Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Alternatif Indonesia

Sejarah Alternatif Indonesia
Penulis: Malcolm Caldwell & Ernst Utrecht
Penerbit: Djaman Baroe dan Sajogyo Institute, Yogyakarta, 2011, 544 halaman

Selama ini, perspektif sejarah nasional yang dominan cenderung melihat terbentuknya Indonesia sebagai kekuatan gerak evolusi ke arah integrasi. Kekuatan gerak itu bisa berakar pada "kejayaan masa lalu", sebagaimana dikemukakan M. Yamin. Atau spirit apokaliptis seperti yang melekat dalam ideologi Ratu Adil, yakni suatu imajinasi tentang kegemilangan yang akan menjelang. Itu tampak, misalnya, pada tradisi historiografi yang disusun Sartono Kartodirdjo, empu sejarah modern Indonesia.

Cara pandang semacam itu sangat berbeda bila dibandingkan dengan buku sejarah karya kolaboratif Ernest Utrecht dan Malcolm Caldwell ini. Buku Sejarah Alternatif Indonesia ini merupakan karya sejarah yang secara eksplisit menunjukkan pendekatan marxis dan Indonesiasentris.

Di titik inilah kita bisa menemukan sisi alternatif dan kajian sejarah Indonesia. Pendekatan marxis kelihatan jelas pada cara pandang kedua penulis dalam melihat sejarah Indonesia dengan menghadapkannya pada pertumbuhan kapitalisme. Kedua penulis memang beraliran kiri.

Di sini penulis menunjukkan bagaimana praktek pemerintah kolonial melalui berbagai eksperimen kebijakannya --dari periode VOC, Daendels, Raffles, Van Der Capellen, Cultuurstelsel, ekonomi liberal, hingga politik etis. Menurut Utrecht-Caldwell, itu merupakan bagian dari upaya menopang aktivitas ekonomi kapital.

Dalam konteks inilah negara Indonesia dibentuk (state formation). Negara lahir dan hadir guna memfasilitasi kepentingan kapital yang telah berkembang di suatu kawasan (negeri jajahan). Berbagai kebijakan itu merupakan "previous accumulation" untuk memberi jalan lempang bagi masuknya kapital. Dari segi ini, apa yang dipaparkan Caldwell dan Utrecht seakan menegaskan kembali kebenaran pernyataan Bertold Brecht: "Bukanlah komunisme yang radikal, melainkan kapitalisme."

Sudut pandang marxis mewarnai setiap bab buku ini. Dalam konteks akselerasi dan akumulasi kapital yang difasilitasi negara kolonial hingga negara Orde Baru, misalnya, dalam buku ini dipaparkan bagaimana proses marjinalisasi dan ketercerabutan rakyat dari sumber-sumber produksi terjadi.

Kekerasan kemanusiaan, persoalan HAM, kemiskinan, ketidakadilan --pembantaian orang-orang PKI dan kasus aneksasi Timor Timur-- juga menjadi sorotan penulis. Maka, investigasi Utrecht dan Caldwell dapat membantu kita melihat sejarah panjang yang berlangsung dari masa pemerintahan kolonial pimpinan Daendels hingga Orde Baru.

Menariknya, perjalanan panjang sejarah itu tidak diabstraksikan ke tingkatan filsafat sejarah, misalnya dengan mencari pola gerak sejarah. Kedua penulis justru melihatnya sebagai perspektif dalam melihat bagaimana partikularitas sejarah. Satu ilustrasi penting dari abad ke-19 yang dibedah di situ menjelaskan bagaimana arus ekonomi politik global pada waktu itu turut menentukan formasi negara kolonial yang sedang menancapkan cengkeramannya di Bumi Pertiwi.

Ambil contoh tatkala Belanda memutuskan membuka Hindia Timur untuk ekonomi internasional dan pasar bebas dengan berdirinya perusahaan-perusahaan yang dilindungi Undang-Undang Agraria 1870 dan berbagai aturan lainnya. Itu sebenarnya merupakan "syarat dan pelengkap" bagi berdirinya negara.

Lebih jauh, dalam Bab 3 dipaparkan bagaimana proses penciptaan negara-bangsa itu ditempuh dalam beberapa cara. Pertama, perlunya modal ekonomi para pengusaha perkebunan dan pengusaha pertambangan untuk membeli peralatan, menggaji buruh dan menopang mereka, sampai keuntungan yang memadai mulai bertambah. Kedua, modal sosial: jalan, jawatan kereta api, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, dan segala kebutuhan infrastruktur yang sangat penting untuk melayani investor dan administrasi.

Ketiga, impor untuk segala jenis barang yang dibutuhkan: dari mesin, perkakas, baja, hingga berbagai tipe barang modal lainnya untuk orang Eropa. Juga barang-barang konsumsi mewah untuk penduduk kulit putih. Keempat --ini yang paling penting karena kegagalan di bidang ini akan membahayakan bidang lainnya (jika bukan menutup seluruh opsi tersebut)-- adalah pasukan, mesiu, dan dana yang dibutuhkan untuk menciptakan rust en orde. Dengan konfigurasi ini, sempurnalah sebuah bentuk negara yang kita kenal dengan Hindia Belanda --cikal bakal yang kelak menjadi negara Indonesia.

Tak hanya itu. Buku ini juga memuat banyak informasi yang disingkapkan untuk pertama kali. Dengan kekayaan data yang dimiliki, berbagai tesis yang dipaparkan penulis buku ini amat relevan dan kontekstual untuk menjelaskan kondisi bangsa hari ini. Sekaligus demi menerangi masa lalu yang semula (demi kepentingan politik rezim Orde Baru) sengaja dihilangkan, sehingga absen dari teks-teks "sejarah resmi" yang dipelajari generasi muda negeri ini di bangku-bangku sekolah.

Misalnya, bagaimana menjelaskan muasal dominasi kekuatan ekonomi asing di balik pertumbuhan ekonomi negeri ini? Kehadiran buku ini di tengah-tengah khalayak pembaca di Tanah Air kiranya dapat membantu menjawab pertanyaan fundamental tadi dari sudut pandang sejarah. Kedua penulis buku ini dengan sangat cermat dan didukung akurasi data yang cukup kaya memakai kacamata ekonomi politik dalam menguraikan bahwa semua itu berkaitan erat dengan skema Jepang dan Amerika Serikat. Terutama sejak terjadi Perang Pasifik, perundingan Renville, peristiwa 1965, dan beberapa momen historis lain di negeri ini.

Ketika pertama kali terbit dalam versi bahasa Inggris pada 1978, buku ini dapat dianggap sebagai tonggak penting kemunculan tradisi historiografi kritis atas sejarah Indonesia modern pada dekade pertama Orde Baru (1967-1978). Di sini, Utrecht-Caldwell mengangkat dua isu fundamental yang perlu dibantah untuk memberi alternatif bagi hegemoni ingatan tidak saja yang dipaksakan rezim pada masa itu, melainkan juga menyajikan sudut pandang yang berbeda dari pembacaan sejarah yang banyak dipengaruhi studi kesarjanaan Belanda, Inggris Raya, Australia, dan Amerika.

Pertama, menolak versi hegemonik yang menjelaskan bahwa tidak ada yang rasional atau bermanfaat secara ekonomi di bawah pemerintahan Soekarno. Juga bahwa di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia memulai pengalaman ekonomi yang sehat dan bermanfaat.

Untuk itu, pada Bab 7 buku ini diketengahkan pembahasan tentang reformasi agraria yang terjadi selama 1960-an dan dibatalkan seiring dengan huru-hara politik 1965. Paparan tentang fase ini menjadi salah satu penanda penting yang menjadi pengingat keseriusan usaha-usaha pemerintahan Soekarno untuk menangani isu-isu ekonomi selama periode 1960-1965.

Juga penting dicatat, usaha ideologis dari masa Soekarno selama dua dasawarsa (1945-1965) dalam rangka membangun kesatuan bangsa tidak dipersoalkan lagi ketika Orde Baru muncul. Sebaliknya, dalam kerangka yang sama, buku ini justru menempatkan kebijakan-kebijakan ekonomi rezim Soeharto dalam suatu kerangka kembalinya Indonesia pada situasi kolonial: eksploitasi oleh modal asing.

Kedua, menanggapi secara kritis pendapat bahwa Orde Baru adalah suatu pemulihan demokrasi dalam menghadapi ancaman kediktatoran komunis. Untuk keperluan yang satu ini, penulis memberikan uraian rinci tentang kebangkitan tentara dan kekuasaan militeristik yang melatari situasi penindasan segera setelah Orde Baru berdiri.

Ambil contoh situasi tahanan politik di Pulau Buru, manipulasi pemilu pertama pada 1971, dan cara-cara rezim menangani aksi-aksi protes mahasiswa tahun 1974 dan 1978. Bagian ini menemukan fokus pembahasannya pada peningkatan peran tentara yang secara formal diwujudkan dalam doktrin Dwifungsi.

Kini, setelah lebih dari 32 tahun berlalu, sejak 1978, banyak karya sejarah yang ditulis dengan semangat lebih-kurang sama dengan buku ini. Seandainya edisi bahasa Indonesianya terbit lebih awal pada 1980-an, beriringan dengan versi aslinya, tentu kehadiran buku ini akan memberi kontribusi lebih besar bagi "penyelamatan" memori kolektif bangsa dari hegemoni "sejarah resmi", sebagaimana tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia.

Rusman Nurjaman
Peminat sejarah, bergiat di Ifada Initiatives, Yogyakarta