Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia

Judul: Gagasan Islam Liberal di Indonesia
Penulis: Greg Barton
Penerbit: Pustaka Antara & Paramadina, 1999
Tebal: 630 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong


Akhir tahun lalu terbit buku Liberal Islam, A Sourcebook, karya suntingan Charles Kurzman, profesor sosiologi di University of North Carolina, Amerika Serikat. Kini, di sini pun terbit buku sejenis, meski tak sama. Kurzman membahas gagasan-gagasan paling liberal dalam pemikiran Islam dunia dewasa ini, dalam kompilasi karangan pemikir muslim seluruh dunia mewakili isu-isu baru. Indonesia diwakili Mohammad Natsir dan Nurcholish Madjid.

Istilah "liberal" memang terkesan kontroversial. Apalagi, istilah ini sering dikonotasikan dengan Barat, sekular, dan dipengaruhi cara pandang orientalis. Tetapi, dalam studi penulis kedua buku tersebut, istilah liberal berkonotasi netral: pemikiran Islam yang terbuka, inklusif, dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual.

Kurzman menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur menyatakan sebuah pemikiran Islam dapat disebut "liberal". Yaitu melawan teokrasi (ide yang hendak mendirikan negara Islam), mendukung gagasan demokrasi, membela hak-hak perempuan, membela hak-hak nonmuslim, membela kebebasan berpikir, dan membela gagasan kemajuan.

Dalam buku Greg Barton, yang diangkat dari disertasi Ph.D di Monash University (1995), pemikir Islam Indonesia mutakhir yang dianalisisnya, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, disebut sebagai pemikir liberal dan progresif. Walaupun, terutama, Greg menyebut mereka sebagai pemikir neo-modernis, dalam arti yang pernah dikemukakan Fazlur Rahman.

Fazlur Rahman mengungkap empat periode perkembangan gerakan dan pemikiran Islam. Yaitu revivalisme klasik, modernisme klasik, neo-revivalisme, dan neo-modernisme. Revivalisme klasik adalah gerakan dan pemikiran yang dipelopori oleh kelompok Wahabi, yang berjuang melawan tradisionalisme Islam, dan yang telah membawa Islam kepada kejumudan hidup dan banyak bid'ah.

Gerakan ini memelopori cara pandang baru Islam puritan, yang nanti mendapat respons lebih "liberal" dari kalangan modernisme klasik, seperti yang dipelopori Sayyid al-Afghani, Muhammad Abduh, Iqbal, dan sebagainya. Tetapi, menurut Fazlur Rahman, usaha kalangan modernis klasik ini terkesan apologetik. Ia mencoba mengadopsi kemajuan Barat tanpa memperhatikan genius khazanah Islam.

Sikap yang tidak otentik Islam inilah yang direspons oleh kalangan neo-revivalisme seperti Abu Ala al-Mawdudi, Sayyid Qutb, dan sebagainya. Mereka mencoba mengembalikan Islam yang kaffah (menyeluruh) dengan jargon anti-Barat. Fazlur Rahman menyebut gerakan ini mengawali yang kelak menjadi fenomena "fundamentalisme Islam".

Melawan ortientasi "fundamentalis" ini, Fazlur Rahman mengharapkan munculnya generasi baru yang telah belajar dari kekuatan dan kelemahan ketiga generasi pemikiran dan gerakan sebelumnya. Inilah kemunculan Islam neo-modernis yang diharapkan dapat menampilkan wajah Islam yang maju, terbuka, inklusif, pluralis, dan liberal. Gerakan inilah yang disebut Barton "Islam Liberal".

Istilah ini juga dipakai Leonard Binder dalam analisis pemikiran modern Mesir, Turki, dan Iran, lewat bukunya, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988). Barton, dosen studi-studi agama pada Deakin University, Geelong, Australia, menganggap keempat tokoh yang dianalisis dalam buku ini: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib (almarhum), dan Abdurrahman Wahid merupakan pemikir Indonesia terkemuka yang mempromosikan paham Islam Liberal dalam garis neo-modernisme Fazlur Rahman.

Buku ini merinci pemikiran keempat tokoh tersebut, dengan ilustrasi yang sangat mendalam, walaupun orientasi studi teksnya sebatas 1981. Mengikuti Kurzman, minus persoalan hak- hak perempuan yang sekarang dikenal sebagai studi gender, keempat tokoh yang dibahas Barton menguraikan secara sangat mendalam pokok persoalan yang dikemukakan Kurzman.

Buku ini membantu kita memahami perkembangan mutakhir pemikiran Islam di Indonesia. Para tokoh itu membuat kita lega akan wajah Islam di Indonesia yang, walaupun harus terus diuji di kancah empiris, punya masa depan cerah. Dalam konteks Indonesia, Islam liberal diharapkan dapat mengisi nilai-nilai civil religion, agama madani, yang memberi dasar untuk etika bangsa dalam reformasi kini. Inilah Islam yang kita tunggu. Greg Barton tampaknya mempunyai harapan besar pada pemikir Islam liberal ini.

Gatra, 7 Juni 1999