Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kronik Revolusi Indonesia IV (1948)

Judul: Kronik Revolusi Indonesia IV (1948)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer, dkk.
Penerbit : KPG, 2005
Tebal: 1002 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus) 
Terjual Jakarta 
 

Manusia adalah makhluk sejarah. Demikian diungkapkan Wilhelm Dilthey. Maka, jangan kaget bila ia kemudian mengatakan bahwa orang yang mempelajari sejarah sama dengan orang yang mengadakan sejarah. Dilthey punya ambisi, memang. Salah satunya ialah menyusun suatu asas epistemologi bagi pertimbangan sejarah. Sebab, menurut filsuf asal Jerman ini, sejarah dan filsafat hendaknya bertautan.

Alasannya cukup sederhana: supaya penyelidikan sejarah sekurang-kurangnya bisa mengembangkan suatu pandangan falsafi yang menyeluruh, sehingga tidak terpuruk pada dogma ontologis (metafisika) dan prasangka. Tetapi, ambisi Dilthey kandas. Kesukaran pertama yang dihadapinya adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah setara dengan penelitian ilmiah.

Sebab, penelitian ilmiah cuma mengenal satu dimensi, yakni dimensi eksterior. Sedangkan untuk mengamati suatu peristiwa, atau kejadian, seseorang harus mampu melihat dua dimensi sekaligus, eksterior dan interior. Misalnya, suatu kejadian selalu memiliki ruang dan waktu (secara eksterior), tapi peristiwa itu tentunya ditatap atas dasar kesadaran (secara interior). Keduanya memang mempunyai nilai berbeda, namun saling bergantung.

Dilthey lalu menaruh perhatian pada metode hermeneutik. Metode ini penting dalam memahami peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah berdasarkan pengalaman sendiri. Sebab, kesadaran batin manusialah yang mampu memberikan tafsir atau interpretasi atas fakta dari suatu dan ragam peristiwa. Dan yang penting bagi kejadian masa lampau, lewat hermeneutik penyelidik dapat mengatasi "keasingan" suatu teks.

Buku Kronik Revolusi Indonesia ini tidak membicarakan sebuah filsafat sejarah yang njelimet. Pramoedya Ananta Toer dkk hanya menampilkan sosok sejarah lndonesia apa adanya. Dan barangkali pekerjaan besar ini dimaksudkan untuk itu. Setidak-tidaknya agar interpretasi atau hermeneutik mutlak berada di tangan pembaca.

Namun, dari berbagai kumpulan kliping, kita segera melihat "warna" dari masa awal perjalanan bangsa Indonesia. Meski baru beredar dua jilid, penyusun bermaksud melengkapinya menjadi lima jilid. "Kronik ini terdiri dari lima jilid, meliputi rentang waktu lima tahun, masing-masing dengan ketebalan paling sedikit 500 halaman," tulis Pramoedya dkk (Jilid I, halaman xxv).

Tak lupa penyusun memasukkan sejumlah lampiran berupa dokumen Republik Indonesia. Tentu saja, inilah yang menjadi daya tarik tersendiri buku sejarah versi Pram. Misalnya, ada pidato Bung Karno tentang Pancasila tertanggal 1 Juni 1945, yang tidak diakui oleh rezim Orde Baru (Jilid I, halaman 302-31); Maklumat Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945 yang sempat heboh kala itu (Jilid I, halaman 403-4); atau naskah Rencana Perjanjian Linggarjati tertanggal 15 November 1946 yang merencanakan cikal-bakal Republik Indonesia sebagai negara federal (Jilid II, halaman 662-8).

Dalam pengantarnya, sejarahwan Onghokham mengemukakan bahwa kronik ini berfokus pada peristiwa yang terjadi selama revolusi, dan bukan analisis ataupun prosesnya. Namun, menurut Ong, hendaknya kronik ini tidak melulu melihat peristiwa penting yang terjadi di pusat pemerintahan. Sebuah kronik, meskipun dengan embel-embel revolusi, seharusnya menulis ragam peristiwa di daerah, termasuk peristiwa di bidang budaya, kesenian, dan olahraga.

Itulah barangkali satu hal penting yang luput dari Pram. Namun, kita perlu mengacungkan jempol pada penulisan dokumen sejarah yang monumental ini. Paling tidak, dari deretan lampiran yang dihimpun, kita dapat menyaksikan betapa sulitnya para negarawan menjadi nakhoda saat mulai berupaya menata bangsa.

Oleh: Ricardo I. Yatim