Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran

Judul: Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
Penulis: Prof. Dr. Harun Nasution
Penerbit: Mizan, 1995
Tebal: 464 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok Kosong

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional (650-1250 M), lalu kemudian  pemikiran tradisional (1250-1800 M). Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional dikalangan ulama Islam Zaman Klasik. Perbedaannya di Yunani karena tidak mengenal agama samawi maka pemikiran bebas, tanpa terikat ajaran agama dikenal dengan pemikiran rasional sekular. Akan tetapi pada masa Islam klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadist oleh karena itu disebut juga pemikiran rasional agamis.

Dalam pemikiran rasional agamis, akal manusia mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran Al-Qur’an dan hadist. Kebebasan akal tersebut hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu yang disebut dengan qat’iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksudnya ayat al-qur’an harus ditangkap sesuai dengan pendapat akal.

Pemikiran rasional agamis dalam dalam pendekatannya terhadap Islam diusahakan sesuai dengan pendapat akal dengan sarat tidak bertentangan dengan ajaran absolut tersebut (Qur’an dan hadist). Berbeda dengan pemikiran tradisional, peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran Al-Qur’an dan hadist tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang jumlahnya mat banyak. Menurut Harun perbedaan pemikiran rasional adalah kebebasan berfikir dalam memahami ajaran Terikat pada arti lafzhi dari teks Al-Qur’an dan hadist dengan akal sebagai posisi tertinggi, sedangkan pemikiran  tradisional pemikiran yang terikat pada ijtihad ulama zaman klasik yang jumlahnya sangat banyak, pemikiran yang terikat pada arti lafzhi dari teks Al-Qur’an dan hadist sehingga sulit menyesuaikan dengan perkembangan modern.

Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh wahyu sendiri, hal itu terbukti dari banyaknya kata-kata yang dipakai dalam al-qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala tetapi juga nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tazakkaram fahima, oleh karena itu tidak heran bahwa agama Islam adalah agama rasional.

Dari pada itu perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata-kata rasional, rasionalisme dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dalat arti kata sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu, atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu, sehingga wahyu dapapt dibatalkan oleh akal, akan tetapi akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.

Dalam ajaran Islam pemakaian akal memang tidaklah diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan Al-Qur’an serta Hadist, tetapi tidak pula diikat dengan ketat, sehingga pemikiran dalam Islan hanya dibatasi teks qat’iy al-wurud dan qath’iy ad-dalalah, absolut benar datangnya dari Allah. Kedua hal inilah yang membuat pemikiran dapat berkembang dalam Islam dan perkembangan itu tidak keluar dari ajaran dasar Islam.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Harun, lanjut Cak Nur, telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity.

Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis. Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. Kini, persis 5 tahun wafatnya, Harun seakan terus 'hidup' melalui gagasan dan pemikirannya.

Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah “barang” baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut.  Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan “baru” tersebut. Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme. Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno. Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir. Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.

Bila kita mengamati perkembangan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 dibandingkan pemikiran Harun, maka kita akan melihat warna berbeda dalam pemikiran Harun Nasution. Warna berbeda itu bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat, sekulerisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistis, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang yang ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajian yang dilakukan terhadap salah satu topik kurang mendalam dan mengena. Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi terhadap ormas/parpol. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol (entah dia pendiri atau hanya sebatas anggota dan simpatisan). Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh tersebut adalah murni pemikirannya. Perspektif lain yang bisa memperlihatkan warna berbeda pemikiran Harun Nasution adalah fokus yang digelutinya pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah sebagai suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum.

Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.

Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.

Diambil dari beberapa sumber.