Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Beyond Belief: Esai-esai Tentang Agama di Dunia Modern

Judul: Beyond Belief: Esai-esai Tentang Agama di Dunia Modern
Penulis: Robert N.Bellah
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Pengantar: Olaf Schuman
Penerbit: Paramadina & The Ford Foundation, 2000
Tebal: 474 halaman
Buku bekas (cukup) 
Terjual by Karang Anyar


Kita beriman tanpa iman, melampaui iman (We believe without belief, beyond belief). Kutipan Robert N. Bellah dari syair Wallace Stevens itu menggambarkan isi buku ini, yang sekaligus meminjam judul syair itu, Beyond Belief. Bellah dewasa ini adalah profesor (emeritus) sosiologi paling terkemuka di Amerika Serikat.

Namanya begitu besar di sana, sehingga kalau dia memberikan ceramah, pendengar datang bagaikan menghadiri sebuah showbiz para selebriti. Ia begitu terkenal, bukan hanya di kalangan akademisi, melainkan juga bagi peminat awam yang ingin mengetahui segi-segi yang menarik dari kehidupan keagamaan dalam masyarakat.

Ia juga dikenal karena telah menyumbangkan pemahaman yang mendalam, yang dalam bahasa Indonesia sekarang mungkin bisa diterjemahkan dengan"Agama Madani'' -istilah untuk civil religion. Buku Beyond Belief: Esai-esai tentang Agama di Dunia Modern ini aslinya diterbitkan pada era 1970-an, tentu saja dengan ilustrasi situasi keagamaan Amerika yang pada waktu itu sangat optimistis mengenai sekularisasi pada dekade 1960.

Tetapi, ia bukanlah seorang sosiolog agama yang mau mempromosikan sekularisme. Bellah lebih sebagai ahli yang menaruh agama dalam dunia privat, yang dipisahkan dari negara, tetapi dalam bingkai transendensi yang malah diharapkan dapat memberikan nilai-nilai umum dari agama-agama itu, dalam kehidupan sosial-politik. Inilah civil religion itu.

Beragama, bagi Bellah, tidaklah berhenti pada simbol. Yang disebut"melampaui iman'' itu menunjukkan bahwa simbolisme tadi, kendati tak dapat dihindari, tidaklah final, melainkan bersifat sementara. Sebab, manusia -tentu saja dengan agamanya- akan terus- menerus mencoba memaknai dan memberikan konsepsi-konsepsi baru tentang kehidupan ini, yang jelas akan membawanya pada rahasia kemanusiaan itu sendiri secara lebih mendalam.

Buku Bellah, yang sangat apresiasif terhadap usaha"menemukan kembali arti agama'', ini mempersiapkan kita untuk melihat segi yang positif dari agama, dalam suatu wacana civil society. Sebelumnya, orang menaruh agama pada bingkai komunitas. Agama tidak menjadi urusan masyarakat urban yang pluralistis dalam hal tata nilai.

Karena itu, hanya nilai-nilai sekuler yang bisa mengikat dalam civil society, atau nilai-nilai tradisional lainnya. Dalam civil society, nilai-nilai yang sifatnya sekuler itu disepakati bersama dalam aturan hukum. Sebuah kata pengantar sengaja diminta untuk melihat relevansi pandangan Robert N. Bellah ini dalam konteks Indonesia.

Kata pengantar dibuat oleh Prof. dr. Olaf Schumann, guru besar Islamologi pada Universitas Hamburg, Jerman. Olaf pernah 10 tahun bekerja sebagai ahli Islam pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, dan selalu menjadi promotor ujian doktor dalam studi Islam pada beberapa STT di Indonesia dan Malaysia. Dalam pengantarnya, ia menekankan pentingnya agama bebas dari -atau secara relatif dipisahkan dari- negara.

Pembaca muslim yang melihat buku ini pasti akan tertarik pada artikel nomor delapan,"Tradisional Islam dan Masalah Modernisasi''. Tulisan ini sangat artikulatif dalam menggambarkan segi-segi modernitas Islam. Begitu modernnya Islam itu, tetapi karena perangkat kelembagaan sosial-politiknya belum ada, modernitas Islam pun gagal mewujudkannya dalam kenyataan kehidupan sosial-politik umat Islam pada waktu itu.

Sebagai sebuah renungan orang Amerika atas refleksi nilai-nilai agama Protestan di Amerika Serikat, buku ini sangat menarik bagi kita, bahkan relevan dengan kondisi kita sekarang ini. Pertanyaan yang muncul ketika membaca buku ini: apakah dengan kondisi antaragama yang cenderung tidak toleran dalam kehidupan sehari-hari umat beragama di Indonesia sekarang ini, gagasan civil religion bisa diwujudkan? Inilah pekerjaan rumah kita bersama.

Budhy Munawar Rachman