Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Bola-bola Nasib (Sindhunata)

Judul: Bola-bola Nasib
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Kompas, 2002
Tebal: 335 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok Kosong



Orang Amerika sangat nasionalistik. Mereka sudah menemukan bulan, tetapi bola belum. Dibuatlah baliho besar menggambarkan astronot Neill Amstrong mendarat dan menemukan bola di bulan, dengan bendera Amerika tertancap di dekatnya. Amstrong simbol prestasi nasional. Dus, bola pun bakal populer bila kesebelasan Amerika berhasil mengangkat kebanggaan bangsa Amerika. Itu sebabnya, orang Amerika bak menemukan bulan tatkala regu gurem Amerika Serikat melibas favorit Kolombia pada putaran pertama Piala Dunia 1994.

Kisah di atas dituturkan Sindhunata dalam buku Bola di Balik Bulan. Buku ini dipublikasikan serentak dengan Air Mata Bola dan Bola-Bola Nasib. Sepak bola, bukan sekadar olahraga rakyat, telah menjadi hiburan universal bagi umat manusia. Momen spektakuler Piala Dunia membuat hidup --kendati berat-- menjadi terasa enak ditanggung. Trilogi bola Sindhunata dipublikasikan dalam rangka mencukupi hasrat kemabukan pecandu Indonesia akan opium Piala Dunia 2002 di Korea dan Jepang.

Trilogi ini dengan penuh impresi berkisah tentang sepak bola indah (jogo bonito) ala tarian samba Brasil; permainan Argentina yang berani menunjukkan petualangan demi subtilitas dan atraktivitas bola; kemuraman cattenaccio (sistem gerendel) Italia yang menenggelamkan para pemain dalam ketegangan mereka sendiri; total football Belanda yang menekankan pressing, organisasi, dan determinasi tinggi; kick and rush Inggris yang unggul dalam umpan-umpan panjang dan penyelesaian akhir, permainan individual ala Spanyol; ironi Schnellszug (kereta api ekspres) Jerman yang pernah dijuluki sebagai "Kesebelasan Pengukur Tanah"; serta sepak bola multikultural Prancis.

Sindhunata juga mengisahkan bagaimana para bintang memupuk profesionalisme, mengalahkan egoisme, dan mengatasi krisis-krisis hidup. "Kami tidak merokok dan tidak pernah mencuri. Terpaksanya mencuri paling-paling apel di almari. Seumur hidup saya tidak akan mengingkari kesederhanaan ini," kata Zinedine Zidane (Zizou), mengenang masa kecilnya di La Castellane, Marseille. Bukan kebetulan, Zizou yang muslim dan filsuf Jacques Derrida sama-sama keturunan Aljazair. Dengan kakinya, Zizou telah mengaduk isi kepala Derrida mengenai kemungkinan masyarakat yang ramah terhadap siapa saja.

Tendangan Zizou membenarkan pemikiran Derrida bahwa l'impossible (ketidakmungkinan) tentang masyarakat yang terbuka harus dimungkinkan. Kontribusi Zizou bagi kemenangan Prancis di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 menguak misteri l'impossible. Masyarakat ayam jantan kembali bangga akan Revolusi Prancis yang gandrung liberte, egality, dan fraternity bagi siapa saja. Gol-gol Zizou merupakan amunisi bagi Presiden Chirac buat menembak Jean Mary Le Pen, politikus ultrakanan yang sangat anti-imigran. Tim Les Bleus disebut kesebelasan anti-SARA, karena sebagian besar anggotanya kaum imigran, yang adalah simbol integrasi bangsa Prancis.

Sepak bola, dalam sejarah Prancis, berguna untuk proses integrasi masyarakat multikultural. Bola memulihkan harkat manusia sebagai homo ludens, makhluk yang senantiasa menemukan kebahagiaan dalam bermain. Sepak bola mendekati sebentuk religiusitas yang di Belanda, Inggris, dan Jerman telah mengambil oper peran agama. Agama sering lamban dalam melindungi dan menyelamatkan manusia dari tekanan hidup zaman modern.

Sebanyak 147 tulisan dalam trilogi ini semula diterbitkan sebagai Catatan Sepak Bola Sindhunata di harian Kompas periode 1988 hingga 2000. Sebagian besar ditulis dalam kondisi ekstase ketika padri Katolik berasal dari Batu, Malang, Jawa Timur, ini mengambil gelar doktor filsafat di Muenchen, Jerman, 1986-1992. Begitu triloginya terbit, Sindhunata sendiri terheran, kok dulu ia bisa mengerjakan. Kini, mengingat kesibukannya, ia tak lagi sanggup menulis secara intensif catatan sepak bola.

Keunggulan Sindhunata terletak pada ke-prigelan-nya menghubungkan sepak bola dengan momen-momen kritis di bidang politik dan ekonomi. Trilogi ini menjadi sangat relevan, mengingat elite politik di sini setali tiga uang dengan ulah suporter bondo nekat (bonek), bondo garong (borong), dan bondo jagal (bojal). Jargon Bhinneka Tunggal Ika, tetapi prakteknya "persatean nasional".

J. Sumardianta
Pustakawan dan pecandu bola, tinggal Yogyakarta