Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rezim Anti-Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia

Rezim Anti-Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia
Penulis: Reda Manthovani, SH, LLM, dan R. Narendra Jatna, SH, LLM
Penerbit: Malibu, Jakarta, April 2012, xv + 163 halaman

Timbunan duit yang menggunung dari hasil kejahatan membuat Al Capone kebingungan. Ia lalu menginvestasikan sebagian kecil uang haramnya untuk membuka usaha laundromats (mesin otomatis pencuci pakaian). Ternyata cara ini cukup ampuh untuk mengelabui para penegak hukum agar tidak diketahui asal-usul uangnya.

Kisah Al Capone itu dianggap sebagai cikal bakal munculnya istilah money laundering atau pencucian uang. Versi lain menyebutkan, istilah pencucian uang pertama kali muncul dalam tulisan di surat kabar Amerika Serikat yang memuat berita skandal Watergate pada 1973. Sementara itu, dalam konteks hukum, istilah pencucian uang pertama kali digunakan dalam perkara hukum di pengadilan Amerika Serikat pada 1982.

Sejak itu, pencucian uang mulai diterima dan digunakan dalam penegakan hukum di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Sejarah singkat pencucian uang itu diulas dalam bagian pertama buku bertajuk Rezim Anti-Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia. Penulis buku ini adalah dua jaksa, Reda Manthovani dan R. Narendra Jatna. Mereka masing-masing masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon, Banten, dan Kepala Kejaksaan Negeri Cibadak, Jawa Barat.

Pengalaman mereka sebagai jaksa, sekaligus pengajar di Pusdiklat Kejaksaan, Ragunan, Jakarta Selatan, turut memperkaya tulisan dalam buku setebal 163 halaman ini. Dalam buku ini, kedua penulis tidak hanya mengulas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang). Secara sistematis, duo jaksa ini juga menguraikan aspek-aspek yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Misalnya, apa saja dampak negatif pencucian uang dan modus-modusnya. Mereka pun secara khusus membeberkan kategorisasi delik pencucian uang.

Buku yang dilengkapi pengantar dari mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Yunus Husein, ini menguraikan beberapa terobosan baru yang ada dalam UU Pencucian Uang. Satu di antaranya adalah sistem pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof) atau pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 78. Menurut pasal itu, hakim dapat memerintahkan terdakwa menjelaskan asal-usul hartanya yang oleh jaksa diduga diperoleh dari hasil kejahatan pencucian uang.

Lalu terdakwa diberi kesempatan membuktikan di pengadilan bahwa harta yang diperolehnya itu berasal dari sumber yang sah. Namun, jika terdakwa gagal membuktikannya, hakim dapat memutuskan harta terdakwa disita untuk negara. Sistem pembuktian terbalik ini pertama kali digunakan dalam sidang perkara kasus mafia pajak dengan terdakwa mantan pegawai pajak Bahasyim Assifie pada Januari 2011.

Dalam persidangan, hakim menilai Bahasyim gagal membuktikan hartanya berasal dari sumber yang halal. Karena itu, hakim memutuskan, uang milik Bahasyim sebanyak Rp 60,8 milyar dan US$ 681,147 yang oleh jaksa diduga hasil pencucian uang disita untuk negara. "Ini yang dikenal dengan istilah memiskinkan koruptor," ujar Reda Manthovani.

Konsep follow the money atau mengikuti aliran uang yang menjadi roh dalam pengungkapan kasus pencucian uang diulas secara khusus pula dalam buku ini. Menurut penulis, selama ini, pola pikir aparat penegak hukum dalam menyidik kasus-kasus korupsi masih merujuk pada konsep follow the suspect, yakni mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu dicari pelakunya.

Padahal, pengungkapan kasus tidak boleh hanya berhenti dengan ditemukannya pelaku. Untuk itu, perlu dilengkapi dengan konsep follow the money untuk mengusut asal-usul harta pelaku, apakah diperoleh dari hasil korupsi atau bukan. Boleh dibilang, ini menjadi bagian paling penting dari keseluruhan isi buku.

Sujud Dwi Pratisto