Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Novel-novel Remy Sylado

Judul: Ca Bau Kan 
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: KPG, 2001
Tebal: 404 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong

Judul: Sam Po Kong
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: KPG, 2004
Tebal: 1.111 halaman (Hard Cover)
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Bandung 

Ilustrasi sampulnya dirancang bergaya Art Deco. Mewakili setting kisah yang terangkai di dalamnya. Judul buku itu Parijs van Java, karya Remy Sylado. Buku ini baru sebulan lalu nongol di toko-toko buku, dijajakan dalam sebuah gondola khusus bertajuk ''karya sastra terbaru''. Rupanya, di usianya yang ke-57, Remy tak kalah semangat dari para juniornya. Karyanya mengalir deras. ''Saya lagi kebanjiran ide. Banyak ketemu orang,'' kata Remy, yang punya nama asli Japi Panda Abdiel Tambayong ini. ''Sebelum ini saya lebih banyak bertapa,'' ia menambahkan.

Mungkin, karena penerbitannya yang beruntun, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) merasa tak perlu mencantumkan biografi Remy pada Parijs van Java. Sebelumnya, KPG menerbitkan Ca-Bau-Kan, Kidung Merah Kirmidzi, dan naskah drama Siau Ling. Setelah Parijs, mereka sedang ''merayu'' untuk menerbitkan Sam Po Kong, yang kini dimuat secara serial di harian Suara Merdeka (Semarang). Novel Remy yang lain, Kembang Jepun, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.

Kualitas literer karya Remy tak perlu diragukan. Ini dibuktikan dengan diraihnya Khatulistiwa Literary Award 2002 untuk Kidung Merah Kirmidzi, menyingkirkan Larung, karya Ayu Utami. Tapi, pasti bukan semata-mata lantaran hal itu karya-karyanya diminati penerbit. Pertimbangan lainnya: soal pasar. Novel-novel Remy termasuk yang digemari pembaca.

Ca-Bau-Kan, yang dicetak pada 1998, hingga kini sudah mencapai edisi ketujuh. Padahal, novel ini sempat ditolak pihak KPG. Soalnya, pada 1998, tema zaman kolonial dengan tokoh Tionghoa dianggap tidak laku. Tak disangka, novel itu laku keras di pasaran. Sejak itu, KPG keranjingan melirik karya-karya Remy. Novel ini kemudian difilmkan Nia DiNata. Lumayan sukses. Sempat masuk nominasi unggulan 45 film terbaik Piala Oscar 2003 untuk kategori film berbahasa asing.

Lalu, Kerudung Merah Kirmidzi, Siau Ling, dan Kembang Jepun memasuki cetakan kedua. Parijs van Java sendiri sudah laku 1.000 eksemplar sejak dipajang sebulan lalu. ''Untuk ukuran karya sastra, meski tidak fantastis, jumlah itu sangat bagus,'' kata Christina Udiani, redaksi KPG yang menerbitkan Parijs van Java. Biasanya, novel-novel sastra dalam sebulan hanya terserap sekitar 300 eksemplar.

Parijs van Java adalah roman dengan setting Belanda --tepatnya Utrech-- dan Bandung. Seperti Ca-Bau-Kan, Kembang Jepun, Siau Ling, dan Kerudung Merah, lagi-lagi Remy menghadirkan tokoh utama seorang wanita. Di mata Remy, wanita adalah sosok unik, sumber imajinasi. ''Mereka sering dianggap lemah. Karena itu, mereka harus punya kekuatan lebih untuk tidak terus-terusan ditindas,'' katanya.

Dalam Parijs van Java, kekuatan ini dibangun lewat tokoh Getruida. Sosok yang akrab dipanggil Gerry ini adalah wanita Belanda yang ditakdirkan mengikuti suaminya --Rob Verschoor, yang juga pria Belanda-- berkelana dan hidup di Hindia Belanda, tepatnya di Bandung. Banyak hal tragis menimpa kehidupan mereka. Ironisnya, malapetaka itu justru ditimpakan orang Belanda, bangsanya sendiri: Gerry diperkosa dan suaminya dibakar hidup-hidup.

Di antara kemelut di negeri jajahan itu, seorang pribumi bernama AbA datang menjadi teman sekaligus dewa penolong. Tokoh AbA digambarkan sebagai seorang mahasiswa yang sedang getol-getolnya berjuang untuk kemerdekaan. Tokoh inilah yang menyadarkan Gerry dan Rob bahwa orang pribumi tidak sejelek yang mereka duga.

Kisah menyentuh ini berlatar belakang perjuangan bangsa Indonesia pada 1920-an. Untuk membangun setting Utrech dan Bandung tempo dulu, Remy sepenuhnya mengandalkan imajinasi yang dibangunnya dari setumpuk referensi. ''Tokoh-tokoh sepenuhnya imajinasi, tapi latar belakang dan lokasinya benar-benar nyata,'' kata Remy. Nuansa historis memang kental dalam novel ini. Orang Bandung kiwari tak banyak yang tahu bahwa Jalan Kiai Luhur dulu bernama Van Ostadeelan. Lalu, Jalan Cendana dikenal dengan nama Barendszstraat.

Ini juga salah satu alasan mengapa KPG bersedia menerbitkan Parijs Van Java. ''Remy menulis dengan sangat hidup sehingga kita benar-benar merasa berada di Bandung pada masa itu,'' kata Pax Benendato, Manajer KPG. Di jajaran penulis, Remy memang tergolong sangat rajin melakukan penelitian. Untuk novel Sam Po Kong, misalnya, dia melahap tidak kurang dari 40 buku referensi.

Selain itu, ia sering berkeliling ke tempat-tempat yang dianggapnya unik. Kadangkala, itu dilakukannya sekadar untuk pelesir. Tapi, setelah itu, ia pulang dengan segepok kenangan yang kelak jadi referensinya. Tak hanya di dalam negeri, kadang ia mengais informasi ke luar negeri.

Karakter novel Remy memang mengharuskan dia membolak-balik literatur. Semua karyanya yang disebut tadi berlatar belakang sejarah. Seperti pengakuan Remy sendiri, tema ini membutuhkan saksi hidup dan referensi tidak sedikit. ''Saya harus rajin-rajin mengais ingatan orang-orang yang hidup pada masa itu,'' kata Remy.

Yang juga perlu dicatat adalah pemilihan diksi. Dalam banyak novelnya, Remy sering memunculkan kata yang sudah dilupakan orang. Mengalirkan kejumudan bahasa memang mimpi Remy. ''Kamus bahasa Indonesia kita tidak kalah tebal dengan kamus bahasa Inggris, tapi kita malah cenderung memungut kosakata dari bahasa Inggris,'' ujarnya.

Untuk itu, Anda tak usah mengerutkan dahi jika mendapati kata-kata seperti mudigah, meleluri, tenahak, dan puluhan kata lain yang sekilas terasa asing. Yakinlah, kata-kata itu tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebagai penulis, Remy merasa punya tanggung jawab untuk mengingatkan bahwa persediaan kata-kata Indonesia masih berjibun. Tinggal memungut. ''Mubazir kalau tidak dimanfaatkan,'' kata Remy.

Asmayani Kusrini