Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku: Temanku, Teroris?

Temanku, Teroris?
Penulis: Noor Huda Ismail
Penerbit: Hikmah, Jakarta, Juli 2010, xxi + 386 halaman

Tragedi Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 masih menyisakan kisah yang tercecer. Sisi kemanusiaan dari peristiwa kelam itu tetap menarik disimak. Bukan hanya dari sisi keluarga korban, melainkan juga dari sisi keluarga pelaku. Bahkan kisah perjalanan hidup pelakunya pun tak kalah menarik dibaca.

Itulah yang diuraikan Noor Huda Ismail lewat buku semacam biografi dua sahabat yang menempuh jalan berbeda. Sekaligus pembelaan untuk menghapus stigma yang melekat pada Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, tempat keduanya menuntut ilmu sebelum memilih jalan masing-masing.

Sosok pertama adalah Fadlullah Hasan alias Mubarok, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Tokoh kedua adalah penulis buku ini sendiri, yang sempat memilih menjadi wartawan The Washington Post dan kini menjadi dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang.

Hampir setengah isi buku ini mengungkap perkelanaan Mubarok menuju pintu jihad. Sebuah perjalanan panjang dari Malaysia ke Pakistan, lalu ke kamp pelatihan untuk ikut bertempur membebaskan bumi Afghanistan dari cengkeraman pasukan Rusia. Ceritanya memang detail. Sayangnya, tidak sedetail cerita Omar Nasiri, agen ganda yang berhasil merasuk ke jantung pelatihan Al-Qaeda di Afghanistan, dalam buku Inside the Jihad.

Mubarok cukup banyak mengungkap bagaimana ia menjalani pelatihan di kamp Akademi Militer Mujahidin Afghanistan di bawah pimpinan tokoh bernama Abdur Robbir Rasul Sayyaf. Ia mengaku menjadi satu dari 22 orang anggota Angkatan Keenam Mujahidin Indonesia yang masuk Afghanistan dari jalur Malaysia dan Pakistan. Di situ ia tidak hanya menimba ilmu Islam yang menekankan soal jihad, melainkan juga keahlian militer --dari latihan kemahiran menggunakan beragam senjata hingga perakitan bom.

Ia juga bertutur ihwal pengalaman bertempur melawan pasukan Rusia. Agaknya, ceritanya pada bagian ini baru sebagian kecil dari yang sesungguhnya bila menilik kehadirannya di Bumi Khurasan sekitar empat tahun. Dari Afghanistan, Mubarok pun dikirim ke Filipina untuk membantu perjuangan muslim Moro di Mindanao, Filipina. Di situ, ia dipercaya menjadi instruktur.

Noor Huda menuangkan riwayat hidupnya dalam dua bagian tersendiri. Di sini, dia agaknya bermaksud mengungkap kedekatannya dengan Mubarok yang jadi mentornya di Pesantren Ngruki. Di bagian ini pula ia seperti ingin memberi latar cerita ihwal pilihan jalan hidupnya sendiri yang berbeda dibandingkan dengan sang mentor. Juga perkelanaannya sebagai koresponden The Washington Post, teristimewa ketika meliput tragedi bom Bali I.

Rupanya, peristiwa mengenaskan yang merenggut ratusan jiwa di kawasan Legian, Bali, itu pula yang mempertemukan kembali dia dengan sang mentor. Untuk kali ini, pertemuan itu dalam situasi dan kondisi yang sungguh berbeda: seniornya itu sudah jadi pesakitan yang ditemuinya di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Noor Huda menuturkan sebagian dialognya dengan Mubarok dalam beberapa kali pertemuan.

Dari dialog-dialog itulah kita bisa paham seberapa jauh keterlibatan tokoh bernama asli Utomo Pamungkas itu dalam kasus bom Bali I. Kita dapat melihat betapa tali persaudaraan dan kesetiakawanan begitu erat terjalin di antara para mujahid lulusan Afghanistan. Pada saat yang sama, terkuak pula, tak banyak orang berani mengambil risiko menjalin silaturahmi dengan Mubarok, termasuk alumni Ngruki sekalipun, setelah tertangkap dan dihukum.

Selebihnya, buku ini mengisahkan akibat tragedi itu dari dua sisi: keluarga korban dan keluarga pelaku. Semua ditulis dari sudut pandang murni kemanusiaan. Noor Huda tidak cuma mengungkap kondisi keluarga sang mentor, melainkan juga meneropong keadaan keluarga salah seorang korban. Membaca buku ini, kita seolah terbawa dalam arus emosi mereka yang telibat di dalamnya.

Erwin Y. Salim