Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia
Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia
Penulis: Abdul Aziz Hakim
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, 284 halaman
Konsepsi negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu ketatanegaraan sekarang ini. Tapi, dalam praktek ketatanegaraan, banyak kalangan masih pesimistis apakah negara hukum itu memang sudah sepenuhnya dijalankan. Hal ini dapat dipahami karena dalam prakteknya, negara hukum itu seolah hanya mitos dan belum pernah terbukti. Alasan mendasar ambiguitas negara hukum itu bersumber pada rapuhnya penegakan hukum.
Begitu juga Indonesia. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, konsepsi negara hukum atau "rechtstaat", yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi.
Persoalannya, implementasi penegakan hukum itu sangat lemah dan melenceng dari konsep ideal negara hukum itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat negara. Korupsi semakin merajalela tanpa ada penegakan hukum yang setimpal. Walhasil, negara hukum menjadi simbol paradoksal bagi bangsa ini.
Pada dasarnya, negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya, kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segala tingkah lakunya harus berlandaskan hukum. Tapi kesadaran semacam ini tampak belum membudaya dalam penegakan hukum di Indonesia. Sehingga orientasi hukum cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara ataupun rakyat sendiri.
Buku ini merupakan catatan pemikiran Abdul Aziz mengenai eksistensi penerapan konsepsi negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritisi secara mendalam penerapan hukum yang carut-marut karena masih menggunakan paradigma positivisme. Paradigma ini sering mengidentikkan hukum hanya seperangkat aturan yang sudah disahkan negara (ius constituendum).
Apa pun keputusan hukum dari negara tetap menjadi alat legitimasi bagi para penguasa negeri ini. Akibatnya, arah kebijakan hukum di Indonesia selalu terkooptasi oleh kepentingan aparat negara dan elite penguasa, sedangkan rakyat bawah menjadi korban legitimasi konsepsi hukum positivisme yang terkesan benar dan tepat.
Ciri yang sangat menonjol aliran positivisme ini menyatakan bahwa sumber-sumber hukum adalah kekuasaan, yaitu negara. Apa yang dianggap hukum adalah peraturan tertulis yang dibuat dan disahkan oleh negara. Dengan demikian, semua aturan di luar undang-undang dianggap bukan sebagai hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat untuk berlaku dan ditaati. Walhasil, dapat diasumsikan, salah satu sebab lemahnya hukum di Indonesia, penerapannya masih berdasarkan kaidah-kaidah tekstual.
Lebih jauh penulis memaparkan, wajah hukum yang sangat positivistik menyebabkan keinginan menerapkan hukum berdasarkan nilai-nilai sosiologis dan filofis menjadi dilematis. Fenomena ini kita lihat, misalnya, dalam tindak pidana.
Seorang pencuri sandal seharga Rp 20.000 dengan cepat dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan ketentuan pasal Kitab Undang-Undang Pidana, dengan alasan tekstual karena si pencuri terbukti memenuhi unsur pencurian. Tapi coba lihat bagaimana dengan pencuri uang milik negara sebanyak Rp 20 milyar. Prakteknya, sulit sekali dia dikenai hukuman setimpal.
Dua kasus itu, dilihat dari sisi tekstual, memang tetap mendapatkan sanksi hukum, tapi secara sosiologis ataupun filosofis tentu memiliki ukuran yang sangat berbeda. Kondisi inilah yang merisaukan masyarakat terhadap keadilan hukum itu sendiri (halaman 173).
Dalam kondisi seperti ini, penegakan reformasi memang sulit, tapi wajib dilaksanakan. Substansi yang dapat dipetik dari buku ini adalah gagasan tentang harus adanya dekonstruksi hukum dari yang berparadigma posistivistik ke arah hukum berbasis paradigma kritis, progresif, dan responsif berlandaskan pada nilai-nilai sosio-kutural keindonesiaan.
Romel Masykuri
Peneliti Renaisant Institute, Yogyakarta
Penulis: Abdul Aziz Hakim
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, 284 halaman
Konsepsi negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu ketatanegaraan sekarang ini. Tapi, dalam praktek ketatanegaraan, banyak kalangan masih pesimistis apakah negara hukum itu memang sudah sepenuhnya dijalankan. Hal ini dapat dipahami karena dalam prakteknya, negara hukum itu seolah hanya mitos dan belum pernah terbukti. Alasan mendasar ambiguitas negara hukum itu bersumber pada rapuhnya penegakan hukum.
Begitu juga Indonesia. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, konsepsi negara hukum atau "rechtstaat", yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi.
Persoalannya, implementasi penegakan hukum itu sangat lemah dan melenceng dari konsep ideal negara hukum itu sendiri. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat negara. Korupsi semakin merajalela tanpa ada penegakan hukum yang setimpal. Walhasil, negara hukum menjadi simbol paradoksal bagi bangsa ini.
Pada dasarnya, negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya, kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segala tingkah lakunya harus berlandaskan hukum. Tapi kesadaran semacam ini tampak belum membudaya dalam penegakan hukum di Indonesia. Sehingga orientasi hukum cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara ataupun rakyat sendiri.
Buku ini merupakan catatan pemikiran Abdul Aziz mengenai eksistensi penerapan konsepsi negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritisi secara mendalam penerapan hukum yang carut-marut karena masih menggunakan paradigma positivisme. Paradigma ini sering mengidentikkan hukum hanya seperangkat aturan yang sudah disahkan negara (ius constituendum).
Apa pun keputusan hukum dari negara tetap menjadi alat legitimasi bagi para penguasa negeri ini. Akibatnya, arah kebijakan hukum di Indonesia selalu terkooptasi oleh kepentingan aparat negara dan elite penguasa, sedangkan rakyat bawah menjadi korban legitimasi konsepsi hukum positivisme yang terkesan benar dan tepat.
Ciri yang sangat menonjol aliran positivisme ini menyatakan bahwa sumber-sumber hukum adalah kekuasaan, yaitu negara. Apa yang dianggap hukum adalah peraturan tertulis yang dibuat dan disahkan oleh negara. Dengan demikian, semua aturan di luar undang-undang dianggap bukan sebagai hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat untuk berlaku dan ditaati. Walhasil, dapat diasumsikan, salah satu sebab lemahnya hukum di Indonesia, penerapannya masih berdasarkan kaidah-kaidah tekstual.
Lebih jauh penulis memaparkan, wajah hukum yang sangat positivistik menyebabkan keinginan menerapkan hukum berdasarkan nilai-nilai sosiologis dan filofis menjadi dilematis. Fenomena ini kita lihat, misalnya, dalam tindak pidana.
Seorang pencuri sandal seharga Rp 20.000 dengan cepat dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan ketentuan pasal Kitab Undang-Undang Pidana, dengan alasan tekstual karena si pencuri terbukti memenuhi unsur pencurian. Tapi coba lihat bagaimana dengan pencuri uang milik negara sebanyak Rp 20 milyar. Prakteknya, sulit sekali dia dikenai hukuman setimpal.
Dua kasus itu, dilihat dari sisi tekstual, memang tetap mendapatkan sanksi hukum, tapi secara sosiologis ataupun filosofis tentu memiliki ukuran yang sangat berbeda. Kondisi inilah yang merisaukan masyarakat terhadap keadilan hukum itu sendiri (halaman 173).
Dalam kondisi seperti ini, penegakan reformasi memang sulit, tapi wajib dilaksanakan. Substansi yang dapat dipetik dari buku ini adalah gagasan tentang harus adanya dekonstruksi hukum dari yang berparadigma posistivistik ke arah hukum berbasis paradigma kritis, progresif, dan responsif berlandaskan pada nilai-nilai sosio-kutural keindonesiaan.
Romel Masykuri
Peneliti Renaisant Institute, Yogyakarta