Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia

Judul: Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia
Penulis: Niels Mulder
Penerbit: LKiS, 2011
Tebal: 286 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong

Orang Jawa merupakan mayoritas penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan ini. Mereka umumnya menetap di pulau yang, dalam mitologi Jawa, dipercaya sebagai punjering jagad, yang berpusat di satu wilayah kecil Jawa Tengah. Yogyakarta dan Solo ditempatkan sebagai pusat kebudayaan Jawa. Dan presiden kedua Indonesia, Soeharto, dianggap paling berhasil menjadikan berbagai kosa kata Jawa sebagai simbol politik nasional.

Niels Mulder dengan jelas menyatakan kebangkitan kebudayaan (keagamaan) Jawa berkaitan dengan keberhasilan perwira Angkatan Darat berlatar belakang "Kejawen" naik ke pentas politik nasional (halaman 14). Namun, ekspansi kolosal orang Jawa ke berbagai pulau di Nusantara, melalui transmigrasi, makin menghadapi kritik amat tajam.

Dilihat dari komunitas muslim, Islam telah masuk berkembang di kawasan Nusantara lebih dari 10 abad lalu. Sejak Kerajaan Demak berdiri, lebih dari lima abad Islam terus berkembang dan menanamkan pengaruhnya. Namun, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh meneguhkan diri sebagai orang Jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya sendiri.

Mereka dikenal sebagai "orang abangan", yang memandang Islam sebagai agama Arab, sehingga Islam tampak gagal ditempatkan sebagai dasar keyakinan hidup bagi orang Jawa. Keberagamaan Jawa menyebabkan partai berlambang Islam belum pernah didukung mayoritas pemeluk Islam yang hampir tak pernah disadari elite gerakan Islam.

Sistem kepercayaan Jawa, yang lebih dikenal sebagai Kejawen, dikatakan kini tengah bangkit (halaman 17). Kesalahan besar, anggapan orang Jawa itu begitu gampang menjadi muslim atau Kristen. Penganjur agama ini (Islam atau Kristen) gagal memahami kesadaran hidup orang Jawa dan kekuatan Kejawen (halaman 18). Patut dicatat dan disikapi dengan kritis ialah hubungan mistisisme Jawa dan mistisisme agama-agama besar dunia yang belum terjelaskan.

Di sini akan tampak dukungan hampir buta sebagian masyarakat atas Presiden Abdurrahman Wahid, yang dipercayai sebagai wali. Ini menunjukkan bagaimana orang Jawa memahami dan memakai tradisi Islam tentang wasilah bagi kepentingan dirinya sendiri. Peta baru perpolitikan nasional sesudah gerakan reformasi, sejak 1998, mungkin masih diwarnai oleh kehidupan warga bangsa ini, yang bersumber dari mistisisme Jawa. Yakni, berhasil memadukan semua jenis mistisisme agama-agama.

Tesis Mulder paling menarik ialah kebangkitan mistisisme Jawa sebagai "ideologi nasional". "Ideologi" Seh Siti Jenar, yang ditindas penguasa Demak dengan dukungan penuh Wali Songo, mungkin bangkit kembali. Pancasila bagi Mulder adalah bentuk kebangkitan Mistisisme Jawa dalam aras politik nasional (hal. 103). Namun, dasar ideologi ini mudah diklaim semua agama, seperti halnya Islam, sebagai bentuk ideologis agama-agama itu di dalam format politik nasional.

Sayang, buku yang ditulis sesudah reformasi ini belum menjelaskan suatu kemungkinan perubahan posisi Pancasila sebagai filsafat hidup warga bangsa ini. Lebih menarik jika dibayangkan mistisisme Jawa tumbuh sebagai ideologi yang melunakkan semua agama dan ideologi besar dunia. Buku yang dilengkapi indeks nama dan istilah ini penting dibaca dan dikaji lebih kritis.

Dari sini bisa dikembangkan pemahaman lebih luas masa depan bangsa dengan beragam etnis dan keagamaan. Mistisisme Jawa memang berhak tumbuh sebagai ideologi baru bagi "Indonesia baru". Namun, mayoritas orang Jawa lebih memahami mistisisme sebagai mistik klenik untuk mengukuhkan kekuasaan, menggaet perempuan, ngutil, dan ilmu hitam lainnya. Semuanya terpulang pada orang Jawa sendiri, yang tersebar di semua partai: Islam, nasionalis, atau Kristen, dan yang mayoritas sudah menjadi muslim, sebagian lainnya lagi telah menjadi Kristen, Budha, atau Hindu.

Abdul Munir Mulkhan, Pengamat