Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur'an

Judul: Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur'an
Penulis: Dr. Mujiyono Abdillah, MA.
Penerbit: Paramadina, 2001
Tebal: 235 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 45.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C


Ketika Adam dan Hawa sedang berasyik masyuk di alam surga, mereka dibujuk iblis untuk memakan buah khuldi. Arti harfiah kata "khuldi" adalah "keabadian". Iblis menjanjikan, Adam dan Hawa akan abadi berada di surga kalau mereka memakan buah tersebut. Tergiur oleh bujukan iblis, akhirnya mereka mendekati dan memakan buah yang sebenarnya telah dilarang Tuhan itu.

Akibatnya, oleh Tuhan, Adam dan Hawa diusir dari surga yang penuh kenikmatan tersebut --dan diturunkan ke bumi. Dalam tafsiran ekologis yang mutakhir diasumsikan bahwa buah khuldi itu merupakan metafor mengenai salah satu unsur di dalam ekosistem yang tidak boleh diganggu. Apabila diganggu, akan timbul bencana.

Kesadaran ekologis yang dibangun dengan landasan teologis (iman) salah satunya bermula dari penafsiran bahwa Adam dan Hawa telah merusak lingkungan dengan memetik buah khuldi yang mengakibatkan terganggunya ekosistem surga. Mereka telah melakukan dosa ekologis. Pemahaman mengenai dosa ekologis itulah yang kini menghilang dari kesadaran umat manusia.

Akibatnya, manusia menggunduli hutan, mencemari sungai dan laut, dan mengotori udara dengan polusi industri, tanpa merasa berdosa sama sekali. Bahkan, ketika perbuatannya tersebut menyebabkan bencana seperti banjir dan longsor, serta rusaknya lapisan ozon yang menimbulkan pemanasan global dan menaiknya permukaan air laut, manusia masih belum sadar.

Buku ini menggugat cara pandang demikian. Menurut penulisnya, bencana alam harus dipahami sebagai dampak perilaku manusia yang menentang sunah lingkungan, dan bukan sebagai kutukan Tuhan. Dengan kata lain, fenomena ekologi jangan dicampuradukkan dengan fenomena teologi, lebih-lebih menuduh Tuhan sebagai penanggung jawab terjadinya bencana alam.

Terdiri dari lima bab, buku yang berasal dari disertasi di Institut Agama Islam Negeri Jakarta ini sebenarnya mengajak kaum muslim untuk mulai mempertimbangan etika Al-Quran dalam melihat dan memahami isu lingkungan hidup kontemporer. Artinya, umat Islam seharusnya tidak perlu kehilangan perspektif dalam melihat permasalahan lingkungan.

Sebab, isi kandungan Al-Quran justru sarat dengan petunjuk mengenai bagaimana memperlakukan lingkungan, bagaimana hidup selaras dengan alam, dan bagaimana akibat yang timbul dari perilaku yang melawan sunah lingkungan. Berbagai kisah yang dimuat Al-Quran mengenai bencana lingkungan hidup, seperti banjir di negeri Saba', banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh dan Nabi Hud, diangkat dalam buku ini dengan penafsiran kontemporer.

Karena itu, kita akan menemukan perkembangan dari apa yang diistilahkannya dengan "teologi banjir" menuju "neo-teologi banjir"; dari "teologi energi" menuju "neo-teologi energi". Juga dibahas mengenai teologi musim, teologi cuaca, dan teologi pemanasan global, yang menurut penulisnya belum pernah ada dalam tradisi Islam.

Buku ini lahir dari sebuah ijtihad penafsiran yang cukup "berani" atas Al-Quran. Berani, karena penulisnya tidak lagi menggunakan versi terjemahan yang sudah umum dikenal, entah dari berbagai penafsir "swasta" maupun terjemahan versi Departemen Agama. Justru karena itu, penafsiran ayat-ayat lingkungan menjadi lebih hidup dan bernuansa.

Misalnya, terjemahan surat Al-Baqarah ayat 22 menjadi sebagai berikut: "Yang menjadikan bumi sebagai lingkungan hidup bagi manusia dan atmosfer sebagai pelindung keseimbangan ekosistem." Kesimpulannya, ekologi yang berkembang sejauh ini adalah ekologi ateistik dan sekularistik yang tidak ramah lingkungan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong eksploitasi alam secara besar-besaran. Manusia pun memperlakukan alam seolah-olah tanpa perasaan. Manusia, seperti pernah disinyalir Hossein Nasr, lupa bahwa alam atau lingkungan ini sebenarnya "bernyawa", memiliki dimensi spiritualitas. Menurut penulis buku ini, yang perlu dikembangkan adalah ekologi alternatif yang bernuansa religius- spiritual.

R. Raka Alam, Pemerhati masalah lingkungan hidup, tinggal di Jakarta