Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat

Judul: Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat
Penulis: Nurcholish Madjid
Penerbit: Paramadina, 2000
Tebal: 210 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong


Nurcholish Madjid memang konsisten. Hingga bukunya yang paling anyar ini, Masyarakat Religius, tampak jelas konsistensi kerangka berpikirnya yang dipegangnya sejak 1970-an. Ia seorang pemikir neomodernis atau neotradisionalis yang memperlihatkan apresiasi mendalam ter- hadap khazanah Islam klasik.

Tiga dari lima bagian buku ini secara eksplisit membahas konsep individu, keluarga, dan masyarakat dalam pendekatan "yang seharusnya". Sedangkan dua bagian terakhir membicarakan masalah-masalah sosial dan keagamaan secara lebih spesisfik, seperti masalah aborsi, donor organ tubuh, mukjizat, karamah, sihir, dan sulap.

Sebutan "masyarakat religius" pada intinya sejalan dengan apa yang oleh Erich Fromm disebut masyarakat yang sehat, atau masyarakat bebas yang dikehendaki Krishnamurti (Freedom from The Known, 1969). Perbandingan ini mungkin kurang valid, tapi akan sangat berguna untuk melihat pendekatan yang mereka gunakan. Dalam buku ini Cak Nur jelas menggunakan pendekatan teologis-normatif untuk menunjukkan "yang seharusnya", sedang- kan Krishnamurti, misalnya, memakai pendekatan psikofilosofis yang didasarkan pada pengalaman spiritual dirinya.

Apa yang dimaksud masyarakat yang bebas oleh Krishnamurti (1969: 7-8) adalah kelompok individu yang mampu memahami dirinya dalam konteks manusia sebagai sebuah keseluruhan. Ini berarti bahwa kebebasan individu tidak terletak pada otoritas untuk berbuat sekehendak hatinya demi mewujudkan keinginan dalam pengertian "seharusnya aku berada secara demikian".

Memahami diri dalam konteks manusia secara keseluruhan, menurut Krishnamurti, mau mengerti "keadaanku yang sebenarnya", sebab individu sebagai "aku" hanya dapat mengamati diri dalam suatu relasi antarhubungan sebagai makna hakiki kehidupan itu sendiri. Dengan demikian individu tak dapat hidup sendiri dalam satu daerah kebudayaan, masyarakat, dan agama tertentu. Jika individu berbuat di salah satu sudut kehidupan tertentu, tindakannya itu sama sekali tidak berhubungan dengan keseluruhan medan kehidupan itu. Padahal manusia berkepentingan dengan keseluruhan kesejahteraan, keseluruhan duka nestapa, dan kebingungan dunia.

Individu yang mengamati dirinya dalam konteks keseluruhan itu akan dengan sendirinya dapat memahami kepribadian dan makna hidup yang sesungguhnya. Selanjutnya, tindakannya akan bersifat spontan dan orisinal. Spontanitas ini berarti bahwa tidak lagi ada jarak antara aktivitas melihat dan bertindak. Dan orisinalitasnya terletak dalam tindakan yang sama sekali bebas dalam pengertian jauh dari pengaruh unsur-unsur ideologis di luar dirinya, mengingat bahwa struktur lahiriah suatu masyarakat adalah hasil struktur psikologis hubungan antarmanusia di mana individu merupakan hasil keseluruhan pengalaman, pengetahuan, dan tingkah laku umat manusia.

Dengan kata lain, meminjam retorika Henri Bergson, masyarakat yang sehat dan bebas adalah jika perbuatan-perbuatannya mengungkapkan kepribadiannya sendiri dan jika antara perbuatan- perbuatan dan kepribadian itu terdapat persesuaian yang khas. Spontanitas dan orisinalitas adalah kata-kata kuncinya.

Jika spontanitas tidak ada, maka segala perbuatan kita juga tidak bebas, melainkan berasal dari suatu otomatisme atau mekanisme tertentu. Dalam hal ini, spiritualitas dan atau religiusitas pun harusnya berkaitan dengan kebebasan dari yang diketahui. Segala yang telah diketahui pikiran, baik menurut kata-kata orang maupun buku atau kitab suci mana pun, tidak akan pernah membawa kita pada pengalaman hidup otentik yang senantiasa baru itu.

Sejalan dengan ini, Cak Nur (panggilan Nurcholis) mengatakan, benarlah jika dikatakan bahwa manusia itu adalah "makhluk pen- cari makna hidup", karena ada daya pikir dalam dirinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa rasa makna hidup itu sendiri. Perasaan itu bersifat pribadi, personal, disebabkan oleh sifat dasarnya sebagai keinsafan yang merujuk pada inti kedirian dan kehidupannya. Religiusitas, kata Cak Nur, adalah bagian dari perasaan itu.

Kesejatian makna hidup itu, dalam pendekatan Cak Nur, hanya dapat diperoleh dari agama. Agama sebagai sebuah sistem keyakinan ilahiah (divine faith), yang juga diyakini memberikan gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang kehidupan ini, menyediakan konsep tentang makna dan hakikat hidup itu. Memang benar bahwa legenda, dongeng, dan mitologi memiliki fungsi dan kegunaannya yang khas, tetapi itu tidak hakiki, bersifat sementara, dan palliative (menghibur), meskipun fungsi dan kegunaan itu tampak nyata pada kita.

Buku ini sungguh telah cukup memberikan gambaran tentang konsep masyarakat dalam tuntunan Islam. Namun satu hal yang mungkin agak disayangkan adalah terjadinya pengulangan pemuatan tulisan Cak Nur yang berjudul Kebebasan Nurani dan Kemanusiaan Universal (dalam Bagian Kedua: Komitmen Pribadi dan Sosial, 67-78) yang sebelumnya juga pernah dimuat dalam kumpulan tulisan oleh penerbit yang sama, yaitu Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Orde Baru (1994).

E. Kusnadiningrat, Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Jakarta