Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Tema Pokok Al-Qur’an

Judul: Tema Pokok Al-Qur’an
Penulis: Fazlur Rahman
Penerbit: Pustaka Bandung, 1996
Tebal: 279 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (belum ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312

Dalam buku yang berjudul Tema Pokok al-Qur’an ini, Fazlur Rahman menjabarkan pokok bahasannya menjadi 8 tema utama. Kedelapan tema utama tersebut adalah sebagai berikut:: Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, Lahirnya Masyarakat Islam. Di bawah ini, akan diuraikan secara ringkas isi dari masing-masing tema tersebut.

Fazlur Rahman ingin memfokuskan bab pertama ini pada permasalahan tentang perlunya pemahaman akan adanya Tuhan, keesaan Tuhan, dan akibat-akibat langsung dari masalah-masalah tersebut menurut al-Qur’an. Misalnya, mengapa kita harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa kita perlu meyakini tentang adanya yang lebih tinggi daripada alam ini? Al-Qur’an  menunjukkan keyakinan yang lebih tinggi dari alam itu sebagai “keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib”. Dalam batas-batas tertentu dan melalui wahyu Allah, maka yang “gaib” ini dapat dilihat oleh manusia-manusia tertentu seperti nabi Muhammad.

Terkait dengan permasalahan tersebut, al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu dapat dipahami bukan sebagai sesuatu yang irrasional melainkan sebagai Kebenaran Tertinggi.  Dalam mencapai tujuan ini, manusia perlu untuk berupaya. Bahkan, manusia harus mendengarkan seruan-seruan dari  al-Qur’an. Ia dikatakan beriman apabila ia mengalihkan perhatiannya pada berbagai fakta yang jelas dan kemudian mengubah fakta-fakta itu menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain. Tuhan memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Tuhan itu serba meliputi. Tuhan itu juga adalah yang esa. Apabila tuhan lebih dari satu maka hanya satu saja yang tampil sebagai Yang pertama. Dalam al-Qur’an dikatakan ”Allah berkata: Janganlah mengambil dua Tuhan karena Dia adalah Esa.”

Al-Qur’an dengan lugas menyatakan bahwa manusia itu diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah (15:26, 28, 33; 6:2; 7:12, dan ayat-ayat lainnya). Setelah manusia terbentuk, Allah kemudian “meniupkan ruh-Ku sendiri” ke dalam diri manusia. Selain itu, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang menekankan doktrin dualisme radikal antara jiwa dan raga sebagai unsur yang ada pada manusia, Al-Qur’an tidak mendukung doktrin semacam itu. Tidak disebutkan dalam al-Qur’an, pernyataan bahwa manusia terdiri dari dua buah substansi yang berbeda dan bertentangan, yakni jiwa dan raga.

Terkait dengan kelemahan manusia yang paling dasar, al-Qur’an menyebutkan bahwa “kepicikan’ (dha’f)  dan “kesempitan pikiran’ (qathr) adalah penyebab dosa-dosa besar lainnya. Dari kepicikan manusia kemudian timbullah kesombongan diri manusia. Dari kesempitan berpikir timbullah sikap manusia yang mementingkan diri sendiri, ketamakan, tingkah laku yang ceroboh, kurangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan kekuatiran yang terus menerus. Karena kepicikan inilah manusia mempunyai sifat yang suka terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi-reaksi yang dilakukannya. Dengan sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Sifat manusia yang goyah (senantiasa beralih dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya yang disebabkan oleh kesempitan akal dan kepicikannya ini) menunjukkan berbagai tensi moral yang dasar, dimana tingkah laku manusia haus berfungsi jika ia ingin menjadi kokoh dan berhasil.

Tegaknya sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika, dan dapat bertahan di muka bumi ini adalah yang menjadi tujuan utama al-Qur’an. Hal ini tampak dalam celaannya terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial di dalam masyrakat Makkah waktu itu. Selain mencela aspek politheisme yang merupakan symptom dari segmentasi masyarakat, al-Qur’an amat mencela ketimpangan sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh serta yang menyuburkan perpecahan yang sangat tidak diinginkan di antara sesama manusia. Hal ini terus dikecam karena hal inilah yang paling sulit untuk disembuhkan dan yang merupakan inti dari ketimpangan sosial.

Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak melarang manusia untuk mencari kekayaan.  Al-Qur’an mengecam pernyalahgunaan kekayaan karena hal tersebut  dapat menghalangi manusia di dalam mencari nilai-nilai yang luhur. Selain itu, sikap tidak mempedulikan orang-orang yang memerlukan bantuan ekonomi ini adalah sikap yang mencerminkan puncak kepicikan dan kesempitan akal (kelemahan dasar dalam diri manusia). Al-Qur’an juga memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa mereka lebih baik mengeluarkan harta kekayaan mereka di atas jalan Allah dan dengan demikian mereka “berpiutang kepada Allah yang akan dibayar Allah dengan berlipat ganda” daripada membungakan uang untuk menghirup darah orang-orang miskin (30:39; 2:245; 5:12,18; 57:11,18; 64:17; 73:20). Terkait dengan keadilan yang merata, al-Qur’an juga menetapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja” (59:7).

Al-Qur’an hanya sedikit sekali membicarakan  tentang kejadian alam (kosmologi). Terkait dengan metafisika penciptaan, al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47, 59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Karenanya, Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa  alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharaannya yang maha pengasih. Semua isi alam semesta ini mentaati Allah ‘secara otomatis”, kecuali manusia yang dapat mentaati atau mengingkari Allah. (95). Al-Qur’an menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta itu “Muslim” karena setiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi atau tidak menjadi “Muslim”) menyerah kepada kehendak Allah (3:83), dan setiap sesuatu memuji Allah (57:1; 59:1; 61:1; 17:44; 24:41).

Perbedaan terpenting diantara Allah dengan ciptaan-Nya adalah : Allah itu tak terhingga dan mutlak. Karenanya, setiap sesuatu yang diciptakannya adalah terhingga. Setiap sesuatu mempunyai potensi-potensi tertentu namun betapapun banyaknya potensi-potensi itu tidaklah dapat membuat yang tehingga melampaui keterhinggaannya sehingga menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksud (qadar, qadr, taqdir) dimana segala sesuatu itu tergantung pada Allah. Ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia memberikan kekuatan ataupun hukum tingkah laku dan dengan hukum inilah ciptaan-Nya dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta. Apabila sesuatu ciptaan melanggar hukumnya dan melampaui ukurannya, maka alam semesta menjadi kacau. “ukuran” yang dimaksud sebetulnya mempunyai sebuah bias yang kuat, yakni pola-pola, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan. Perkataan “ukuran” ini tidak menunjukkan teori predeterminasi (takdir). 

Fazlur Rahman menyatakan bahwa Kenabian dan wahyu Allah itu berdasarkan kepengasihan Allah dan ketidakdewasaan manusia di dalam persepsi dan motivasi ethisnya. Para nabi adalah manusia-manusia luar biasa yang karena kepekaan mereka, ketabahan dan wahyu Allah yang mereka terima serta yang kemudian mereka sampaikan pada manusia dengan ulet tanpa mengenal takut, dapat mengalihkan hati nurani ummat manusia dari ketenangan tradisional dan tensi hipomoral ke dalam suatu kawasan sehingga mereka dapat menyaksikan Tuhan sebagai Tuhan dan syeitan sebagai syeitan. Al-Qur’an memandang kenabian sebagai sebuah fenomena yang bersifat universal, dimana di setiap pelosok dunia ini pernah tampil seorang Rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an (40: 78;4 : 164). Ajaran rasul/nabi ini bersifat universal dan harus diyakini dan diikuti oleh semua manusia (inilah maksudnya bahwa kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah).

Selain itu, seorang nabi harus berhasil memperoleh dukungan dari kaumnya. Para nabi juga harus bertanggung jawab terhadap penyebarluasan ajaran-ajaran mereka. Sejak awal sejarah Islam, kaum Msilim berpandangan bahwa runtunan Rasul-rasul Allah berakhir dengan Muhammad: “Muhammad bukan bapak dari salah seorang di antara kalian; dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir” (33:40). Ada beberapa penafsiran argumentatif untuk menerangkannya. Yang pertama, adanya evolusi di dalam agama di mana Islam adalah bentuk yang terakhir. Yang kedua, penelaahan terhadap kandungan agama-agama yang ada akan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling memadai dan sempurna. Proposisi ini juga didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global.

Dalam al-Qur’an, gambaran umum tentang eskatologi adalah kenikmatan sorga dan azab neraka. Sorga dan neraka ini kerap dinyatakan sebagai imbalan dan hukuman secara garis besarnya, termasuk “keridhaan dan kemurkaan Allah”. Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat (al-sa’ah) ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal-perbuatannya. Al-Qur’an juga terus menerus menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu untuk masa mendatang” (59:18), karena apapun juga yang menimpa seorang manusia adalah hasil perbuatannya terdahulu. Terkait dengan hal tersebut, al-akhirah sebagai nilai-nilai terakhir (saat kebenaran) menjadi “pertimbangan” terhadap amal perbuatan manusia yang sangat penting artinya.

Al-Qur’an juga tidak membenarkan sorga dan neraka yang sama sekali bersifat “spiritual”. Karenanya, apa yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagai pribadi. Apabila al-Qur’an berbicara tentang kebahagiaan dan penderitaan fisik di akhirat nanti, maka yang dimaksudkannya bukanlah kiasan semata-mata, meskipun Kitab Suci memang mencoba menerangkan kebahagiaan dan penderitaan akhirat itu sebagai efek-efek dari perasaan kebahagiaan dan penderitaan yang bersifat fisik dan spiritual. Gambaran yang amat jelas mengenai api neraka yang bernyala-nyala dan taman sorga yang indah ini dimaksudkan untuk menerangkan efek-efek sebagai perasaan-perasaan fisik-spiritual yang riil dan yang berbeda dari efek-efek psikologis yang ditimbulkan oleh keterangan-keterangan tersebut. Sementara hukuman dan kebahagiaan fisik bersifat literal dan tidak merupakan kiasan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa aspek spiritual dari hukuman dan kebahagiaan itulah yang terpenting.

Yang dibahas dalam bab ini adalah prinsip kejahatan yang kerap dipersonifikasikan al-Qur’an sebagai Iblis atau syeitan, meskipun personifikasi yang kedua ini (syeitan) lebih lemah daripada yang pertama. Al-Qur’an menggambarkan syeitan sebagai pembangkang perintah Allah dan sebagai tandingan manusia, bukan sebagai tandingan Allah karena Allah berada di luar jangkauannya. Manusialah yang merupakan tujuan syeitan dan manusialah yang dapat menaklukan atau ditaklukannya. Karenanya, al-Qur’an memperingatkan manusia untuk terus berjuang melawan syeitan. Apabila manusia mengendorkan kewaspadaannya maka ia akan mudah terbujuk oleh “godaan” syeitan.  Aktivitas syeitan ini pada dasarnya terdiri dari aktivitas membingungkan seseorang manusia dan untuk sementara waktu membendungi kesadaran-keasaran batinnya.

Dari keterangan al-Qur’an, dapat diperoleh informasi bahwa sebelum kedatangan al-Qur’an, sebagian penduduk Makkah sangat menginginkan adanya agama baru seperti Yahudi dan Kristen. Keadaan yang seperti ini sebagiannya adalah disebabkan karena masuknya ide-ide Yahudi-Kristen ke mileu Arab. Mereka menginginkan sebuah agama baru dan sebuah Kitab Suci baru, sehingga mereka berbeda dari kaum-kaum yang terdahulu dan bahwa mereka tidak suka menerima Kitab-Kitab Suci yang terdahulu. Bahkan ketika al-Qur’an dibawakan oleh Nabi Muhammad, terjadi perbantahan-perbantahan pula dari antara penduduk Makkah supaya ajaran-ajaran al-Qur’an diubah. Mereka menghendaki  beliau untuk memberikan tempat pada tuhan-tuhan mereka di antara Allah dengan manusia. Kenyataan ini dapat menerangkan mengapa mereka tidak mau memandang Yesus lebih tinggi daripada tuhan-tuhan mereka sendiri.

Terakhir sekali kita harus mempertanyakan validitas dari konsep ‘putusnya hubungan dengan orang-orang Yahudi”tersebut. Tidak ada peristiwa, pernyataan, maupun tindakan yang khusus dari Nabi atau orang-orang Yahudi yang dapat dijadikan pedoman untuk konsep tersebut.
Dari buku ini, didapat kesimpulan:
  1. Metode kajian al qur’an yang ditempuh oleh fazlurrahman memang agak baru (pada zamannya) sekalipun bibit-bibit/usaha awal dengan metode serupa sudah pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya.
  2. Pendekatan kajian al qur’an dengan cara tematik, memang lebih menarik disamping juga memperkaya dan menambah ketajamn makna yang dikandung oleh sebuah ayat/surat dalam sebuah tema yang sama. Kajian yang demikian semakin menjadikan pesan/makna al qur’an jadi utuh (holistik) dan tidak terpecah-pecah (parsial)
  3. Pemiloihan tema al qur’an ke dalam 8 kategori itu patut dipertanyakan , atas dasar pemikiran/argumentasi apa al qur’an sebenarnya memuat kedelapan tema tersebut? Apakah didukung oleh data statistik? Prosentase jumlah ayat? Ataukah atas selera fazlurrhamna semata?
  4. Fazlur Rahman sama sekali tidak memasukkkan al Hukm (fiqh) sebagai bagian dari tema al qur’an padahal ia adalah bagian integral dari al qur’an yang sangat substansial. Nampaknya kriteria yang digunakan Rahman dalam menentukan tema-tema al qur’an lebih melihat kepada subyek dan hubungan antar subyek (seperti Tuhan, manusia Malaikat, Jin Iblis, Syaitan dan hubungan yang terjalin diantara subyek-subyek tersebut), Sementara obyek hukum (dan yang lain-lainnya) sama sekali tidak mendapat perhatian serius oleh fazlurrahman.
  5. Pemilihan subyek / pelaku sebagai faktor utamauntuk menentukan tema-tema al qur’an pada gilirannya mengakibatkan pembahasan yang tumpang tindih dan tidak fokus. Tema kedua, ketiga dan kedelapan sesungguhnya bisa dikategorikan dalam satu tema besar yang tidak perlu dipisah-pisahkan. Pemisahan bisa dilakukan dalam uraian /pembahasan tema sentral tersebut, umpamanya dengan menggunakan judul manusia mahluk bidimensional.
  6. Keseluruhan tema al qur’an dibahas secara tajam, mendalam dan bagus, kecuali pada tema kedelapan. Di sini Rahman kehilangan moment emasnya, karena fokus kajian adalah lahirnya masyarakat muslim akan tetapi di dalamnya justru dibentangkan panujang lebar perdebatan tentang entitas agama islam yang bukan merupakan unsur yahudi dan nasrani melainkan turunan dari nabi Ibrahim as.
  7. Adalah benar pernyataan Rahman yang mengatakan bahwa al qur’an tidak membuktikan adanya Tuhan akan tetapi menunjukkan cara untuk mengenal Tuhan. Filsuf Kontemporer Prancis Roger Garaudy (1982:146) mengatakan bahwa dalam al qur’an Tuhan tidak menunjukkan diri-Nya akan tetapi hanya menunjukkan sabdaNya dan hukumNya.
  8. Rahman beranggapan bahwa manusia bukanlah mahluk yang terdiri atas jiwa dan raga (hal. 26) pendapat beliau jelas secara diametral bertentangan dengan mayoritas kelompok filsuf baik Muslim maupun filsuf Yunani pada umumnya. Berbeda halnya dengan Ali Syari’aty (1982:90) beliau mengatakan bahwa manusia adalah gabungan lumpur (materi) dan Ruh Allah (Immateri). Ia adalah zat yang bidimensional, mahluk yang bersifat ganda , berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya yang unidimensional.
  9. Hal menarik lainnya adalah ketika Rahman mengatakan bahwa al qur’an diturunkan dengan mengambil setting kondisi masyarakat jahiliyyah yang cenderung timpang baik secara sosial maupun ekonomi.
Dicopy dari beberapa sumber