Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Publik untuk Integritas Publik dan Politisi

Etika Publik untuk Integritas Publik dan Politisi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Juni 2011, xiii + 216 halaman

Mengapa ajaran moral dan religiusitas individual gagal menjamin lahirnya pejabat berintegritas? Padahal itu adalah prasyarat bagi pelayanan publik yang berkualitas, mudah, dan murah. Mengapa pula kejujuran dan keberanian pribadi seorang pejabat tidak cukup untuk membendung banalitas korupsi sekaligus memastikan perubahan sosial yang berintikan keadilan, kemajuan, dan kesejahteraan?

Buku ini menyajikan refleksi filosofis dan kritis terhadap kedua pertanyaan tersebut. Haryatmoko berpandangan, buruknya pelayanan publik selama ini berakar pada terabaikannya etika publik. Yakni, refleksi filosofis tentang standar atau norma yang menentukan baik/buruk atau benar/salah suatu tindakan dan keputusan. Membudayakan etika publik, katanya, merupakan dasar bagi terwujudnya pelayanan publik.

Etika publik memiliki tiga dimensi: tujuan (policy), sarana (polity), dan aksi politik (politics). Dimensi tujuan diterjemahkan sebagai "upaya hidup baik" melalui perwujudan kesejahteraan bersama. Sarana merupakan dimensi etika publik yang diwujudkan dalam usaha membangun infrastruktur etika dengan membuat regulasi, hukum, aturan main yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan publik yang faceless. Sedangkan dimensi aksi politik tidak lain adalah integritas publik yang ditandai dengan rasionalitas tindakan dan keutamaan moral seorang pejabat publik. Tindakan publik dikatakan rasional bila pelaku memiliki orientasi pelayanan dan paham persoalan.

Menurut si penulis buku, pejabat publik hendaknya diisi oleh aktor-aktor yang mampu menjalankan ketiga dimensi tersebut secara optimal. Maka, pejabat publik perlu pula membekali diri dengan tiga kompetensi dasar. Pertama, kompetensi teknis yang merupakan inti profesionalisme pelayanan publik. Cakupannya adalah pengetahuan ilmiah yang relevan dengan bidangnya dan pemahaman yang baik tentang hukum agar bisa melaksanakan tugas secara benar. Selain itu juga mengenai manajemen organisasi berupa kemampuan merencanakan dan melaksanakan program, kepiawaian merajut dukungan dan jaringan stakeholder, serta keandalan menggunakan teknologi informasi.

Kedua, kompetensi kepemimpinan (leadership). Aspek pentingnya adalah keterampilan manajemen organisasi, manajemen sistem sebagai hard skill, dan keterampilan komunikasi, negosiasi dan kepemimpinan simbolis sebagai soft skill-nya. Meski secara riil hal itu sulit tercapai, seorang pemimpin harus memahami bagaimana keputusan-keputusan dibuat dan pelayanan-pelayanan publik disediakan. Pemimpin juga harus mampu memfasilitasi kerja sama, menjembatani konflik kepentingan, dan kemampuan persuasif demi menumbuhkan simpati dan kepercayaan publik.

Ketiga, kompetensi etis meliputi manajemen nilai, pengembangan moral, dan etika organisasi. Keterampilan etika dibentuk oleh (1) kesadaran moral sebagai basis pengambilan keputusan; (2) pemahaman etika sebagai sarana menghadapi konflik; (3) keberanian menolak perilaku yang melawan etika; serta (4) keterampilan menerapkan teori-teori etika. Kompetensi etis ini menjadi faktor terpenting dalam membudayakan etika publik. Pembudayaan etika publik diperlukan karena orang sering salah paham bahwa mengetahui berarti sama dengan melakukan. Orang bisa berkhotbah atau menasihati secara bagus, namun bisa saja tindakannya buruk.

Etika publik memfokuskan pada refleksi bagaimana menjembatani agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata. Singkatnya, etika publik merujuk pada sistem, prosedur, sarana dan modalitas yang bisa memudahkan tindakan etis.

Pemerintahan korup menyebabkan kemiskinan, sumber diskriminasi, rentan konflik dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain minimnya integritas pejabat publik, korupsi juga mekar dalam kultur politik yang ditandai oleh minimnya partisipasi dan pengawasan rakyat terhadap seluruh proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik.

Uraian buku ini memang terkesan elitis dan beberapa di antaranya mengalami pengulangan yang bisa sedikit mengganggu gairah pembaca. Tapi kehadirannya patut disambut luas karena posisinya tegas: pemberantasan korupsi dan pelayanan publik tidak cukup disandarkan pada kemauan individual dan khotbah-khotbah moral. Meskipun begitu, juga harus ditopang oleh etika institusional yang membiasakan setiap pejabat bertindak sesuai dengan aturan, terlatih bertanggung jawab, dan menjadikan pertimbangan etis sebagai basis pengambilan keputusan.

Romanus Ndau
Pengajar Politik dan Perubahan Sosial Universitas Bina Nusantara, Jakarta