Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ironi Satu Kota Tiga Tuhan: Deskripsi Jurnalistik di Yerussalem

Judul: Ironi Satu Kota Tiga Tuhan: Deskripsi Jurnalistik di Yerussalem
Penulis: T. Taufiqulhadi
Penerbit: Paramadina, 2000
Tebal: 320 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Sragen



Ketika menjadi wartawan harian Media Indonesia, T. Taufiqulhadi mendapat kesempatan menimba ilmu dalam bidang perdamaian dan zionisme di Hebrew University, Yerusalem. Dari sana ia membawa "oleh-oleh" jurnalistik berupa buku kumpulan 61 tulisan. Antara lain membahas perilaku masyarakat, isu-isu politik, deskripsi para tokoh, dan kehidupan sosial keagamaan di Yerusalem.

Karena itu, buku "laporan pandangan mata" ini terkesan sebagai catatan harian seorang jurnalis. Antara lain karena, dalam setiap akhir laporannya - kecuali dua tulisan di halaman 162 dan 171- ia mencantumkan tanggal penulisannya. Tampaknya, Taufiq mulai aktif membuat laporan dari periode 1 Maret 1996 hingga 16 Juni 1997.

Taufiq mencatat dan berusaha menggambarkan peristiwa penting secara relatif utuh, mengenai hubungan agama-agama dan antaretnis di Yerusalem. Bahkan, secara spesifik, ia merekam sisi kehidupan manusiawi sehari-hari antara bangsa Palestina dan Israel. Meski secara politis kedua bangsa itu "berperang", ternyata pada sisi sosial dan keagamaan mereka bisa hidup damai.

Lihat, misalnya, foto yang menggambarkan seorang muslim hendak mendirikan salat ke Masjid al-Aqsha -yang sekaligus dijadikan foto sampul buku. Seorang serdadu Israel membantu memapah muslim itu hingga menyeberang jalan di kota tua yang legendaris itu (halaman 17). Kadang, beberapa catatan Taufiq diperkaya dengan data dan fakta sejarah, sesuai dengan topik yang dibahas.

Buku ini diawali dengan paparan yang jelas tentang sejarah panjang Yerusalem. Dari masa Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, hingga masa kini. Menurut Taufiq, dalam bahasa Ibrani, Yerusalem adalah "Yerushlayim", yang berarti "Kota Perdamaian". Dalam bahasa Arab ia disebut "Al-Quds", "Kota Suci".

Yerusalem menjadi tempat para pemeluk agama-agama monoteistik yang khusyuk dan ikhlas. Masjid al-Aqsha, Tembok Ratapan, dan Gereja Sepulchre merupakan tempat-tempat paling suci dan telah menjadi pusat bagi separuh lebih umat manusia. Di tempat ini mereka beristigfar kepada Tuhan, dan memohon kedamaian di dunia dan akhirat.

Namun, kota ini menjadi amat unik dan penting, karena dianggap paling mewakili suasana konflik antara kedua etnik yang bermusuhan. Bangsa Palestina dan Israel saling mengklaim Yerusalem sebagai wilayah kekuasaan mereka. Ironisnya, menurut Taufiq, Yerusalem diperebutkan justru karena diyakini sebagai kota suci, kota para nabi, dan kota yang diberkati Tuhan - seperti dijelaskan dalam Al-Quran (Al-Isra'/17: 1).

Menguasai Yerusalem berarti melaksanakan kehendak Tuhan untuk menyucikan kota tersebut dari kotoran para pemeluk agama lain. Akibatnya, kekerasan pun dipandang dari kepentingan yang berbeda. Taufiq, misalnya, mencatat pandangan orang Israel mengenai dua jenis pembunuh. Jika orang Palestina membunuh orang Yahudi, mereka menyebutnya teroris. Tapi, jika orang Israel membunuh orang Palestina, ia disebut nasionalistis. Sayang, Taufiq tak mencatat versi Palestina.

Juga tak dicatat: kalau orang Israel menyebut "Yerushlayim" sebagai "Kota Perdamaian", lalu perdamaian dengan siapa, dan untuk siapa? Mengapa, misalnya, etnis Arab penduduk Yerusalem tidak boleh masuk Angkatan Bersenjata Israel? Paling jauh mereka hanya boleh jadi polisi, seperti yang dengan mudah ditemukan di pintu gerbang Masjid al-Aqsha, yang -memang- hanya boleh dimasuki umat Islam.

Idris Thaha, Alumnus Akidah-Filsafat, IAIN Jakarta