Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim

Judul: Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim
Penulis: Ziauddin Sardar
Penerbit: Mizan, 1991
Tebal: 355 halaman
Kondisi: Stok Lama
Stok Kosong

1 tahun lantas, indonesia dulu kehadiran tamu seorang tokoh pemikir islam yang unik serta futuristik. dia bukan hanya jenis pemikir yang senang bermimikri dengan trend yang lagi hot. namun dia berkelanjutan dengan prinsipnya untuk menggarap tema-tema hari esok islam ( islamic future ) dengan progresif. dialah ziauddin sardar. sebelum saat kenal orangnya dengan segera, penduduk indonesia ghalibnya berteman melalui karya-karyanya ( terjemahan ) yang bertebaran pada jaman 1980-an. diantaranya : rekayasa hari esok peradaban islam ( mizan : 1986 ), hari esok islam ( pustaka : 1987 ) ; serta sebagian tulisan lepasnya banyak kita temui di jurnal ulumul qur’an.

tidak dinyana, pada dekade 1990-an, pemikiran sardar sudah menerangsak ke penjuru pelosok nusantara. nama ziauddin sardar tersohor dengan konsep-konsepnya perihal pembagunan, sains, ekonomi, serta sederetan isu yang lain yang amat relevan dengan keadaan umat islam saat itu. sampai saat ini, dia populer dengan sosok pemikir yang integral saat merumuskan ‘kekinian’ ( periode saat ini ) sebagai pijakan passing over untuk ‘keesokan’ ( hari esok ).

nuansa berpikir jenis ini diantaranya dapat kita temui didalam islam, postmodernism, and other futures ( 2003 ). sardar mewanti-wanti, “apa yang kita sebut sebagai hari esok tidaklah netral serta memiliki kandungan bias-bias ideologis serta kultural. ” tiap-tiap kajian yang concern dengan hari esok tentu didahului dengan pra-andaian spesifik yang dengan implisit pingin mengarahkan kencenderungan-kecenderungan periode saat ini menuju hari esok “alamiah”, yakni hari esok yang berlangsung menurut konsekuensi-konsekuensi logis dari periode saat ini. dikarenakan itu, tiap-tiap kajian futuristik nyaris senantiasa adalah self fulfilling prophecy yang berupaya meramalkan perubahan di periode mendatang dengan kerangka yang kita bangun di periode saat ini.

irit penulis, ada dua perihal yang menarik didalam pemikiran intelektual kelahiran pakistan yang dibesarkan di inggris ini. pertama, restorasi peran umat islam supaya jadi “agen sejarah”. serta ke-2, terobosan pemikirannya perihal “syari’at islam”.

bertindak sebagai “agen sejarah”
penulis teringat dengan ungkapan kang jalal ( 1999 ), “sejarah bukan hanya berlangsung demikian saja, namun disebabkan dari rekayasa sosial. ” irit saya, bila umat islam tidak memiliki peran, maka histori hidupnya—secara tidak langsung—akan senantiasa ditentukan oleh orang lain. perumpamaan konkritnya ya layaknya keadaan negara kita sekarang ini, ketergantungannya dengan luar negeri ( asing ) amat luar biasa. masalah inilah yang dikira sardar mutlak untuk diketahui oleh umat islam supaya mereka melek serta tidak nostalgia terus dengan periode lantas.

untuk sardar, di antara hambatan utama kebangkitan umat islam yaitu mentalitas abad pertengahan yang pasif, yang beberapa besar dibentuk oleh memahami determinisme didalam teologi skolastik. serta sekarang ini, mentalitas jenis ini mesti diusir jauh-jauh karena dapat menghalangi peran umat islam sebagi “agen sejarah”. umat islam waktunya mengerti bahwa merka mempunyai kebebasan mutlak untuk mewujudkan dambaan serta harapan mereka. umat islam mesti kerap ‘berkotemplasi’ untuk mendapatkan ‘diri’-nya supaya tidak quo vadis serta terus statis.

ketidakdewasan umat islam, satu contoh menurut sardar, tercermin waktu momen 11 september 2001 ( baca : terorisme ). saat bencana memilukan itu berlangsung, banyak umat islam menyalahkan amerika serta berasumsi terorisme sebagai disebabkan dari beragam kebijakan hegemoniknya. walau sebenarnya, sardar mengingatkan, “hegemoni tidak senantiasa ditimpakan, terkadang ia diundang. ingat, kondisi internal didalam islam yaitu sesuatu undangan terbuka. ” masalah terorisme pasti hanya satu ilustrasi kecil dari begitu kompleksnya probhlem internal umat islam. karena sangat banyaknya masalah yang dihadapi, umat islam seakan mengidap apa yang diistilahkan sardar—dalam artikel yang tidak lama ditulis sesudah perihal itu—sebagai a deep state of denial : penyangkalan bahwa umat islam dengan inhern bertanggung jawab atas semua perihal yang saat ini mereka alami ( baca, ziauddin sardar, islam has become its enemy, the observer, 21/10/2001 ).

keadaan diatas mencerminkan bahwa kesediaan terima kritik dengan terbuka belum jadi kesadaran umum. dikarenakan itu, beberapa intelektual muslim tetap butuh berkerja keras untuk terus-menerus menyadarkan umat islam dapat problem-problem intelektualnya. kritik itu dibutuhkan bukan hanya saja untuk mengasah kepekaan mereka pada realitas eksternal, namun lebih didalam lagi untuk mengembalikan umat islam pada “kecemasan purba” ( angst ) yang sepanjang ini mereka bentengai dengan ilusi serta romantisme kejayaan periode silam. sungguh ironis.

dikarenakan itu, menurut sardar, supaya umat islam bisa bertindak sebagai ‘agen sejarah’ serta bangun dari keterpurukan, maka kecemasan-kecemasan tersebut mesti dilewatkan menyembul ke permukanan, baru sesudah itu lakukan otokritik sebagai fasilitas ‘berkaca’ untuk mengevaluasi diri serta mengkreasi jalan keluar alternatif beserta kemungkinan-kemungkinan yang dapat berlangsung. ( islam, postmodernism, and other futures, 2003 ). karena, umat islam dapat mengerti dirinya serta tidak gampang menyalahkan orang lain, dan kiat yang dilancarkan lalu dapat berarti didalam histori.

syari’at sebagai metodologi, bukan hanya hanya aturan
persepsi yang berkembang di umumnya penduduk indonesia tentang syari’at islam yaitu hukum cambuk, potong tangan, rajam, khilafah islamiyah dan lain-lain. seluruh itu tidak lain yaitu pemaknaan syari’at sebagai aturan atau hukum resmi. perumpamaan konkrit masalah ini yaitu hukum cambuk yang telah berlaku di nangroe aceh darussalam. logika sederhananya, bila ada maling tertangkap kok tidak dihukum cambuk bermakna tidak menggerakkan syariat islam.

pemikiran ini bertolak belakang dengan sardar. baginya, syari’at—yang bermakna “jalan”—sebenarnya adalah metodologi atau kerangka berpikir pragmatis yang spesial didesain untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan umat islam selama zaman. karenanya, syari’at sediakan prinsip-prinsip pokok yang bisa dimodifikasi cocok dengan keperluan temporal yang beralih. contohnya prinsip maslahah yang mengedepankan kemaslahatan publik, atau prinsip al-dharuriyiyat al-khamsah yang menanggung hak-hak asasi manusia sebagai individu. seluruh prinsip ini, bila diaplikasikan dengan optimal, dapat membuahkan rumusan konkret perihal demokrasi, keadilan, ham, pluralisme, serta beragam isu kontemporer yang lain.

 maka sungguh sayang seribu sayang bila saat ini syari’at sudah direduksi jadi hanya aturan-aturan fikih. menurut sardar, pemaknaan syari’at sebagai hukum resmi yaitu justru kurangi bobot syari’at sendiri sebagai metodologi yang workable. serta sebagai konsekwensinya, syari’at dapat gampang usang bila dihadapkan dengan problem-problem ‘kekinian’ serta ‘keesokan’. lantas pertanyaannya yaitu bagaimana jadikan syari’at sebagai metodologi yang siap gunakan ?

untuk sardar, perihal tersebut dapat dikerjakan gunakan dua pendekatan. pertama, syari’at mesti dipandang dengan holistik, yakni tiap-tiap aspek hukum atau ketetapan yang berkenaan dengan tujuan vertikal ( teosentris ) ataupun horisontal ( antroposentris ). saat syari’at dilihat sebagai kesatuan yang integral, maka penerapan tiap-tiap hukum tak lagi berbenturan dengan aspek lain yang lebih mendasar atau prinsip etis yang dijunjung oleh syari’at.

karena, tidak masuk akal apabila didalam sesuatu penduduk yang dirundung kemiskinan, kita mengaplikasikan hukum potong tangan sesukanya pada seseorang yang mengambil dikarenakan terpaksa. begitupun, didalam sesuatu penduduk yang plural dengan beragam umat beragama, ketentuan-ketentuan syari’at tidak bisa diberlakukan jika sebagai norma etis untuk menjaga toleransi serta menghindar berlangsungnya kekerasan pada grup lain. nilai-nilai syari’at bisa menumbuhkan sikap respek pada komune beragama lain, dikarenakan inilah pijakan etis syari’at saat menyikapi perbedaan agama.

ke-2, meletakkan syari’at dengan gradual cocok dengan konteks historis. berarti, penerapan syari’at ini bukan hanya bermakna memformalkan, namun bagaimana kita dapat mengambil intisari dari nilai-nilai yang terdapat didalam syari’at. butuh diingat, bahwa meletakkan syariat hanya aturan formal—seperti yang banyak didapati di negara-negara muslim—terbukti cuma melahirkan tatanan sosial yang semu yang dibangun diatas ketakutan serta penderitaan orang banyak. serta tak hanya itu, implementasi syari’at sejenis ini juga beruntung ulama sebagai hanya satu penafsir yang otoroitatif, yang bermakna hilangnya partisipasi publik didalam pengambilan ketentuan. didalam kondisi ini, syari’at dengan gampang dimanipulasi untuk membetulkan otoritarianisme serta menampik demokrasi. ( the syari’at as masalah solving methodology didalam islamic futures : the shape of ideas to came, 1985 ).

demikian pentingnya fungsi syari’at didalam kehidupan, terlebih sekarang ini gelombang modernisasi serta liberalisme sedang menempa di antero jagad. umat islam mesti dapat meletakkan syari’at pada porsinya, supaya tidak menyebabkan kerancuan serta menelorkan fatwa-fatwa yang sepihak serta tendensius. dikarenakan itu, saat ini umat islam dituntut pro aktif untuk memfalsifikasi kebenaran yang mereka yakini dengan berdialog dengan gawat dengan grup lain. dengan langkah demikianlah, umat islam bisa menghadirkan syari’at sebagai wujud penghargaan pada perbedaan serta pluralitas. syari’at tak akan jadi sumber perpecahan, tetapi fondasi untuk kontinuitas kerja sama antaragama di masa-masa mendatang serta pelopor pergantian menuju kemaslahatan.

***
begitulah sosok sardar serta sekilas pemikirannya. saat ini, di dalam kesibukannya sebagai guru besar postcolonial studies di city university, london, dia tercatat sebagi ubahor terus futures serta third text, dua jurnal bergengsi yang spesial mendalami studi-studi kebijakan serta rencana ( plannieng and policy studies ), dan isu-isu mukhtahir perihal budaya kontemporer. tak hanya itu, dia juga mengelola center for policy and future studies di kampus est west, chicago, sesuatu instansi akademis yang spesifik pada kajian-kajian futuristik. dikarenakan ketekunan pemikiran serta kajiannya di bidang futuristik, oleh kelompok umur islam, dia dijuluki sebagai ‘arsitek’ hari esok islam.
Pesan Sekarang