Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Putri Cina (Sindhunata)

gambar
Rp.65.000,- Rp.30.000,- Diskon
Judul: Putri Cina
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia, 2017
Tebal: 304 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Stok lama)

Cinta itu tidak mengenal batas. Ia bisa lintas bangsa, ras, suku, dan agama. Cinta abadi juga tidak bisa diikat oleh sang waktu, bahkan oleh kematian sekalipun. Dalam legenda Sam Pek dan Eng Tay, cinta abadi mereka menjelma dalam sepasang kupu-kupu kuning yang terbang ke utara.

Tragedi cinta antara sepasang kekasih yang berdarah Cina dan Jawa menjadi sentral cerita novel Putri Cina yang ditulis oleh Sindhunata ini. Tokoh Putri Cina dalam novel ini melesat menembus waktu dan jaman, antara jaman Majapahit hingga kerusuhan Mei berdarah 1998. Dia hadir sebagai Putri Campa pada jaman Prabu Brawijaya, Roro Hoyi pada jaman Amangkurat, Eng Tay pada legenda Sam Pek dan Eng Tay, dan hadir sebagai sosok Giok Tien pada masa ”kerajaan Medang Kamulan Baru”.

Tragedi berdarah yang menimpa keturunan etnis Cina selalu berulang. Celakanya mereka tidak pernah belajar dari sejarah. Sindhunata melakukan otokritik terhadap etnis Cina yang tidak pernah belajar dari sejarah (kebetulan Sindhunata juga berdarah Cina, berayahkan Liem Swie Bie dan beribu Koo Soen Ling). Orientasi etnis Cina yang ada di tanah Jawa selalu mengejar harta dan kekayaan dunia, melupakan tradisi leluhur bangsa Cina. Akibatnya mereka menjadi kelompok kaya elitis yang berada di tengah-tengah mayoritas etnis Jawa yang tertinggal secara ekonomi. Keahlian mereka di bidang perniagaan dimanfaatkan betul oleh penguasa, sejak jaman Belanda hingga sekarang. Mereka tidak sadar sedang dijadikan sapi perah, dan siap dikorbankan sewaktu-waktu. Kondisi ini secara laten bisa meledak sebagai bom waktu. Dan bom itu benar-benar meledak (atau tepatnya ”diledakkan”) ketika pecah kerusuhan Mei 1998.

Tragedi Putri Cina yang diwakili oleh tokoh Giok Tien dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 oleh Sindhunata diubah layaknya lakon ketoprak dengan mengganti nama masa Orde Baru dengan nama Kerajaan Medang Kamulan Baru, dengan raja bergelar Amurco Sabdo. Di sana muncul intrik antara senapati Gurdo Paksi, Patih Wrehonegoro, dan lurah prajurit Tumenggung Joyo Sumengah. Lakon ini mengingatkan pembaca pada perseteruan antara Wiranto dan Prabowo. Putri Cina digambarkan sebagai istri dari senopati Gurdo Paksi yang kemudian menjadi korban intrik tingkat tinggi hingga Giok Tien ternodai harga diri kewanitaannya oleh syahwat kuasa Amurco Sabdo dan menjadi rebutan antara Tumenggung Joyo Sumengah dan Gurdo Paksi. Keduanya telah menaruh hati kepada Giok Tan semenjak dia menjadi primadona ketoprak keliling Sekar Kastubo. Pada kenyataanya cinta Giok Tien hanya untuk Gurdo Paksi, yang waktu itu masih prajurit bernama Setyoko. Cinta Giok Tien yang Cina, dan Setyoko yang Jawa terjalin sudah. Dan itu membawa dendam kekalahan bagi Tumenggung Joyo Sumenggah yang juga termehek-mehek mengharap cinta dari Giok Tien.

Novel ini sangat menyentuh dan mampu mengungkap sisi kelam sejarah dan latar belakang budaya Cina-Jawa serta intrik politik yang melatarbelakangi berbagai peristiwa kerusuhan yang menjadikan etnis Cina selalu sebagai korbannya.

Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang sama, karena kita hanyalah debu. Cina dan Jawa , sama-sama debunya. Mengapa kita mesti bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara?
Pesan Sekarang