Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Islam Garda Depan

Judul: Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
Editor: M. Aunul Abied Shah, et al.
Sekapur Sirih: M. Quraish Shihab
Pengantar: Hassan Hanafi dan M. Dawam Rahardjo
Tebal: 350 halaman
Penerbit: Mizan Bandung, 2001
Kondisi: Bagus (buku bekas)

Terjual Jakarta Utara



Terputusnya silaturahmi intelektual yang kreatif antara umat Islam Nusantara dengan negara-negara di Timur Tengah, khususnya Mesir, disinyalir telah berlangsung sekitar tiga dekade. Para mahasiswa Indonesia, yang kebetulan menimba ilmu di negara-negara tersebut, didakwa telah gagal menjembatani proses transmisi pemikiran yang saling menguntungkan. Padahal gerakan pembaruan keagamaan yang terjadi sebelumnya, tak lain dari hasil dialog intens ulama-ulama Nusantara dengan gagasan-gagasan para pembaru Mesir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad 'Abduh atau Rashid Ridha.

Yang terjadi setelah itu justru tidak lebih dari pola relasi agent-recipient yang tidak berimbang: Mesir adalah produsen pemikiran, dan Indonesia sebagai konsumennya (yang tidak kritis). Apalagi mayoritas lulusan Timur Tengah lebih banyak berkiprah sebagai aktivis dakwah dan kurang aktif mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keagamaannya. Kondisi yang seolah-olah diafirmasi jurnal Ulumul Qur'an (No. 3, Vol. 5, 1994) saat membandingkan studi Islam di Timur dan di Barat serta kiprah kedua alumninya.

Tidak dijadikannya tradisi tulis-menulis sebagai medium alternatif, dan lebih diakrabinya tradisi oral untuk sosialisasi gagasan-gagasan; disebut-sebut sebagai penyebab utama kurang populernya mereka di bursa pertukaran pemikiran dan ide-ide. Berbeda dengan alumni Barat yang pada umumnya cukup terlatih dan sangat artikulatif menuangkan gagasan-gagasannya ke ruang publik. Apalagi media massa—seperti pernah dikatakan Quraish Shihab—acap mem-blow up-nya secara berlebihan. Selain pilihan lapangan perjuangan alumni Timur Tengah yang biasanya memang sepi dari gegap-gempita publikasi media massa.

Namun, anggapan itu—apalagi untuk konteks saat ini—tampaknya tak lagi sepenuhnya tepat. Jurnal Tashwirul Afkar (No. 8, 2000) terbitan Lakpesdam NU-The Asia Foundation misalnya, pernah menampilkan tulisan-tulisan cukup elaboratif dari mahasiswa Indonesia di Mesir tentang apa yang mereka sebut kebangkitan “Islam liberal” di negeri piramid tersebut. Dan buku berjudul Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah ini pun, karya para mahasiswa Indonesia di negara yang sama, setidaknya kian menampik asumsi keterbelakangan kiprah intelektual mereka.

Mitos bahwa studi di Mesir identik dengan melulu menghapal teks-teks perkuliahan pun karenanya berakhir sudah. Kini sedang muncul generasi baru mahasiswa Indonesia yang diandalkan mampu menciutkan kesenjangan jarak intelektual Mesir-Indonesia. Dan bahkan, seperti kata Hassan Hanafi pada “Pengantar”-nya di buku ini, mereka diharapkan “bisa berperan sebagai koridor penghubung antara Islam Asia dan Islam Afrika, dan antara dua sayap Islam di Timur dan di Barat” (hlm. 26).

Buku yang memuat sebelas biografi intelektual Mesir dan satu dari Maroko ini, sayangnya masih didominasi nama-nama lama. Apalagi tokoh-tokoh seperti Hasan Al-Banna, 'Abd Al-Halim Mahmud, Muhammad Quthb, Muhammad Al-Ghazali, atau Muhammad 'Imarah misalnya, sebenarnya sudah cukup lama terjemahan karya-karyanya membanjiri bursa buku nasional. Beberapa karya mereka malah menjadi semacam “manual” bagi sebagian aktivis masjid kampus. Demikian juga (karya-karya) Hassan Hanafi.

Amin Al-Khuli, Muhammad Syahrur, Malak Hifni Nashif Bik, dan 'Ali Harb barangkali empat nama yang karya-karyanya hampir belum pernah diterjemahkan dan diterbitkan di sini. Dua nama lain yang relatif baru dan akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan gagasan-gagasannya adalah Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad 'Abid Al-Jabiri. Gugusan pemikiran kedua tokoh ini sebelumnya pernah diterbitkan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial)—sebuah think tank kaum muda NU Yogyakarta yang getol memasarkan gagasan-gagasan pemikiran alternatif.

Dengan meminjam tipologi yang dibuat Muhammad 'Imarah, keduabelas pemikir(an) dalam buku ini oleh editornya dipetakan dalam tiga varian berbeda; yakni pertama tradisional-konservatif, kedua sekular, dan ketiga reformis (Al-Ishlah wa Al-Tajdid). Kaum tradisional-konservatif adalah mereka yang selalu mengedepankan “otoritas teks”—shulthah al-nash kata Nashr Abu Zaid—dan menempatkan rasio dalam posisi subordinat di depannya. Sementara kelompok cendekiawan sekular tampil dengan melakukan privatisasi agama, menjadikan Barat sebagai satu-satunya “model ideal”, dan melancarkan proyek desakralisasi atas teks-teks suci keagamaan. Di tengah-tengah dua titik ekstrim tersebut, kelompok reformis-moderat berdiri menengahinya.

Namun, menyadari tidak selalu memadainya kategorisasi yang dipakai, kadang-kadang tipologi di atas tidak dieksplisitkan saat membahas seorang tokoh seperti Hassan Hanafi, misalnya. Ini berpulang pada kenyataan tidak tunggalnya pandangan Hanafi saat berhadapan dengan spektrum persoalan yang luas dan berbeda-beda. Karena ada kalanya ia sangat apresiatif dengan pendekatan yang cenderung sekular; tetapi pada waktu lain lebih dekat kepada kaum reformis-moderat yang cukup kritis pada Barat seperti terlihat dalam gagasan oksidentalismenya.

Karena itulah pembaca seolah-olah diberi kebebasan untuk mengotakkannya antara sebagai pemikir sekular atau reformis-moderat. Alasan itu pula yang tampaknya mendorong editor buku ini untuk tidak mengklasifikasikan dengan kaku keduabelas pemikir dalam tiga tipologi tersebut.[] 

Resensi di atas ditulis oleh Damanhuri (peminat buku, alumnus Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyyah, Gontor, Ponorogo, Jatim).
Sungguh, buku ini adalah kerja keras yang patut disyukuri dari beberapa peneliti dan pemikir muda dari Indonesia yang sedang belajar di Kairo. Pada hakikatnya, para pemikir muda tersebut bisa berperan sebagai koridor penghubung antara Islam Asia dan Islam Afrika, dan antara dua sayap umat Islam di Timur dan di Barat.
Prof. Hassan Hanafi Pemikir Islam Kontemporer Terkemuka dari Mesir, Penulis Religious Dialogue and Revolution (1997)
Saya berharap, buku ini dapat lebih membuka mata orang bahwa produk Timur dan Barat dapat saling mengisi dan bekerja sama untuk mencapai cita-cita yang ideal.
Prof. M. Quraish Shihab Ahli Tafsir dan Penulis Buku-Buku Bestseller, seperti Membumikan Al-Quran, Wawasan Al-Quran, dan Mukjizat Al-Quran, diterbitkan Mizan
Di Indonesia kita lebih mengenal Mohamed Arkoun dan Malek Ben Nabi, dua pemikir besar dari Aljazair. Nama-nama lain yang diperkenalkan dalam buku ini tidak dikenal di Indonesia. Ternyata, mereka adalah sejumlah nama besar Mesir yang melahirkan wacana keislaman. Oleh karena itu, pembaca Indonesia sangat beruntung dengan penerbitan buku yang diedit oleh para mahasiswa itu.
Prof. M. Dawam Rahardjo Intelektual Islam, Penulis Risalah Cendekiawan Muslim, Intelektual, Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa (Mizan, 1993)