Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890

Judul: Eksploitasi Kolonial Abad XIX; Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890
Penulis: A.M. Juliati Suroyo
Penerbit: Yayasan untuk Indonesia, 2000
Tebal: 375 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Sleman


Lebih dari setengah abad bangsa Indonesia lepas dari ikatan penjajahan Belanda -buah dari perjuangan yang panjang. Gambaran kehidupan pada masa penjajahan makin jauh dari ingatan masa kini. Termasuk berbagai peristiwa dan praktek-praktek kebijakan Pemerintah Belanda terhadap rakyat tanah jajahannya.

Di tengah merosotnya pemahaman terhadap pengalaman masa lampau bangsa Indonesia, hadir karya Dr. A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX; Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Buku yang semula merupakan disertasi dalam bidang ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini cukup menarik.

Ia banyak memberikan informasi dan gambaran tentang hubungan pemerintah kolonial dengan rakyat tanah jajahannya di abad ke-19. Buku ini memuat dua hal penting. Pertama, kata "eksploitasi kolonial"; dan kedua, "kerja wajib". Keduanya memuat pengertian pokok yang berkaitan dengan gambaran tentang kehidupan pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia abad ke-19.

Kata "eksploitasi kolonial" memuat pengertian tentang salah satu ciri penting hubungan kolonial, yaitu sifat hubungan antara penguasa dan yang dikuasainya. Kata "kerja wajib" menunjukkan salah satu sistem kebijakan politik pemerintah kolonial yang dipraktekkan terhadap rakyat tanah jajahannya di Indonesia. Kasusnya diambil dari Keresidenan Kedu, Jawa Tengah.

Judul buku ini berhubungan erat dengan beberapa prinsip pokok hubungan kolonial, yang menandai sifat hubungan antara pihak penguasa kolonial dan rakyat yang dikuasainya. Pertama, adanya prinsip garis warna; kedua, prinsip diskriminasi, ras, etnik, atau golongan; ketiga, prinsip subordinasi; keempat, prinsip eksploitasi; dan kelima, segregasi.

Prinsip garis warna menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang menyangkut hubungan antara pihak penguasa kolonial dan rakyat yang dijajah selalu didasarkan pada prinsip garis warna kulit, "kulit putih" (Eropa, Barat) dan "kulit berwarna" (cokelat, kuning, hitam; Asia, Afrika), sebagai dasar untuk menentukan pembedaan status, peran, nilai, dan privilese.

Prinsip garis warna erat kaitannya dengan prinsip kedua, diskriminasi. Ciri kedua ini mendasari prinsip pembedaan dan perbedaan yang mewarnai segala bentuk hubungan antara pihak penguasa asing Belanda dan rakyat pribumi. Diskriminasi mencakup segala bentuk, baik menyangkut garis warna berdasar ras, kulit, maupun etnisitas dan golongan. Diskriminasi ada dalam politik, pemerintahan, perekonomian, pergaulan sosial, pendidikan, dan kebudayaan.

Jabatan gubernur jenderal sampai residen, asisten residen, dan kontrolir, dalam administrasi pemerintahan, selalu dijabat orang kulit putih. Sementara pribumi (Indonesia) hanya mendapat kedudukan dan pangkat bawahan: bupati, wedana, camat, sampai lurah. Sekalipun pintar dan memiliki pendidikan tinggi, pribumi tidak mungkin menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan, ataupun dalam perusahaan kolonial.

Kedudukan warga negara kolonial juga dibedakan atas tiga golongan, yaitu golongan orang Eropa (Western, European, kulit putih), golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen; Cina [kuning] dan Moor); dan golongan pribumi, yang disebut "inlander". Pendidikan dibedakan untuk orang kulit putih dan untuk pribumi. Pelajaran juga dibeda- bedakan, sehingga hasilnya berbeda.

Prinsip subordinasi maksudnya prinsip pengabdian pihak yang dijajah terhadap yang menjajah. Pribumi harus tunduk dan mengabdi pada kepentingan penguasa kolonial. Patuh, tunduk, dan loyalitas menjadi tuntutan penguasa kolonial terhadap rakyat jajahannya. Prinsip eksploitasi merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip sebelumnya, yaitu pengambilan keuntungan bagi pihak penguasa dari daerah jajahannya.

Karena itu, hubungan kolonial bersifat eksploitatif dan ekstraktif. Praktek penindasan dan pemerasan, dengan demikian, menjadi ciri penting lain dalam hubungan kolonial. Segregasi merupakan ciri kelanjutan dari prinsip-prinsip garis warna dan diskriminasi. Tata lingkungan dan permukiman di perkotaan kolonial selalu dipilah-pilah atas dasar kedudukan dan golongan, ras, dan etniknya.

Di perkotaan dibedakan hunian orang Eropa dengan pribumi dan orang Timur Asing. Pribumi ditempatkan dalam kesatuan kampung-kampung, seperti Kampung Melayu, Kampung Bugis, Kampung Banjar, dan Kampung Jawa. Demikian juga bagi orang asing dari Asia terdapat Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Moor, dan sebagainya. Dengan demikian, kebijakan kolonial bersifat segregatif dan anti-integratif.

Dalam buku ini, penulis hendak mengemukakan bahwa sistem kerja wajib di daerah Kedu telah menggambarkan salah satu corak hubungan kolonial yang bersifat eksploitatif dan ekstraktif. Menurut penulis, konsep kerja wajib yang dipraktekkan Belanda pada dasarnya peningkatan konsep kerja wajib dari masa kerajaan.

Di masa kerajaan, Kedu menjadi wilayah pejabat kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta) yang ditugasi memerintah daerah itu, dengan imbalan gaji dalam bentuk tanah yang disebut lungguh atau apanage. Tanah lungguh itu digarap oleh petani atau penduduk setempat dengan kewajiban membayar pajak kepada pejabat setempat, dan menyerahkan hasil bumi, tenaga (kerigaji), dan uang kepada kerajaan.

Tugas kerigaji (kerja untuk kerajaan), seperti gugur-gunung, memperbaiki jalan dan saluran air milik kerajaan, kemudian diganti dengan uang. Mengingat kerja wajib kerajaan prakteknya tidak banyak, dan pihak pemerintah kerajaan kurang memperhatikan prasarana dan perkembangan perekonomian daerah, maka tugas kerigaji dalam prakteknya tidak memberatkan rakyat Kedu.

Hal ini berbeda dengan masa pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial mengambil alih tradisi kerja wajib, yang semula milik kerajaan, menjadi kerja wajib milik pemerintah kolonial, yang disebut Heerendiensten. Terjadilah perubahan, dari yang semula bersifat lokal menjadi nasional. Kerja wajib kolonial diterapkan secara luas di seluruh wilayah Hindia Belanda, dengan peraturan dan ketentuan baru, terutama untuk mendukung program penggalian komoditas ekspor dari tanah jajahan melalui pelaksanaan Kultuurstelsel, atau lebih dikenal dengan sistem Tanam Paksa (1830- 1870).

Akibat perang panjang di Eropa, Kerajaan Belanda kekurangan uang. Van den Bosch, yang diangkat menjadi gubernur jenderal di tanah jajahan, menciptakan sistem penggalian uang dengan jalan membuka lahan tanaman yang laku diekspor di pasaran Eropa. Caranya, dengan menerapkan sistem tanam wajib tanaman yang dibutuhkan pemerintah.

Sistem ini merupakan perluasan sistem Priangan (sistem tanam wajib di Priangan), yang telah dipraktekkan sejak zaman VOC. Tanaman tebu, kopi, nila, tembakau, dan jenis lainnya perlu diperluas di Jawa dan sebagian di luar Jawa. Pelaksanaan Kultuurstelsel itu memerlukan program pengerahan tenaga kerja murah secara besar-besaran, untuk keperluan membuka lahan perkebunan, pertanian beserta prasarana jalan dan bangunan-bangunan yang diperlukan. Karena itulah, Pemerintah Belanda sangat berkepentingan mengangkat sistem pengerahan tenaga kerja murah dari masa tradisional tersebut.

Pada masa kolonial, sistem kerja wajib dikenal dengan sebutan rodi, atau kerja paksa. Yakni sistem pengerahan tenaga kerja tanpa dibayar. Pada zaman pendudukan Jepang juga dikenal adanya pengerahan tenaga romusha, yang mirip dengan rodi. Penulis di sini lebih suka menggunakan istilah "kerja wajib", dengan pertimbangan karena ada juga kerja yang dibayar, sekalipun dengan murah (lihat halaman 25, pada catatan kaki).

Dalam penulisan sejarah sosial ini, penulis memang berhasil menggali sumber-sumber dokumen arsip Belanda yang cukup mampu mengungkapkan gambaran kehidupan masyarakat Indonesia pada masa penjajahan. Pada tempatnyalah apabila saya menganjurkan agar khalayak ramai secara luas dapat membaca karya yang menarik ini.

Oleh: Djoko Suryo, Guru Besar Sastra Universitas Gadjah Mada