Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi Dawam Raharjo

Judul: Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi
Penulis: Prof. M. Dawam Raharjo
Penerbit: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Tebal: 561 halaman.

Sudah Terjual


Ketika bertemu Prof. John L. Esposito, Islamolog pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat, saya bertanya tentang pemikiran-pemikiran ekonomi M. Dawam Rahardjo. Ia menjawab datar, "Menyesal sekali saya tak mengikuti pemikirannya, karena ditulis dalam bahasa (Indonesia)." Saya bertanya karena Esposito adalah tokoh yang paling getol memetakan para pemikir ekonomi Islam. Khurshid Ahmad, penulis buku Studies in Islamic Economics, misalnya, dinobatkannya sebagai "bapak" disiplin ilmu tersebut.

Untuk lingkup cendekiawan Indonesia, gebyar pembicaraan ekonomi Islam tak mungkin lepas dari nama Dawam Rahardjo. Tokoh kelahiran Solo itu, selain aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), juga seorang pemikir pembaruan Islam garda depan. Bersama Nurcholish Madjid, KH Abdurrahman Wahid, dan Dr. Amien Rais, Dawam menawarkan berbagai tesa di seputar pembaruan Islam.

Yang membedakan Dawam dari tokoh lainnya, ia lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan ekonomi umat (baca: ekonomi Islam). Karena itu, pengamat Bachtiar Effendi menyebutnya sebagai seorang yang "banyak terlibat dalam pembangunan wacana" (halaman xv). Memang, di beberapa negara Islam, kesejahteraan masih menjadi masalah mendasar yang sangat sulit diatasi. Meski memiliki sumber daya alam yang melimpah, kemiskinan dan ketimpangan hidup sangat terasa.

Selama ini, kekuatan sumber daya manusia (SDM) umat Islam dituding masih sangat lemah. Alih-alih dikelola para pekerja lokal, sumur-sumur minyak di Arab Saudi, misalnya, justru dikuras perusahaan asing seperti Caltex (Amerika) dan Aramco (Arab-America). Selain itu, lemahnya etos kerja juga berpengaruh. Padahal, Islam mengajarkan etos kerja seperti dicontohkan sahabat Abdurrahman bin Auf. Ketika hijrah ke Medinah, ia memilih berdagang dan menolak menerima fasilitas apa pun.

Fenomena itulah yang ditangkap Dawam dengan nada penuh gugat. "Kita perlu suasana dan wacana keilmuan yang lebih kuat," tulisnya. Maka, yang harus segera dibenahi adalah rumusan awal tentang ilmu ekonomi. Apa yang menjadi garis haluan ekonomi Islam, dan ke arah mana kebijakan ekonomi Islam itu kelak bergulir (Bab I).

Dawam bersyukur, di Indonesia kini telah hadir sejumlah institusi untuk membangun ekonomi Islam. Misalnya Bank Muamalat, Bank Mandiri Syariah, dan berbagai Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), yang diharapkan mampu menjadi katalisator pengembangan disiplin ini. Tapi, menurut Dawam, SDM yang diharapkan mampu memenuhi permintaan pasar belum siap benar.

Untuk itu, dengan mengutip pendapat Dr. Anas Zarqa, ada tiga kualifikasi yang harus dipenuhi. Pertama, ekonom plus kiai seperti Syafii Antonio. Kedua, kiai plus (pemikir) ekonomi seperti Yusuf Al-Qardawi. Dan ketiga, ekonom dan kiai sekaligus, seperti bankir Hassnuzzaman (halaman 30-38). Jika SDM seperti itu tidak disiapkan, kasus Grameen Bank di Bangladesh bisa terulang.

Bank dengan reputasi internasional itu harus berhadapan dengan para ulama. Pasalnya, Grameen menyalurkan kreditnya ke para ibu dan... sukses. Pertimbangannya, ibu-ibu lebih pandai mengatur duit. Tapi kaum bapak merasa dilangkahi, karena "kekuasaan" mereka dikebiri. Protes para bapak ini didukung para ulama. Akibatnya, bankir dan ulama berdiri saling membelakangi.

Meskipun tidak utuh, buku ini jadi cermin pemikiran ekonomi transformatif Dawam. Kaya dengan data dan penuh intensitas. Sayang, pendekatan fikihnya masih terasa kabur. Misalnya, konsep zakat profesi. Dawam menganologikan zakat profesi dengan zakat perdagangan. Padahal, konsep zakat barang tambang (sebesar 20%) lebih tepat untuk itu. Seperti biasanya, kekuatan Dawam memang bukan pada orisinilitas pemikiran. Tetapi kemampuan melakukan transformasi hasil pemikir lain dengan sangat apik.

Inayatullah Hasyim
Alumnus pascasarjana International Islamic University, Islamabad