Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Jurnalisme Damai: Meretas Ideologi Peliputan di Area Konflik

Judul: Jurnalisme Damai: Meretas Ideologi Peliputan di Area Konflik
Penulis: Iswandi Syahputra
Penerbit: P_IDEA, 2006
Tebal: 330 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong


Kekerasan yang dilakukan media dapat juga menempa atau membentuk perang (forging war), seperti yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo, di mana peran media sangat dominan untuk memprovokasi pihak-pihak yang bertikai. Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau kekerasan. Seringkali, saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan Jurnalisme Kekerasan (Violence Journalism) agar lebih laku “dijual” untuk kepentingan industri medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik “membeli” yang akhirnya “tergiring” larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media sebagai opininya.

Kita bisa lihat saat ini, media dengan tampilan kekerasan, konflik seksualitas, gosip/isu dan sejenisnya, menjadi pilihan yang cukup diminati khalayak. Padahal kalau mau dicermati, gambaran yang ada di benak khalayak yang “dibentuk” oleh informasi inilah yang nantinya menjadi dasar proses penentuan sikap, perilaku atau respons masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik dan kekerasan.

Masih teringat jelas ketika Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam Husein dalam “Operasi Badai Gurun” pada Perang Teluk tahun 1997. Salah satu jaringan televisi dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai sebuah sajian “hiburan”. Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.

Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya, mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Momentum ini dimanfaatkan betul untuk merevitalisasi peran jurnalisme dalam sebuah konflik yang terjadi.

Rangkaian peristiwa inilah yang menggagas kembali jurnalisme damai (peace journalism) sebagai antitesis terhadap jurnalisme perang/kekerasan (war/violence journalism) yang telah berkobar terlebih dahulu. Boleh jadi, bahwa jurnalisme damai menjadi populer ketika audience mulai jenuh dan tidak suka dengan pemberitaan yang berbau konflik, kekerasan dan kurang manusiawi.

Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi. Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.

Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.

Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Namun Jurnalisme damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku pada tahun 1999.

Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang. Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan. Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar. Seringkali dalam meliput berita pun mereka hanya mengandalkan beberapa narasumber yang bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.

Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan ”talking journalism” atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers ”big name big news, no name no news” masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.

Jurnalisme damai dapat berjalan apabila ada upaya dari penguasa untuk menerapkan keadilan. Maka dari situ muncul apa yang dinamakan dengan jurnalisme advokasi. Praktek jurnalisme damai di Indonesia memang sulit untuk dilaksanakan. Faktor keamanan menjadi salah satu alasan mengapa wartawan Indonesia sulit untuk cenderung tidak berpihak. Selain itu, unsur ”kekerasan” dianggap masih menjadi sebuah daya tarik bagi pemberitaan. Padahal sebenarnya audience sudah mulai bosan melihat tayangan yang tidak manusiawi. Dengan melihat perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme perang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jurnalisme damai berorientasi pada perdamaian/konflik, kebenaran, masyarakat dan korban, penyelesaian dan penghentian kekerasan. Sedangkan jurnalisme perang berorientasi pada perang/kekerasan, propaganda, elite dan pelaku kekerasan, kemenangan.

Pemberitaan di Indonesia sendiri jurnalisme damai tidak hanya dapat melihat reportase mengenai masalah-masalah dalam negeri, namun juga masalah-masalah internasional. Seperti pada kasus bom WTC.

Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Dan memang sudah sepantasnyalah jurnalisme damai ini diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama serta adat istiadat yang berbeda yang rawan timbulnya konflik.

Kala itu, konflik antara TNI dengan GAM belum juga menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan perseteruan itu kian meruncing sehingga kedua pihak saling menyerang secara terbuka. Korban jiwa akhirnya berjatuhan tidak hanya dari kedua belah pihak, tetapi juga dari wartawan yang tengah meliput, yakni reporter RCTI Sory Ersa Siregar, setelah sebelumnya ia dan kamerawan Ferry Santoro ditawan.

Banyak silang-pendapat terjadi pasca tewasnya wartawan perang itu. Kabar yang beredar sebagaimana yang diberitakan media, Ersa tewas ditembak GAM. Namun ada pula kabar yang mengatakan, Ersa tewas ditembak TNI. Mana yang benar bukanlah sebuah pesan yang hendak saya katakan. Justeru yang saya tekankan di sini, sudah menjadi sebuah risiko dan tugas mulia bagi seorang jurnalis meliput daerah konflik semacam Aceh yang terjadi pada akhir Desember 2003 silam.

Kerap kali kita mendengar istilah ’Jurnalisme Damai’ dalam dunia kewartawanan, khususnya pada saat meliput peristiwa konflik. Entah itu konflik suku, agama, ras atau antargolongan (SARA). Maksud istilah itu, sedapat mungkin jurnalis yang meliput peristiwa konflik mendorong proses perdamaian dalam pemberitaannya. Bukan sebaliknya malah ’mengompori’ kedua pihak untuk meneruskan konflik hingga dampak kerugian kian meluas.

Dalam dunia jurnalistik ada pula ungkapan ”The bad news is the good news,” termasuk pemberitaan konflik itu sendiri. Dan konflik, menurut Iswandi Syahputra dalam bukunya Jurnalisme Damai, Meretas Ideologi Peliputan di Daerah Konflik, “dapat muncul kapan saja dan di mana saja, harus dibarengi dengan semangat kuat untuk memerangi konflik itu sendiri”.

Dalam bahasa sederhananya, peran media dalam memberitakan kasus-kasus pertikaian memiliki dua potensi yang sama besarnya, yakni memberikan kesempatan kepada kedua pihak yang berkonflik untuk menempuh jalan damai atau malah memperuncing keadaan atas pemberitaannya tersebut. Meskipun dipengaruhi ideologi media yang bersangkutan, namun falsafah “menjauhi keburukan yang lebih besar lebih baik dari mengambil manfaat yang sedikit” tetap harus diutamakan.

Maksudnya, keuntungan mendapatkan berita jauh lebih kecil ketimbang dampak yang dihasilkan bila berita itu dipublikasikan dan berakibat bisa memperkeruh suasana. Tersedotnya perhatian massa yang berdampak pada peningkatan oplah / rating atau bahkan iklan hanyalah keuntungan yang sedikit. Sebaliknya, bila media mampu meredam atau bahkan mendorong proses perdamaian, maka manfaatnya akan jauh lebih besar dirasakan tidak hanya bagi pihak yang bertikai tapi juga persatuan dan nasionalisme bangsa ini.
Ironinya, media yang menyajikan konflik cenderung menjadikannya sebagai komoditi sosial ketimbang realitas sosial. Lebih jauh Iswandi Syahputra memberikan pendapatnya “posisi media dalam menyikapi konflik berkepanjangan tersebut tampak jelas bukan pada posisi yang memfasilitasi terjadinya konstruksi sosial secara utuh, namun cenderung menjual konstruksi sosial yang tertuang dalam sajian berita pada pasar untuk menyedot iklan yang lebih banyak”.

Dalam situasi konflik, media dipandang amat berperan penting dalam mengkonstruksikan realitas untuk membentuk dan menggiring opini publik. Karena peristiwa tidak dapat menunjukkan kepada khalayak. Untuk dapat memahaminya, komunikator (media / jurnalis) perlu menjadikannya kode-kode atau kumpulan simbol sehingga akan mempengaruhi makna bagi penerimanya. Dan pemilihan makna dan simbol tersebut bergantung pada ideologi media massa yang bersangkutan.

Dalam perjalanan konflik yang menahun, hasil akhir tidak hanya berakhir pada penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak yang bertikai (win-win solution) justeru win-lose solution (ada pihak yang menang dan ada yang kalah) atau lose-lose solution (kedua pihak sama-sama kalah). Karena itu, tidak heran bila kita melihat masyarakat dengan sengaja memilih konflik untuk menyelesaikan masalahnya.

Sumber artikel: http://bachtiarhakim.wordpress.com/2008/05/18/mengenal-jurnalisme-damai/