Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku: Rendra dan Teater Modern Indonesia

Sedikitnya 150 undangan hadir di Gedung Lembaga Indonesia-Prancis di Jalan Sagan, Yogyakarta, Kamis 30 November lalu. Siang itu diluncurkan buku Rendra dan Teater Modern Indonesia terbitan Kapal Press, Yogyakarta, November 2000. Acara peluncuran diselingi kisah proses penerbitan buku oleh Edi Haryono, sambutan Rendra, dan bedah buku oleh Bakdi Soemanto, dosen Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Buku setebal 323 + xxv halaman itu adalah hasil kerja keras Edi Haryono, yang pernah menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sejak 1974 hingga 1987. Selama dua tahun Edi menghimpun tulisan -berita, kolom, kritik seni- yang ada di harian serta majalah, selama kurun waktu 1967-2000. "Setelah terkumpul, saya membaginya menjadi tujuh bab," kata Edi.

Buku Rendra dan Teater Modern Indonesia ini adalah satu dari empat buku yang bisa dihimpun Edi tentang Rendra. Buku lainnya berjudul Menonton Bengkel Teater Rendra, Membaca Kepenyairan Rendra, dan Ketika Rendra Baca Sajak. Buku Rendra dan Teater Modern Indonesia dibuka dengan bab menulis drama, kemudian berturut-turut: menjadi aktor dan membentuk Bengkel Teater.

Beberapa penulis mencoba menceritakan bagaimana pertama kalinya Rendra menulis drama, menjadi aktor, dan saat ketika ia membentuk Bengkel Teater. Di dalam bab pertama itu, budayawan Umar Kayam menyumbangkan tulisan, "Lahirnya Seorang Aktor". Kayam berkisah tentang Rendra di tahun 1954. Waktu itu, tulis Kayam, Rendra telah tumbuh sebagai aktor dan sutradara di Yogyakarta.

Tapi, Rendra sering seenaknya mengatur jadwal kedatangan, sampai- sampai ia diancam oleh teman-temannya agar mengubah kebiasaan buruknya itu. Rendra tak membantah tulisan Kayam tersebut. Ia hanya tertawa ketika menceritakan kembali apa yang ditulis Kayam itu. Dengan senyum yang mengembang, Rendra mengakui bahwa dulu ia seorang yang mbeling, tak mau mengikuti aturan.

Dalam bab-bab berikutnya, beragam soal yang menyangkut aktivitas Rendra bisa dibaca, dengan sederet penulis yang cukup kondang. Nama- nama seperti Goenawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Fuad Hassan, Arifin C. Noer, Arswendo Atmowiloto, Yudhistira ANM Massardi, dan Sardono W. Kusumo ikut memeriahkan tulisan yang dihimpun dalam buku ini.

Mitsuo Nakamura, pakar antropologi dan kebudayaan Asia Tenggara dari Universitas Chiba, Jepang, menulis khusus tentang sosok "si burung merak" dengan judul "Rendra". Nakamura mengurai perjalanan Rendra dengan misi dan visi kebudayaannya. Menurut dia, Rendra punya andil sebagai perajin peradaban modern. "Dan kita hanya bisa takjub memandangnya," tulis Nakamura.

Secara keseluruhan, membaca buku ini ibarat mengikuti perjalanan karier seorang Rendra, sampai di usianya yang ke-64 tahun kini. "Kliping-kliping seperti ini sangat menarik dan didambakan para peneliti sastra," kata Bakdi Soemanto. "Setidaknya bisa diketahui tanggapan orang terhadap pentas-pentas Rendra yang pernah dilakukannya."

Peluncuran buku bertambah semarak ketika panitia menampilkan "kebolehan" anak-anak yang tergabung dalam Bela Studio, Jakarta, yang dipimpin Edi Haryono, editor buku. Empat belas anak berpakaian seadanya tampil dengan melantunkan lagu: Benderakau, Aku Ingin Terbang, dan Uang, dengan suara fals, tak kompak, saling memarahi kalau ada yang salah -pokoknya polos.

Acara ditutup dengan sandiwara musikal, Tuyul Anakku, yang juga dimainkan Bela Studio. Naskah yang ditulis Rendra itu disutradarai Edi Haryono. Lagi-lagi, penonton dihibur oleh "kemampuan" akting anak-anak Bela Studio yang serba kedodoran dan belepotan, spontan, tapi justru terkesan "murni" dan "nyeni".

Herry Mohammad dan Sawariyanto