Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid (4 Jilid)

Judul: Ensiklopedi Nurcholish Madjid (4 Jilid)
Penyunting: Budhy Munawar-Rahman
Penerbit: Mizan bekerja sama dengan Paramadina dan Center for Spirituality and Leadership, 2007
Tebal: 4.000 halaman

Sudah Terjual


Tak kurang dari 250 orang menghadiri peluncuran Ensiklopedi Nurcholish Madjid yang disunting Budhy Munawar-Rahman, Rabu pekan lalu. Perhelatan berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Sejumlah cendekiawan, seperti Dawam Rahardjo, Franz Magnis-Suseno, dan Norma Harsono, hadir untuk memberi apresiasi buku yang mengupas pemikiran Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur itu. Dawam dikenal sebagai figur pendukung gagasan Cak Nur. Romo Magnis adalah cendekiawan Katolik sahabat dekat Cak Nur dan sekaligus pengagumnya. Sedangkan Norma adalah seorang mualaf yang menemukan Islam ketika mengikuti kursus keislaman di Paramadina.

Budhy Munawar, yang selama 12 tahun (1992-2004) menjadi Direktur Pusat Islam Paramadina, dengan tekun menghimpun pikiran Cak Nur dan membukukannya menjadi 4.000 halaman, yang terbagai dalam 2.400 entri. Budhy menyebut Cak Nur sebagai ''seorang peminjam yang baik''.

''Ia tidak segan-segan mengambil khazanah dari macam-macam tradisi: Timur, Barat, Islam, Kristen, dan agama-agama lain,'' tutur Budhy. Semua khazanah terbaik umat manusia diolahnya sehingga menjadi sebuah pemikiran hibrida yang kaya nuansa dan inspiratif dalam memecahkan masalah keislaman dalam konteks keindonesiaan. ''Terutama dalam menghadapi berbagai isu modern dan global,'' katanya.

Sebagai pemikir brilyan, produk pikiran Cak Nur ada yang mengundang kontroversi tak berkesudahan. Isu yang dilontarkannya sejak awal 1970-an, seperti sekularisasi, pluralisme, atau Islam inklusif dan liberalisme, adalah istilah yang mengundang kontroversi. Cak Nur sendiri, kata Budhy, sudah merasa bahwa percikan pemikirannya akan menjadi isu kontroversial di kalangan umat Islam Indonesia.

Menjelang akhir hayatnya, dan ketika kondisi Cak Nur menurun drsatis pada pertengahan 2005, ia menyaksikan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 29 Agustus 2005, Cak Nur menghadap Sang Khaliq.

Pada waktu itu, Cak Nur merasa seperti ada gerakan sistematis yang menarik karpet di bawah meja yang menyajikan hidangan pluralisme Islam, sehingga mengakibatkan hidangan itu sekarang berantakan. ''Itulah kesedihan di akhir hayat Cak Nur,'' tutur Budhy, dengan nada yang juga sedih.

Dalam pandangan Dawam Rahardjo, tidak sedikit para pengkritik yang salah paham dengan istilah-istilah yang digunakan Cak Nur. Dawam memberi contoh bahwa sekularisasi tidak sama dengan sekularisme. ''Sekularisme adalah sebuah ideologi yang tertutup, sedangkan sekularisasi bukan paham yang statis, melainkan suatu proses yang terus berlangsung,'' kata Dawam.

''Sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi,'' Dawam menegaskan. Meski soal liberalisasi juga dibahas dalam ensiklopedi ini, menurut Dawam, gagasan liberalisasi adalah langkah awal menuju sekularisasi. ''Nurcholish sudah menganjurkan perlunya liberalisasi pemahaman agama dan ajaran-ajaran Islam. Namun ia belum sampai pada perumusan Islam liberal sebagai aliran tersendiri,'' ujar Dawam.

Gagasan tentang Islam liberal baru lahir di bawah kepemimpinan Ulil Abshar-Abdalla, yang menjadi Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). ''JIL berhasil merumuskan gagasan Islam liberal,'' kata Dawam. Cak Nur, lepas dari kontroversi atas pikiran dan gagasannya, selama ini dikenal sebagai ''ensiklopedi berjalan''.

Ia biasa mengulas satu masalah dengan berbagai sudut pandang keilmuan, juga menggunakan teks-teks Al-Quran. Keluasan ilmu dan referensi yang tersimpan di ruang pikirnya mejadikan ia cendekiawan langka. Tapi, ketika pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan Cak Nur dibukukan, mestinya tak dibiarkan berdiri sendiri.

Pikiran atau gagasan itu perlu direvisi bila kondisinya memang sudah berubah. Salah satu contoh adalah kesimpulan Cak Nur tentang ''Islam yes, partai Islam no!'' yang termuat di jilid 3, item Partai, halaman 2.328-2.329. Di sini Cak Nur berpendapat, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik.

Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun citra positif dan simpatik. Bahkan yang ada ialah citra sebaliknya.

Pendapat Cak Nur tersebut dilontarkan pada 1970-an, dalam kondisi saat itu. Tapi, setelah reformasi, partai-partai Islam bermunculan, dan beberapa mendapat perolehan suara cukup signifikan. Mestinya pernyataan Cak Nur itu diberi catatan khusus, dengan melihat kondisi sosial politik yang ada waktu itu dan pascareformasi.

Tampaknya Budhy, sebagai penyunting buku ini, membiarkannya tampil apa adanya. Lepas dari adanya kekurangan, dan tak mungkin akan sempurna betul, ensiklopedi ini sungguh sebuah karya yang luar biasa. Bukan hanya tingkat keseriusan penyunting dan ketebalan halamannya, ia juga menjadi bahan kajian yang akan terus diuji oleh waktu.

Istilah yang dipakai Cak Nur, sejak awal gagasannya dilontarkan pada 1970-an, mengundang kontroversi. Toh, ia punya pendapat yang berbeda dengan para pengkritiknya. Meskipun istilah yang dipakai sama, dengan latar belakang sejarahnya, Cak Nur mencoba memodivikasi, merevisi, dan membumikannya untuk Indonesia. Beberapa istilah itu, antara lain:

Pluralisme. ''Pluralisme harus dipahami sebagai 'pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban' (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya'' (Jilid 3 halaman 2.694).

Liberalisasi dan sekularisasi. ''Liberalisasi adalah pembebasan dari belenggu-belenggu kepercayaan yang tidak benar.'' Hal ini, menurut Cak Nur, sudah lama tertanam di Indonesia. Ini terlihat, misalnya, Muhammadiyah sejak awal berdirinya sudah melakukan hal itu. Beduk, misalnya, oleh Muhammadiyah dikatakan bukan dari bagian agama, melainkan kebudayaan.

''Ini sejalan dengan pernyataan Ibn Taimiyah bahwa la ilaha illallah merupakan pembebasan dari semua keyakinan palsu. Tauhid dimulai dengan negasi (meniadakan Tuhan) karena problem manusia bukanlah bertuhan atau tidak. Problem manusia adalah bertuhan banyak, dan itu salah. Karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah membebaskan diri dari segala macam paham ketuhanan untuk kemudian digiring sampai kepada paham ketuhanan yang benar, illallah.''

''Dalam upaya membebasakan diri dari tuhan-tuhan palsu ini penting dimunculkan istilah sekularisasi. Memang istilah ini value read than words (kata yang sarat dengan nilai) sehingga orang berbeda dalam memakainya. Tetapi, bagi saya, sekularisasi adalah mendevaluasi sesuatu yang dianggap sakral menjadi barang biasa, supaya tidak menjadi musyrik.''

''Sebagai contoh, burung garuda adalah kendaraannya Wisnu yang berarti sakral. Ketika dijadikan sebagai lambang negara, ia tidak menjadi sakral lagi karena sudah menjadi ornamen dan dekorasi. Tetapi, kalau kita masih memandangnya sebagai kendaraannya Wisnu yang sakral, berarti kita sudah musyrik'' (Jilid 2 halaman 1.733-1.734, lihat juga jilid 4 halaman 2.968-2.977).

Cak Nur telah memberi penjelasan cukup gamblang. Tapi itu bukan berarti kontroversi berhenti sampai di sini. Sikap yang bijak adalah mengujinya secara ilmiah dan kontekstual. Dan ini mesti terus dilakukan agar kita bisa mendapatkan yang terbaik untuk bangsa dan agama.

Herry Mohammad