Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik di Aceh, Maluku, Papua dan Riau

Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik di Aceh, Maluku, Papua dan Riau
Penulis: Tim Peneliti LIPI (Riza Sihbudi, dkk)
Penerbit: Mizan, LIPI dan Kantor Menristek RI (2001)
Tebal: 244 halaman
Stok Kosong

Dalam ilmu-ilmu sosial, konflik terjadi akibat hubungan sosial yang bersifat negatif. Hubungan sosial yang bersifat positif adalah jika hubungan itu memberikan manfaat kepada sesamanya. Tetapi, bila hubungan-hubungan sosial itu tidak lagi memberikan manfaat, bahkan menciptakan ketidakadilan, ia akan berubah negatif. Inilah yang menimbulkan konflik.

Di era reformasi ini, Indonesia tengah dihadapkan pada konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Lihatlah apa yang menimpa kehidupan sosial di Aceh, Papua, Maluku, Riau, Sampit- Palangkaraya, dan lain-lain. Rupanya, Puslitbang Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) secara intens meneliti faktor-faktor ancaman dan potensi disintegrasi nasional itu.

Mereka melakukan penelitian ke daerah-daerah yang bergolak, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Riau. Hasil penelitian tim PPW-LIPI, yang dikoordinasikan oleh Riza Sihbudi, itulah yang dibukukan dengan judul Bara dalam Sekam ini. Di Aceh, misalnya, mereka melihat banyak faktor yang bertumpang tindih.

Masyarakat Aceh memiliki tradisi resistensi yang sangat kuat. Namun, Aceh juga merupakan pembela Republik terdepan yang tiada bandingannya. Tampaknya, kontribusi besar itulah yang diabaikan pemerintah pusat. Jakarta merasa cukup hanya dengan memberikan status "istimewa" sebagai imbalan atas jasa rakyat Aceh. Ironisnya, "keistimewaan" itu pun hanya tertuang di atas kertas.

Kekayaan alamnya, berupa gas alam dan minyak bumi, tidak pernah dinikmati secara adil dan proporsional oleh rakyat Aceh. Pemerintah pusat justru makin menindas dan memaksakan aspirasi politik ketika eksploitasi atas kekayaan Aceh berlangsung intens. Tuntutan keadilan dijawab dengan pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer.

Dengan demikian, akar persoalan Aceh bersumber dari kekecewaan masa lalu. Pembangunan yang dilakukan Orde Baru justru menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik, serta sentralisme dan eksploitasi kekayaan alam oleh pusat, dan penghancuran kultur Aceh. Sementara itu, Papua, daerah yang kaya emas, nikel, dan tembaga, juga mengalami nasib yang nyaris sama.

Papua bergolak sejak pertengahan 1960-an, tak lama setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia. Latar belakang tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat Papua berkisar pada soal distribusi hasil eksploitasi atas kekayaan alam mereka yang dirasakan tidak adil. Adanya pendekatan yang represif merupakan faktor lain yang menyebabkan integrasi Papua belum juga kunjung terselesaikan.

Adapun Riau, yang kaya minyak bumi, relatif tidak memiliki akar perlawanan yang kuat, seperti halnya Aceh dan Papua. Selama Orde Baru, rakyat Riau diam. Tapi, ketika Soeharto lengser pada Mei 1998, rakyat Riau mulai menghujat "pemerintah pusat" secara terbuka. Persoalan Riau bersumber pada ketidakadilan akibat eksploitasi yang dilakukan pusat.

Sedangkan konflik horizontal di Ambon dan Maluku, yang hingga saat ini belum juga reda, bersumber pada ketidakadilan di bidang sosial- ekonomi, politisasi birokrasi, melemahnya mekanisme tradisional, keterlibatan militer, adanya konflik kepentingan elite pusat dan elite lokal, serta isu agama. Dimensinya agak sedikit berbeda.

Tapi, pada umumnya, pergolakan di daerah merupakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan kecenderungan pembangunan yang memarjinalkan peran dan kontribusi masyarakat lokal. Pendekatan pembangunan yang cenderung eksploitatif dan menjadikan daerah sebagai "sapi perahan" pemerintah pusat merupakan faktor penting di balik kekecewaan itu. Buku ini tidak hanya mengidentifikasi akar masalah dan konflik di empat daerah tersebut, melainkan juga memuat solusi pemecahannya yang terbagi dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.

Lili Romli