Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi

Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi
Penyunting: Donald K. Emmerson
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama & The Asia Foundation, 2001.
Tebal: 707 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong


Derita Indonesia: Melimpah Ruah, Krisis Menggelora, Kekacauan Merajalela -Yugoslavianya Asia?" Judul menggoda ini pernah dimuat di sebuah koran Amerika, dan dikutip kembali oleh Donald K. Emmerson. Ia menggunakan kalimat panas itu untuk mengawali tulisannya yang menjadi penutup buku ini. Judul yang dipakai Emmerson tak kalah seram: "Akankah Indonesia Bertahan?"

Tatkala menyusun tulisannya, Emmerson, profesor ilmu politik di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, memang tengah gundah. Situasi politik Indonesia lagi berpusing-pusing. Naiknya Gus Dur menjadi presiden, yang prosesnya diawali lewat pemilihan umum relatif bersih, tak membuat suasana tenang segera tercipta.

Hobi presiden melancong ke mancanegara ketika situasi domestik membutuhkan perhatiannya secara ekstra membuat kredibilitas Gus Dur cepat anjlok. Apalagi, tak jarang presiden mengeluarkan pernyataan heboh. Misalnya, ucapan Abdurrahman Wahid pada November 1999, tak lebih sebulan setelah ia dipilih jadi presiden.

Waktu itu, dalam rangka mengomentari hasil jajak pendapat Timor Timur, presiden menyatakan tak adil jika rakyat Aceh nanti tak diberi kesempatan menggelar referendum guna memilih tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Mendengar ucapan Abdurrahman Wahid, tulis Emmerson, para pengamat luar negeri sampai pada kesimpulan: keruntuhan Indonesia sudah di ambang pintu.

Syukur, ucapan Gus Dur tak terbukti. Referendum tak jadi. Namun, Gus dan para stafnya harus bersusah payah menjelaskan maksud ucapan referendum untuk Aceh itu. Para pengamat luar lalu insaf: Gus Dur biasa ngomong tanpa persiapan. Emmerson lalu mengutip anekdot populer di kancah politik Indonesia saat ini: ada tiga rahasia Tuhan, yaitu pernikahan, kematian, dan ucapan Gus Dur.

Keutuhan negara Indonesia merupakan hal yang cukup merisaukan saat ini. Rantai kepulauan yang terbentang dari Aceh hingga Irian Jaya, sejauh 3.500 kilometer, itu bisa putus di salah satu matanya. Dilihat dari kepentingan politik dan kestabilan wilayah, negara- negara Asia Tenggara, termasuk Cina, tak akan mendukung konsep tercerai-berainya Indonesia. Sikap Amerika idem dito.

Negeri adidaya ini menyatakan mendukung konsep keutuhan wilayah Indonesia pascajajak suara Timor Timur. Namun, jangan lupa, dukungan Amerika ini belum final. Bila Jakarta mempertahankan kesatuan wilayahnya lewat cara brutal, dukungannya terhadap "keutuhan" itu bisa menipis. Apalagi, keutuhan itu juga bergantung pada banyak faktor lain.

Misalnya, sukses atau tidaknya demokratisasi dan stabilisasi politik di dalam negeri. Keberhasilan ini pun amat tergantung kinerja pusat dalam menghadapi tuntutan daerah. Namun, faktor penting penjaga persatuan adalah kesejahteraan ekonomi. Bila pemerintah pusat tak becus mendandani ekonomi yang rombeng, apa boleh buat, daerah-daerah memilih bersayonara.

Yang jadi pertanyaan kemudian: apakah tokoh-tokoh di pusat bisa menjaga keutuhan wilayah itu. Bisa pulakah mereka membekali dan memelihara dengan baik sebuah kesatuan yang mulus, bukan yang dipaksakan? Emmerson, di penghujung buku ini, tak mau menjawab pertanyaan itu. "Saya menyerahkan jawabannya kepada pembaca," tulisnya.

Kerisauan mengenai situasi Indonesia yang lagi runyam, baik dari sisi ekonomi maupun politik, seperti disampaikan Emmerson, disampaikan hampir seluruh penulis di buku tebal ini. Tercatat 10 pakar mengenai Indonesia menyumbangkan tulisannya, di antaranya William Liddle (Universitas Ohio, Amerika Serikat), Robert Cribb (Universitas Queensland, Australia), Robert Heffner (Universitas Boston, Amerika Serikat), dan Anne Booth (Universitas London).

Para penulis berupaya memotret Indonesia secara utuh. Karena itu, Emmerson mengawali buku ini dengan tulisan mengenai asal-usul lahirnya sebuah bangsa -yang kelak bernama Indonesia. Ada pula bagian yang memberikan perhatian pada perkembangan ekonomi: mulai tampilnya "mafia Berkeley" yang bisa mengempiskan inflasi hingga ujung keruntuhan Presiden Soeharto akibat rontoknya ekonomi.

Sebagai potret Indonesia di bawah Soeharto, buku ini lumayan lengkap. Data yang ditampilkan cukup gres. Sebetulnya, bagi yang tekun menyimak perkembangan ekonomi dan politik Indonesia, yang disampaikan Emmerson dan penulis lain tidaklah istimewa. Yang patut dipuji adalah ketekunan mereka mengamati perkembangan yang terjadi di Indonesia. Kalau mereka saja risau, kita lalu harus bagaimana?

Iwan Qodar Himawan