Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

China's Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina

China's Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina
Penulis: John & Doris Naisbitt
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, xxv + 255 halaman

Tak diragukan lagi Cina adalah fenomena dahsyat abad ke-21. Perkembangan ekonominya yang berada di atas 8% per tahun dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir ini telah membawa negeri itu sebagai kekuatan enonomi nomor dua dunia setelah Amerika Serikat. Malah, menurut perkiraan, kalau pertumbuhannya terus melejit seperti sekarang ini dengan konstan, ia bakal meninggalkan Amerika paling lambat pada 2027. Itu perkiraan yang ditarik Golden Sach.

Mungkin kedahsyatan itulah yang menarik John Naisbitt dan istrinya, Doris, dua ahli membaca masa depan berdasarkan kecenderungan yang terjadi sekarang, ikut "turun gunung" untuk nimbrung ngomong tentang Cina. Maklumlah John mengajar di beberapa universitas di negeri semilyar manusia itu, sedangkan Doris juga guru besar luar biasa di Universitas Yunnan. Maka, terbitlah buku yang judul aslinya China's Megatrends: The 8 Pillars of a New Society.

Untuk menerbitkan karya itu, persiapan Naisbitt tak main-main. Dengan dukungan penuh Pemerintah Cina dia mendirikan Naisbitt China Institute dan didukung oleh 28 periset andal dari dua universitas negeri yang terbilang oke di negara itu. Tapi, justru di situlah letak kelemahan dari buku ini, lantaran ia telah meninggalkan objektivitas. Walaupun begitu, hal itu bisa dimengerti karena pada kata pengantarnya ia dengan tegas mengatakan, buku ini berbicara tentang Cina sesuai dengan apa yang ingin dikatakan oleh negeri itu. Karena itulah, buku ini bisa dibilang alat propaganda.

Ada delapan faktor yang, menurut Naisbitt, menjadi pendorong mengapa Cina maju dengan kencang dan menjadi fenomena khusus. Ia mengatakan, sabda Deng Xiaoping setelah berhasil menyingkirkan para lawannya kaum Maois menjelang 1980 yang berbunyi "emansipasi pikiran" adalah salah satu kata kunci. Memang, dari situ lahirlah rangkaian kebijakan di bawah nama seperti "sosialisme dengan karakteristik Cina" dan "sistem ekonomi pasar sosialis".

Dari situ pula keluar berbagai slogan seperti "sosialisme tak berarti kemiskinan" dan "membuat sebagian kecil makmur dan kemudian menyebarkan kemakmuran itu ke semua orang, secara ideologis benar". Pada dasarnya, itu berarti mempraktekkan ekonomi kapitalis dengan mempertahankan sistem politik sosialis yang bermakna melestarikan kekuasaan Partai Komunis Cina (PKC) sebagai penguasa tunggal. Atau dengan kata lain memadukan perkembangan ekonomi dengan otoritarianisme. Memang, itulah tujuan utama reformasi Deng.

Suami-istri Naisbitt mengumpamakan para pemimpin Cina sejak Deng Xiaoping sampai sekarang sebagai dewan direktur sebuah perusahaan. Mereka memimpin sebuah badan usaha yang hampir bangkrut lantaran para direkturnya yang terdahulu (baca: Mao Zedong dan kliknya) lebih mementingkan egalitarianisme ketimbang kemajuan perusahaan. Untuk memperbaiki perusahaan yang hampir lumpuh itulah perlu tindakan banting setir. Dari situlah reformasi berawal.

Pada salah satu bab Naisbitt mengatakan, salah satu kunci keberhasilan Cina adalah karena para pemimpinnya mampu bekerja dengan tenang dan dengan rencana kerja yang jauh ke depan. Itu terjadi karena mereka tak dipusingkan oleh pemilihan umum, pergantian partai dan pemimpin yang berkuasa, tuntutan ini dan tuntutan itu yang datang dari massa dan tetek bengek yang umumnya berlaku di negeri-negeri yang mempraktekkan demokrasi liberal.

Untuk itu, Cina punya sistem tersendiri yang disebut sebagai "demokrasi vertikal" atau demokrasi dari atas sebagai alternatif dari "demokrasi horizontal" yang berlaku di Barat. Dengan kata lain, Cina telah berhasil menciptakan suatu sistem ekonomi, sosial, dan politik yang bertentangan dengan praktek yang berlaku di Barat. Sejarah dan tradisi Cina yang begitu panjanglah yang mendukung berlakunya sistem tersebut.

Kalau kita menengok ke sejarah Cina, sejak masa paling kuno sampai permulaan abad ke-20, rakyatnya selalu berada di bawah pemerintahan totaliter. Pemerintahan Kuomintang atas dasar alasan bahwa Cina masih berada dalam masa transisi setidaknya masih mempraktekkan sistem kediktatoran. Dan PKC sebenarnya meneruskan tradisi ini, walaupun harus diakui sosialisme dan komunisme bukanlah berasal dari tradisi Cina. Jadi, demokrasi buat Cina adalah barang asing dan tak sesuai dengan keribadian bangsa.

Yang disebut sebagai "demokrasi vertikal" itu adalah demokrasi dari atas. Intinya, pimpinan PKC melemparkan isu tentang suatu kebijakan dan mengundang semua tingkat pimpinan partai dan pemerintahan untuk mendiskusikannya dan kemudian memberi masukan. Namun, begitu suatu keputusan sudah diambil, semua tingkat administrasi harus tunduk pada keputusan tersebut. Ini sebenarnya bukan barang baru. Dalam sistem Marxisme-Leninisme ada istilah "sentralisme demokrasi". Itu juga dipraktekkan oleh Republik Rakyat Cina (RRC) semasa Mao Zedong.

Alhasil, sebenarnya praktek para pemimpin Cina sekarang masih belum beranjak dari ajaran Mao. Hanya saja targetnya dialihkan ke ekonomi, bukan lagi perjuangan kelas dan revolusi seperti yang diajarkan Mao. Simak saja sikap membiarkan sebagian orang makmur dan kemudian menyebarkan kemakmuran itu. Itu sejalan dengan ajaran Mao tentang revolusi yang bagaikan percik api di tengah padang rumput yang mampu menyebar menjadi kebakaran besar akibat tiupan angin. Demikian pula demokrasi vertikal yang mirip sentralisme demokrasi.

Hal lain yang membikin buku itu sebagai alat propaganda adalah materi yang dipakai sebagai dasar penyusunan. Tim penyusun yang dipimpin Naisbitt hanya menggunakan materi dasar yang berasal dari sumber-sumber pemerintah, mulai dari koran-koran resmi, artikel, dan berbagai pernyataan yang dikeluarkan para pemimpin Cina. Bahkan, para pengamat independen dari dalam Cina sendiri mempertanyakan masalah sumber ini. Sebab ia sama sekali tak mengacu ke banyak penerbitan yang lebih independen atau para pengkritik kebijakan yang sering disebut sebagai kaum pembangkang, yakni mereka yang kritis terhadap kebijakan penguasa.

Sukses Cina tak disangsikan lagi berkat ekonominya yang berbasis pada ekspor. Cina adalah penghasil produk secara besar-besaran yang, sayangnya, tak mampu diserap oleh konsumen dalam negerinya. Maklumlah, sebagian besar rakyat Cina tak mampu membeli komoditas yang dihasilkannya sendiri. Karena itu, produk Cina membanjiri dunia seperti yang kita saksikan sekarang. Kalau ini berlangsung terus, akan terjadi pengangguran global lantaran produk negara lain tak mampu bersaing. Hasilnya adalah krisis ekonomi global dan, kalau itu terjadi, "keajaiban Cina" juga akan berakhir.

Versi bahasa Cina dari buku itu terbit sebelum versi bahasa Inggris terbit. Itu digunakan untuk memberikan keterangan kepada publik Cina tentang segala sukses yang telah diraih oleh pemerintah Cina untuk mencapai posisi sebagai kekuatan global dan dihormati oleh masyarakat dunia. Dengan demikian buku ini sama seperti pujian tentang keberhasilan penyelenggaraan Olimpiade terakhir. Dan itu pula yang membuat karya Naisbitt bisa dipandang sebagai alat propaganda.

Ini juga sebagai pendorong untuk memompakan nasionalisme, setelah publik Cina tak lagi percaya akan sosialisme dan komunisme ala Mao yang telah membawa kesengsaraan selama lebih dari 20 tahun. Pekerjaan rumah bagi para pemimpin Cina tentunya bagaimana menyebarkan kemakmuran itu kepada 1,3 miyar manusia Cina. Seperti yang dijanjikan Deng Xiaoping.

Kini buku tersebut terbit dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Ini juga bisa dianggap sebagai propaganda atas sukses Cina dalam usaha mencapai posisinya sebagai negara kelas dunia.

Sebagai propaganda untuk menebalkan semangat nasionalisme Cina, buku ini sangat berharga. Maklumlah, karena "kegenitan" Mao selama lebih dari 20 tahun untuk memaksakan prinsip egalitarianisme sebagai inti dari sosialisme, rakyat sudah tak percaya lagi akan sosialisme. Nasionalisme kini berada di depan.

Namun, ada pelajaran sangat berharga dari buku ini: memperlihatkan betapa pentingnya pemerintah yang kuat, barisan pemimpin yang tak plin plan dan punya komitmen untuk memajukan bangsa dan memberi kemakmuran pada rakyat. Demikian juga pesan tentang perlunya sebuah partai dominan. Ditambah lagi dengan tidak adanya korupsi.

A. Dahana
Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia