Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni

Judul buku : Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Ar-Ruzz, 2004
Tebal: 460 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok kosong


Membaca Islam Murni tidak hanya cukup dengan “narasi permukaan” belaka, namun harus menggunakan model pengkajian “narasi tak terbaca”, sehingga tampak segala agregasi kepentingan yang berkelindan dalam wacana dan ideologi Islam Murni. Selama ini, yang hadir dalam kajian Islam Murni selalu dipermukaan saja. Oleh karena itu, buku ini merupakan sebuah karya genial menampilkan sebuah kekritisan dan genialitas penulisnya yang tidak tanggung dan superfisial. Walhasil, akan hadir pemahaman-pemahaman baru tentang wacana dan ideologi Islam Murni.

Pemahaman baru yang lahir dari rekonstruksi genial tersebut kembali didukung dengan parafrasa borjuis-proletar, sehingga penulis berhasil membongkar persoalan substansial yang terjadi pada masalah-masalah keagamaan yang selama ini begitu parsial menghegemoni pemahaman umat. Dengan memenangkan konteks daripada teks, berbagai tafsir baru mengemuka yang sangat sensitif terhadap wong cilik dan kaum tertindas. Darisana pula lahir tafsir pluraltas, tafsir pembebasan, tafsir heterogenitas dan tafsir-tafsir lain yang membumio. Oleh karena itu, berdialektikalah dalam wacana yang akan terus melakukan dekonstruksi.

Tafsir atas ajaran agama (baca: Islam), masih kerap menunjukkan adanya keterputusan pemahaman akan pesan agama dengan tindakan etis dan real pembebasan. Agama masih seringkali dimaknai dalam kerangka "tameng" belaka, simbol kesalehan saja dan jauh dari praktek keberpihakan terhadap kaum papa. Padahal secara historis, kelahiran Islam selain membawa misi pembebasan juga ditengarai terbuka ruang tafsir yang memunculkan pluralitas. Tak salah, jika dalam sejarah Islam kemudian muncul aneka sekte (kalam dan fiqih) yang bisa disimpulkan; bahwa Islam adalah agama yang menyejarah (karena lahir 15 abad lalu di Makkah dan menyebar ke wilayah lain sehingga terjadi akulturasi) dan mengakui adanya perbedaan.

Tetapi, hal itu tampaknya dipahami secara sempit oleh gerakan Islam murni model Muhammadiyah dan Persis. Dua gerakan pemurnian itu yang mendapat pengaruh dari Wahabi (Arabia) dan pembaruan dalam dunia Islam (Abduh-Rasyid Ridha) selain mengusung wacana kebenaran tunggal (tafsir) bahwa Islam adalah agama final sehingga dalam memecahkan masalah harus kembali ke al-Qur`an dan sunnah, juga mengidealisasikan kehidupan nabi. Karenanya, Islam murni tidak memberi ruang adanya praktek populer dan budaya lokal. Sebab, kedua hal itu dianggap bid`ah. Lebih parah lagi, ada semacam pemaksaan bahwa keberagamaan Islam murni sebagai satu-satunya jalan "keselamatan" yang harus diikuti.

Nalar yang diusung oleh gerakan Islam Murni itulah yang dikritik dan disingkap adanya tabir ideologi dibalik metamorfosis gagasan dan nalar model Islam murni, karena ditengarai penulis selain meninggalkan problem inheren, juga telah menempatkan Islam dalam fakta a-historis. Lebih parah, ternyata ideologi Islam murni, di mata penulis, mementingkan kesalehan individual dan tidak mengapresiasikan "perubahan sosial" kaum miskin. Tak salah, kalau bagi penulis (alumnus Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini), ideologi Islam murni itu dibaptis sebagai (ke)agama(an) kaum borjuis.

Ada beberapa kritik yang dilancarkan Khalik berkaitan cara berpikir, gagasan dasar dan metamorfosis dari gagasan Islam murni. Pada level terbaca, di antara kritik yang dilancarkan Khalik berkaitan pemahaman Islam yang oleh Islam murni dipandang statis. Padahal pemahaman Islam di mana pun tak pernah satu. Ia selalu berdialog dengan sejarah dan kesempurnaan Islam jika merujuk surat al-Maidah 3 haruslah dipahami bahwa; kesempurnaan Islam terletak dalam konteks generik (moral) bukan pada aspek legal-institusional. Pemahaman itu, muncul sebab "teks" ditafsirkan secara "leterlek". Tanpa melihat konteks dan menyejarahkan teks, jelas akan membawa agama justru untuk Tuhan, bukan untuk manusia.

Juga, ketika Tuhan digambarkan secara abstrak, sebagai Sang Penguasa dan Yang Berkehendak tanpa pernah ada kejelasan lebih lanjut. Jelas hal itu, selain tidak membumikan dan menyejarahkan Tuhan, lebih jauh juga memberikan "tembang kenangan" bagi kaum miskin untuk menjadikan agama sebagai nina bobo saja. Apalagi saat gagasan dasar yang diusung oleh Islam Murni; diklaim yang paling benar dan satu-satunya jalan keselamatan setelah kembali ke al-Qur`an dan sunnah.

Tak berlebihan, jika gerakan Islam murni kemudian dengan semena-mena menuduh ritual dan praktek lokal (seperti mitoni, selamatan, maulid nabi dan diba`an) dianggap bid`ah dan sesat. Jelas saja, kenyataan itu menurut Khalik berarti telah menafikan adanya tafsir lain dan "kebenaran lain" pada aliran yang berbeda dengan Islam murni. Padahal, kebenaran Islam itu tidak tunggal, juga ritual agama itu adalah masalah individual dan yang lebih penting lagi; semua kebenaran itu datang dari Tuhan! Karenanya klaim sepihak itu merupakan kecerobohan mendasar.

Dilihat dari basis sosial dengan memandaskan kelahiran dan eksisnya Islam murni yang dipeluk orang perkotaan dari pedagang dan pegawai, Khalik melihat bahwa cara berpikir Islam murni; selain tidak berupaya "membebaskan" kaum papa, juga menjadi alat ampuh bagi kelompok borjuis; untuk melindungi kepentingannya dengan baju sakralitas keberagamaan. Sebab, agama hanya pada dataran simbolisme belaka dan bahkan tidak dijadikan elemen pembebasan bagi wong cilik.

Apalagi ditopang mobilitas sosial berupa sekolah formal, media massa dan keterlibatan berpolitik. Tidak salah, gerakan Islam murni dalam bangunan relasi ditengarai Khalik kerap "tak akur" dengan proletar Marhaen, proletar komunis dan proletar santri. Sebaliknya, dengan borjuis-kolonial-Belanda dan borjuis-Cina-Pariah malah kerap akur dan terjadi simbiosis. Jelas saja, itu merupakan tantangan baru bagi generasi (keempat) dari kaum santri baru baik dari Muhammadiyah, NU, Kelompok Usroh, maupun kalangan santri radikal (untuk lebih jelasnya akan tantangan ini bisa dibaca dalam buku karya penulis yang baru berjudul "Santri Baru" [Gerigi Pustaka; 2004]).

Sayangnya, buku yang ditulis dengan menabuh genderang kritikan menohok ini lebih menitikberatkan gagasan pemurnian Muhammmadiyah dibanding dengan Persis. Padahal, dalam gerakan pemurnian Islam sendiri penulis telah menyebutkan pula gerakan lain seperti Padri, Sumatra Thawalib, Serikat Islam (SI) dan Masyumi. Bisa jadi mungkin benar, karena Persis tidaklah lama eksis sebagai sebuah gerakan. Juga, keberadaan SI dan Masyumi lebih pada wilayah atau ke akses politik daripada sebagai paham keagamaan.

Selain itu, kekurangan lain dari buku karya penulis yang "menderita" ini adalah tak fair-nya dalam memberikan balance sebagai penyeimbang dalam kritik yang dilancarkan. Dengan kata lain, Khalik sama sekali tak menelusuri akar sejarah perkembangan dan pertumbuhan Muhammadiyah dan Persis melainkan lebih menitikberatkan pada ketokohan Ahmad Dahlan dan A. Hasan. Tak pelak, sumbangan besar Muhammadiyah dan Persis dalam kesejahteraan umat, kemudian seolah-olah terkuburkan.

Meski begitu, buku yang secara teknis merupakan kelanjutan dari buku Islam Borjuis Islam Proletar (2002) ini telah membentangkan satu pengertian bahwa kebenaran akan logika tunggal seperti yang diusung gerakan Islam murni merupakan pilihan tidak mengenal pluralitas, membunuh kreativitas beragama, mematikan nalar dan menempatkan wahyu pada ruang a-historis. Karenanya, bagi khalik, purifikasi adalah satu bentuk kekerdilan dikarenakan Islam merupakan kekuatan plural.

Dicopy dari beberapa sumber.