoba melukis, tapi tak ada yang melirik lukisannya.

Ketika angin politik berbalik, rakyat menolak rezim yang zalim, peruntungan si pelukis pun berubah. Sindhu merekam gejolak batin si pelukis dan mengisahkan bagaimana gejolak itu melahirkan tiga lukisan celeng: Susu Raja Celeng (1996), Indonesia 1998: Berburu Celeng (1998), serta Tanpa Bunga dan Telegram Duka Tahun 2000 (1999).

Trilogi itu digambarkan sebagai tafsir pelukis terhadap tahapan runtuhnya Orde Baru (Soeharto). Si pelukis sangat membenci penguasa (Sindhu menyamarkan nama rezim seperti ia menyamarkan nama si pelukis, dan dengan itu menguniversalkannya), dan kebencian itulah yang mengguratkan celeng pada kanvas raksasa. Tapi si pelukis segera sadar bahwa begitu lahir, celeng itu salah kedaden.

Celeng itu diributkan, menyebarkan ketakutan, bahkan kegilaan. Tanpa daya ia saksikan si celeng hidup dan berbiak. "Saya hanya mau melukis celeng, yang terjadi justru lahirlah celeng-celeng sungguhan," batin si pelukis (halaman 61). Sindhu pun berayun antara peristiwa aktual keruntuhan Soeharto dan keajaiban khayali ciptaan si pelukis. "Adakah batas antara gambar dan apa yang digambarkan?" (halaman 63).

Sindhu berhasil membawa pembacanya melakoni healing process. Bagaimana mengubah dendam dan takut menghadapi si celeng menjadi kekuatan menghadapi hidup. Bagi Sidhu, celeng adalah idiom kegelapan manusia, sepadan dengan the wild beast-nya Nietszche. "...celeng itu juga simbol kejahatan, kekuasaan kegelapan, yang tak mudah ditandingi bahkan dengan kebaikan dan kuasa terang" (halaman 35).

Novel ini penuh semangat antipusat yang kuat. Sindhu tak hendak menggantikan "celeng" sebagai pusat nilai dengan "manusia" sebagai pusat kebajikan baru. Di sinilah tampak kematangannya. Ia tak hendak mengganti kuasa rezim dengan kuasa rakyat. Masalahnya bukan mengalahkan celeng, melainkan bagaimana menjadikannya sebagai dinamika hidup yang wajar.

Di akhir cerita, lewat drama penutup yang mitis dan luar biasa, Sindhu seakan berkata: homo homini celeng, manusia itu celeng bagi sesamanya. Dan kita tak perlu merasakannya sebagai sebuah kutukan.

Hikmat Darmawan
Pemerhati buku, anggota komunitas budaya Musyawarah Burung