Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Memburu Makna Agama

Judul: Memburu Makna Agama
Penulis: Wilfred C. Smith
Pengantar: Haidar Bagir
Penerbit: Mizan, Cet 1, 2004
Tebal: 490 hlm
Kondisi: Lumayan Bagus (buku bagus)
Terjual Boyolali 

“Kajian akademis yang serius tentang agama-agama jarang dilakukan di perguruan tinggi di Duania Muslim. Hadirnya karya Wilfred C. Smith mendorong perlunya kajian agama-agama dalam masyarakat plural-majemuk seperti di Tanah Air.”—M. Amin Abdullah

Kata religi berasal dari bahasa latin ‘religio’. Pada awalnya kata itu digunakan untuk merujuk suatu kuasa di luar manusia yang mewajibkan manusia melaksanakan perilaku dibawah ancaman sanksi yang berat, semacam tabu. Ada istilah ‘religosae locae’, yang artinya tempat-tempat kudus/wangit. Istilah itu secara lambat laun berubah arti, bersamaan dengan berkembangnya agama Kristen.

Ada dua orang yang perannya besar dalam perkembangan kata ini. Yang pertama adalah Jerome yang memperkenalkan istilah religio ketika menterjemahkan Injil ke bahasa Latin. Jerome menggunakan istilah ini untuk mengacu pada suatu ritus, untuk memadankan kata threskeia, bahasa yunani di perjanjian baru yang artinya ketaatan religius, praktik ritual, cara pemujaan. Orang kedua adalah Santo Agustinus, seorang penulis jaman sebelum Renaisans dengan bukunya De Vera Religione, atau “Tentang (satu-satunya) religi yang benar”

Lalu dibahas pula tentang masyarakat-masyarakat yang belum maju peradabannya didunia atau primitif. Setiap komunitas mempunyai apa yang disebut orang modern sebagai religi, tetapi tidak satupun komunitas tradisional ini memiliki istilah untuk mengacu pada religi secara umum. Mereka akan mengatakan “Adalah adat kebiasaan kami untuk…”. Ketika hal yang sama diterapkan untuk kebudayaan kuno Yunani, Mesir, Iran, Aztec, India, Cina dan Jepang pun tidak ditemukan padanan kata untuk istilah religi ini. Contoh dalam bahasa Indonesia modern, kata “agama” diambil dari bahasa Sanskrit yang artinya “teks”. Adat istiadat religius Jawa kuno digolongkan sebagai “agama Jawa”, istilah yang menimbulkan pertanyaan.

Kasus khusus terjadi pada Islam yang secara sadar telah melekatkan nama religinya dengan istilah Islam. Dalam kasus-kasus lain belum pernah ditemukan religi yang dengan sadar diberi nama. Bahasa Arab mempunyai istilah dan konsep yang hampir sepadan dengan “religi” barat, yaitu kata “din”. Pada kamus-kamus klasik padanan kata ini adalah ‘wara’, atau ‘kesalehan, dan tidak pernah memiliki makna sistematika atau komunitas, dan tidak dapat dijadikan bentuk jamak. Bentuk jamak ‘adyan’ ada, tapi tidak terdapat dalam Al Qur,an.

Kutipan yang menarik dari buku ini:
Jika saya katakana dalam bahasa Inggris sebagai yang dapat segera saya ucapkan “I am not a Muslim”, setiap orang yang paham bahasaa Inggris dapat mengerti apa maksud saya itu. Akan tetapi yang menarik kalimat itu mustahil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Saya tidak dapat mengatakan “Lastu bi muslimin” karena itu akan berarti “saya tidak berserah diri pada Tuhan” yang tentu saja tidak benar dan pasti akan terdengar menantang dan menghujat Tuhan. Lalu tulisan di Catholic Ensyclopaedia : Religi….berarti serah diri sukarela seseorang kepada Tuhan”, dan kita minta seseorang menerjemahkan ke bahasa Arab yang akan terjadi tentu menarik sekali:seorang imam dan sarjana katolik Roma dalam suatu publikasi gereja yang sah akan seolah menyatakan bahwa religi yang benar adalah Islam.

Sebuah buku yang menarik bagi pembaca yang berminat terhadap masalah agama dan kerukunan beragama. Mempertanyakan kembali masih perlukah istilah religi atau agama ini digunakan pada jaman modern, mengingat tidak jelasnya arti sebenarnya dari kata ini, yang memilah-milah manusia berdasarkan keyakinan hati ataupun adat istiadat, dan membuat garis-garis pemisah yang memisahkan dan menceraiberaikan manusia.