Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Sirah Shahabat

Judul: Sirah Shahabat
Penulis: DR. Abdurrahman Ra'fat al-Basya
Penerbit: Pustaka As-Sunnah, Jakarta, Juni 2010, 554 halaman

Sejarah bukan hanya untuk dicatat. Tapi, di balik sejarah, ada hikmah yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi mendatang. Mengenang sejarah masa lalu, dengan keagungan akhlak para pelakunya, adalah keniscayaan untuk diteladani.

Karya DR. Abdurrahman Ra'fat al-Basya ini, yang menghimpun sejarah 60 sahabat Nabi Muhammad SAW, adalah salah satu ikhtiar menampilkan akhlak terpuji di hadapan publik. Enam puluh sahabat utama itu, dari Anas bin Malik yang banyak merawikan --bersama Abu Hurairah r.a.-- hadis sampai Amr bin al-Ash yang sangat kondang ketika menjadi panglima perang dan pernah menjadi gubernur.

Juga, ada Abdurrahman bin Auf dan Abdulah bin Abbas atau kondang dengan Ibnu Abbas. Abdurrahman adalah muhajirin yang ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pertama kali masuk Madinah, ia minta ditunjukkan pasar. Tujuannya untuk berniaga. Dari seorang pedagang kelontong, akhirnya Abdurrahman menjadi seorang konglomerat besar yang sangat tawadhu'.

Jasa-jasa Abdurrahman kepada Islam dan keluarga Nabi Muhammad SAW tak perlu diragukan lagi. Ia bersedekah tanpa menghitung. Sepeninggal Rasulullah SAW, para janda Nabi Muhammad SAW secara ekonomi ditanggung oleh Abdurrahman. Walaupun seorang konglomerat, ia berpenampilan sederhana. Jika dia sedang berada di tengah-tengah pegawainya, orang yang belum mengenalnya tidak akan bisa menebak, bahwa satu di antara mereka adalah Abdurrahman, sang konglomerat. Tak ada beda dalam hal pakaian, juga penampilan yang lainnya.

Ibnu Abbas lain lagi. Ia seorang cendekiawan yang diberi hikmah oleh Allah dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Ia adalah anak dari paman Rasulullah SAW dan besar di lingkungan keluarga Rasul. Sepeninggal Rasulullah SAW, Ibnu Abbas tumbuh menjadi ulama yang sangat dihormati. Rumahnya menjadi universitas, majelis-majelisnya selalu dipadati jamaah yang ingin mendengar tausyiah dan pendapat-pendapatnya tentang berbagai persoalan.

Di masa Ali menjadi khalifah, ada sebagian pasukannya yang memisahkan diri. Yang dulunya adalah pendukung setianya, berbalik memusuhinya. Mereka adalah kelompok khawarij. Ibnu Abbas mendatangi Ali dan memohon izin untuk melakukan dialog dengan kelompok khawarij. Awalnya, Ali mencegahnya, khawatir jika Ibnu Abbas malah terancam jiwanya. Tapi, Ibnu Abbas berhasil meyakinkan Ali, bahwa dirinya akan baik-baik saja. Barulah Ali setuju.

Maka, berangkatlah Ibnu Abbas ke markas Khawarij. Sebagian menerima, tapi sebagian juga ada yang menolaknya. Di antara yang disoal kaum khawarij adalah mengapa Ali membebaskan dan tidak menjadikan perempuan-perempuan yang kalah dalam peperangan Jamal sebagai tawanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam perang Jamal tersebut, antara Ali dengan Aisyah, dimenangkan oleh Ali. Dan Aisyah dipulangkan dengan cara yang terhormat.

"Bukankah Allah telah berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 6, "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Jika kalian berpendapat bahwa Aisyah sebagai tawanan, maka kalian sungguh sudah keluar dari Islam. Jika kalian berpandapat bahwa Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian juga sudah keluar dari Islam," Ibnu Abbas berargumentasi.

Atas hujjah-hujjah yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, sebanyak 20.000 dari kelompok ini kembali ke barisan Ali, sedangkan 4.000 orang memilih tetap pada pendiriannya.

Apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ini sebenarnya memberi pelajaran kepada kita, bagaimana memberlakukan kelompok-kelompok sempalan atau sesat tapi mengatasnamakan Islam. Yang perlu dilakukan terhadap kelompok-pkelompok ini adalah dialog, dan dipatahkan argumentasi-argumentasi mereka. Dengan cara itu, jika mereka menyadari kesalahan-kesalahannya, insya Allah mereka akan kembali kepada ajaran yang benar.

Buku sirah ini mengungkap sisi-sisi kehidupan generasi awal Islam, dengan beragam etnis dan profesi, yang dibingkai dengan akhlakul karimah. Ia menjadi oasis di tengah kegersangan akhlak yang kian kentara.

Herry Mohammad