Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku High Tech High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Teknologi

Judul: High Tech High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Teknologi
Penulis: John Naisbitt, Nana Naisbitt & Douglas Philips
Penerbit: Mizan, 2001
Tebal: 280 halaman
Kondisi: Bagus (Stok lama)
Harga: Rp. 70.000 (belum ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312



Teknologi masa kini," demikian buku ini mencoba meyakinkan pembaca, "adalah kisah Amerika." Dan Amerika itu, selanjutnya, dilukiskan sebagai "tak henti-hentinya melahirkan kisah demi kisah: kebebasan beragama, anak-anak muda yang berpaling ke Barat, jalur kereta tanah, koboi dan Indian, individualisme yang bertabiat keras dan tegar...".

Seperti tak cukup, Amerika itu juga... "membelah dan menjatuhkan bom, membendung komunisme, I have a dream, rock and roll, bangsa pertama yang mendarat di bulan... Hollywood, ekonomi berbasis in- formasi, bangsa terkaya dan terkuat di muka bumi, dan kekuatan adidaya dunia". Kalimat-kalimat di atas jelas menunjukkan kedig- dayaan Barat dalam kemajuan teknologi.

Tak bisa dimungkiri, Barat mendominasi penemuan teknologi hampir di setiap sudut kehidupan -dari militer hingga media. Bahkan lewat in- ovasi di bidang teknologi, kini Barat tengah bertekad terus mencip- takan kemudahan-kemudahan bagi umat manusia di dunia. Dalam per- jalanan waktu, menurut buku ini, Amerika telah mengalami trans- formasi dari tempat yang nyaman secara teknologi menjadi zona mabuk teknologi (ZMT).

Inilah mungkin paradoks terbesar kemajuan teknologi yang dialami publik Amerika. ZMT itu ditandai oleh gejala-gejala berikut ini: kita lebih menyukai penyelesaian pelbagai masalah -dari gizi hingga agama- secara kilat; kita takut sekaligus memuja teknologi; kita mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu; kita menerima kekerasan sebagai hal yang wajar; kita mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan kita menjalani kehidupan yang berjarak dan tereng- gut (halaman 24).

Semua itu menghunjamkan rasa cemas dan gemas. Buku ini, misalnya, lahir dari kecemasan terhadap situasi sosio-kultural masyarakat ("kita") Amerika dalam hubungannya dengan teknologi. Ada ambiguitas yang mencolok dalam hubungan tersebut. Televisi, misalnya, sebelum- nya dianggap sebagai "penyatu keluarga" modern.

Tapi, pada kenyataannya, ia justru memencarkan anggota keluarga di ruangan yang berlainan untuk menonton atau mendengarkan musik kegemarannya masing-masing. Mereka tinggal dalam satu rumah, tetapi sebenarnya hidup sendiri-sendiri. Selain itu, pelbagai hal yang dieksplorasi buku ini memang rumit, dan beberapa di antaranya merupakan "pokok bahasan yang mengerikan".

Misalnya soal eugenika, kloning, rekayasa genetika, DNA, anak-anak yang membunuh, atau kekerasan yang meluas. Sesungguhnya kemajuan teknologi tersebut tidak dibarengi dengan kecermatan dalam menempat- kan diri. Dalam kata-kata buku ini, "Tidak banyak dari kita yang benar-benar memahami posisi teknologi atau di mana seharusnya teknologi itu berada dalam kehidupan kita."

Bahkan pun pertanyaan mendasar tentangnya belum terjawab: apakah sebenarnya teknologi itu? Dalam situasi demikian, orang menjadi gamang dan gagap. Kita, misalnya, bingung membedakan yang nyata dari yang artifisial. Ini terjadi ketika perkembangan terbaru dalam rekayasa genetika memungkinkan adanya suatu masa depan yang kelak terbebas dari cacat lahir dan cacat tubuh.

Dan ketika manusia dapat diciptakan di dalam labolatorium semudah di dalam rahim, apa sesungguhnya makna menjadi manusia? Ya, manusia Barat sekian lama melupakan hal ini. Dan ketika peradaban mereka tengah berada di ubun-ubun peradaban global, dan mereka hanyut dalam gelombang kemajuan teknologi, mereka bertekad menemukannya.

Di Barat kini muncul banyak sekali sekte, New Age, meledaknya buku- buku "suplemen" batin seperti serial Chicken Soup. Tapi, menurut penulis buku ini, penyelesaian kilat seperti itu pada akhirnya merupakan kehampaan belaka. Maka, secara keseluruhan, buku ini meng- gaungkan health warning yang penting: bagaimana menyikapi perkem- bangan teknologi secara arif.

Ia tidak harus diterima secara membabi buta seperti dilakukan kaum teknofilia, atau ditolak mentah-mentah seperti dilakukan kaum teknofobia. Meski berbicara tentang masyarakat Amerika, buku ini tak kehilangan relevansi dan signifikansinya bagi "kita" di Indonesia.

Mustofa Alumnus Teologi dan Filsafat, IAIN Jakarta