Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Emha Ainun Najib Surat Kepada Kanjeng Nabi

Judul: Surat Kepada Kanjeng Nabi
Penulis: Emha Ainun Najib
Penerbit: Mizan, 1996
Tebal: 486 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Di tengah lesunya pasar buku Indonesia, buku Cak Nun -Emha Ainun Nadjib- tampaknya merupakan pengecualian. Bahkan kumpulan puisinya -jenis buku yang susah dijual- tetap memperoleh sambutan lumayan. Mengapa bukunya digemari? Surat Kepada Kanjeng Nabi ini tampaknya akan menjelaskan.

Lebih dari 100 kolom Emha yang dirangkum buku ini menyajikan tema beragam. Selain sarat anekdot segar, daya tarik lainnya terletak pada bahasanya yang mudah dipahami segala lapisan pembaca. Emha mampu membungkus kritik -sekeras apa pun- dengan humor yang memancing senyum. Tampaknya Emha mengerti betul bahwa bila masalah serius atau peka disampaikan dengan ''main-main'', justru akan mengenai sasaran, tanpa menyakitkan.

Surat Kepada Kanjeng Nabi dibagi menjadi empat bagian yang tak ketat. Bagian pertama mengelompokkan masalah-masalah sosial, bagian kedua menyisir masalah seni dan budaya, bagian ketiga menyingkap masalah politik dan ekonomi, sementara bagian keempat mengungkapkan persoalan agama.

Sebagaimana puluhan buku kumpulan tulisan kolom lain, buku ini mengekspresikan kegelisahan Cak Nun, mungkin juga kegelisahan kita, kegelisahan orang-orang kalah. Cak Nun dengan santai menggugat centang-perenang perekonomian, mampatnya ekspresi politik, akibat perubahan budaya masyarakat yang cepat. Seperti dikatakan Kuntowijoyo yang memberi kata pengantar buku ini, Emha menyuarakan sensibilitas pemuda, yakni pemuda yang kritis, suka protes, sekaligus religius, tapi sekaligus kalah.

Orang-orang kalah yang dalam bahasa agama disebut kaum mustadh'afin memiliki tingkat kerumitan yang kompleks. Ekspresi kekalahan sering tak terstruktur, cenderung mengambil langkah praktis, bahkan mungkin impulsif.

Cak Nun, yang berada pada denyut dan nadi kegelisahan massa, tampaknya harus mewakili bahasa kaumnya. Dalam hal ini menarik untuk diketengahkan teori Cak Nun tentang tiga jenis manusia. Pertama, manusia yang memperoleh kehormatan (karamah) dari Allah untuk memiliki potensi istimewa agar tak terlalu bergantung pada arus lingkungannya, dan memiliki kemampuan berhadapan dengan berbagai tantangan di luar dirinya. Kedua, manusia yang memiliki ketergantungan normal terhadap lingkungan pendidikan, sejarah, dan nilai yang membesarkannya. Ketiga, jenis manusia yang kelak akan cepat memperoleh kasih Allah (halaman 306), yakni mereka yang religius.

Teori yang bersifat personal ini dapat diperlebar menjadi teori sosial yang lebih global. Mungkin dari kacamata teori inilah kita dapat memahami Cak Nun dan kolom-kolomnya, termasuk fenomena bukunya yang laku.

Taufan Hidayat, Alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta