Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku: Nasihat Untuk SBY

Nasihat Untuk SBY
Penulis: Adnan Buyung Nasution
Penerbit: Kompas, Jakarta, April 2012, xxiv +312 halaman

Suasana bekas gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, itu kumuh. Bangunannya terkesan rapuh. Dulu, semasa Orde Baru, gedung itu merupakan tempat "pembuangan" tokoh tua dan pensiunan yang ditampung sekadar untuk penghormatan, balas jasa, atau supaya tidak menjadi barisan sakit hati.

Tak mengherankan bila pada awal April 2007, ruangan di dalam gedung itu kosong melompong dengan bau yang tak sedap. Jangankan peralatan untuk bekerja seperti komputer, meja, dan kursi pun belum ada. Padahal, gedung itu akan ditempati Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang baru saja dilantik.

Jelas saja suasana gedung itu membuat anggota Wantimpres Bidang Hukum, Adnan Buyung Nasution, tidak nyaman. Begitulah kira-kira gambarannya ketika tokoh yang senang disapa Bang Buyung itu mengawali langkahnya di kantor Wantimpres, yang kemudian berakhir dengan ketidaknyamanan pula.

Awal kisah, Bang Buyung menjadi anggota Wantimpres bermula pada Jumat, 21 Maret 2007. Sekitar pukul 18.00, usai melakukan medical check-up, pria kelahiran 20 Juli 1934 itu beristirahat di Lounge Meritus Hotel Mandarin Singapura. Tiba-tiba, pakar hukum berjambul putih itu ditelepon Menteri Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, yang dikenalnya sejak berpangkat kolonel.

"Bang Buyung, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden yang anggotanya sembilan orang. Bapak Presiden minta Bang Buyung menjadi salah satu anggotanya." Penjelasan Sudi lewat sambungan telepon itu membuatnya terkejut. Apalagi, presiden berniat mengumumkan nama-nama anggota Wantimpres itu pada Sabtu keesokan harinya.

Dari cerita awal itu, Bang Buyung mengisahkan lika-liku perjalanannya selama menjadi anggota Wantimpres angkatan pertama (2007-2009) dalam buku ini. Ia mengisahkan pula bagaimana penunjukannya itu diwarnai dengan gesekan di antara orang-orang di sekitarnya yang ia mintai pendapat. Maklum, ia dikenal sebagai aktivis vokal yang selalu berada di luar struktur pemerintahan, sehingga kesediaannya menjadi anggota Wantimpres diartikan sebagai tindakan menjual diri kepada SBY.

Salah satu yang dibahas dalam buku setebal 310 halaman ini adalah pengalaman Bang Buyung dalam menerobos birokrasi. Padahal, Wantimpres merupakan lembaga setingkat menteri yang tugasnya memberikan nasihat, baik diminta oleh presiden maupun tidak diminta. Tapi yang terjadi, menurut Bang Buyung, seorang anggota Wantimpres harus "bergerilya" dan rajin bertanya apakah rekomendasi berisi nasihat dan pertimbangan sudah dibaca dan diketahui presiden.

Bang Buyung pun mengisahkan, setelah pelantikan di Istana Negara, Wantimpres langsung dibrifing oleh Presiden SBY. Materinya menyangkut desakan kuat dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melaksanakan Amandemen Kelima UUD 1945 berkaitan dengan penguatan fungsi DPD. Dalam hal ini, presiden meminta pendapat Wantimpres mengenai alasan-alasan perlu-tidaknya melaksanakan Amandemen Kelima UUD 1945.

Pada rapat pertama, Adnan Buyung ditunjuk menjadi ketua panitia karena amandemen UUD 1945 menyangkut soal hukum. Saat itu, sempat terjadi perdebatan antara Bang Buyung dan Rachmawati Soekarnoputri, anggota Wantimpres Bidang Politik, yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak boleh diubah.

Karena perdebatan berlangsung alot, disepakati untuk menyusun suatu rancangan bersama antara Wantimpres Bidang Hukum dan Bidang Politik mengenai perlu-tidaknya amandemen UUD 1945. Perbincangan pun mengerucut ke masalah perlu dibentuknya Komisi Negara, yang bertugas melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Hasil pandangan Wantimpres itu kemudian diserahkan kepada Rizal Basri, Sekjen Wantimpres, untuk disampaikan kepada presiden.

Setelah tiga bulan menunggu, belum ada tanggapan dari presiden mengenai rekomendasi yang disusun Wantimpres itu. Sehingga dalam sebuah pertemuan, Ali Alatas yang ketika itu menjabat sebagai Wantimpres Bidang Hubungan Internasional menanyakan kepada presiden. Rupanya presiden mengaku tidak pernah menerima rekomendasi itu. Presiden kemudian menanyakan hal itu kepada Mensesneg Hatta Rajasa dan Sudi Silalahi. Keduanya ternyata juga tidak tahu hasil rekomendasi Wantimpres tersebut. Lho, apa yang terjadi?

Belakangan diketahui, Rizal Basri memberikan hasil rekomendasi itu melalui jalur birokrasi. Padahal, sekiranya ada komunikasi yang teratur dan periodik dan ada jalur khusus, Wantimpres bisa dalam posisi tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat guna memberikan pendapat dan nasihatnya dalam hal kebijakan presiden yang bermanfaat untuk kepentingan umum. Apalagi, Wantimpres jarang diundang dalam sidang kabinet, meskipun statusnya setara dengan menteri.

Dalam bagian lain, Bang Buyung mengkritik kebiasaan Presiden SBY dalam mengadakan rapat di luar kota. Misalnya sidang Kabinet Indonesia Bersatu di Istana Tampak Siring, Bali. Selain tempatnya jauh dari Ibu Kota sehingga tidak efektif dan efisien, jalannya rapat itu pun monoton. Hanya presiden yang berbicara, tidak ada komentar, tidak ada tanggapan, atau bahkan dialog.

Satu-satunya yang berani mengacungkan tangan untuk berbicara adalah Buyung. Saat itu, ia memprotes dan merasa nasihatnya tidak dihargai SBY. Sebelum itu, SBY melaporkan Zaenal Maarif ke Polda Metro Jaya atas kasus pencemaran nama baik. Ketika itu, politikus Partai Bintang Reformasi tersebut menuding SBY sudah punya istri dan anak sebelum masuk Akabri.

Padahal, Buyung memandang langkah SBY untuk melapor ke Polda itu kurang tepat, meskipun kepergiannya ke Polda untuk masalah pribadi. Tapi SBY ternyata tetap melaporkan kasus itu. Sebagai Wantimpres Bidang Hukum, jelas Buyung merasa kesal karena posisinya tidak dihargai. Tapi, dalam kesempatan itu, SBY mengakui kesalahannya secara gentleman.

Ada beberapa rekomendasi dan pertimbangan Wantimpres yang tidak dilaksanakan Presiden SBY. Satu di antaranya, ketika presiden menandatangani Undang-Undang (UU) Pornografi yang menjadi polemik di masyarakat. Sebelumnya, Wantimpres Bidang Hukum merekomendasi agar presiden tidak menandatangani undang-undang itu meskipun telah disetujui DPR.

Undang-undang itu memang tetap akan berlaku setelah tenggang waktu 30 hari tanpa tanda tangan presiden. Tapi, Buyung menilai, bila presiden tidak menandatanganinya, itu menunjukkan sikap penghormatan terhadap kebinekaan yang berkembang di masyarakat.

Buyung juga membeberkan sederet contoh lain yang memperlihatkan presiden tidak mendengar nasihat dan pertimbangan Wantimpres Bidang Hukum. Satu di antaranya, pengangkatan Mardiyanto sebagai Menteri Dalam Negeri menggantikan Muhammad Ma'ruf yang sakit permanen. Beberapa hal lain yang juga tidak mendapat tanggapan presiden adalah evaluasi UU ITE, evaluasi daftar pemilih tetap, RUU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta penerbitan Perpu Pengadilan Tipikor.

Walau demikian, Buyung juga mengakui, ada sejumlah pertimbangan dan rekomendasinya yang didengarkan dan dilaksanakan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan seleksi calon hakim konstitusi dan pengajuan satu calon saja untuk Gubernur Bank Indonesia ke DPR. Ada pula nasihat untuk tidak membubarkan Ahmadiyah, menunda pembahasan RUU Rahasia Negara, tidak memberi gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto, dan pemilihan pelaksana tugas pimpinan KPK dengan membentuk Tim 5.

Penerbitan buku ini memang segera menuai kecaman, terutama dari Sudi Silalahi, yang menuding Buyung telah melanggar undang-undang. Menurut ketentuan undang-undang, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya. Selain itu, secara etika juga dipertanyakan, mengingat kejadiannya masih hangat dan presidennya masih memegang jabatan.

Namun, seperti tertulis dalam bukunya, Bang Buyung punya jawaban dan siap mempertanggungjawabkan penerbitan buku ini. "Karena keberadaan Wantimpres dengan segala status, wewenang, dan privilege dibayar dari dan oleh uang rakyat, maka harus ada pertanggungjawaban kepada rakyat atas tugas konstitusional yang diembannya," tulisnya.

Ade Faizal Alami