Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks

Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks
Penulis: Budiarto Danujaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012, xxxv + 430 halaman

Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi, yakni bahwa di dalamnya ada jalan menuju kesejahteraan, penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda, dan saling menghargai, menjadi utopia tersendiri. Nyatanya, demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan akbar saat masa modern di Eropa belum bisa membuktikan bahwa dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda.

Silang sengkarut pendapat antarindividu, bahkan antarkelompok, seringkali berujung pada pengeliminasian yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.

Lewat persoalan inilah, Budiarto Danujaya, dosen filsafat politik Universitas Indonesia, menuliskan keluh kesahnya perihal demokrasi dalam buku berjudul Demokrasi Disensus; Politik dalam Paradoks. Demokrasi. Yang umum dipahami adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas, bahwa mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat, sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.

Jika demokrasi yang mengutamakan konsensus dipercaya mampu membawa kebaikan bagi rakyat banyak dengan mengeliminasi pihak yang tercecer dalam upaya mencapai kesepakatan, maka ia dianggap gagal. Kegagalan demokrasi konsensus ini terlihat dari ide awal yang ingin menjamin hak-hak setiap individu. Tidak terangkulnya pihak yang tercecer dalam konsolidasi kesepakatan dalam mekanisme konsensus adalah bukti gagalnya demokrasi sebagai tata pemerintahan. Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial di Indonesia menjadi cerminan tentang tidak terangkul dan terabaikannya hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.

Budiarto Danujaya menawarkan pembacaan demokrasi lewat cara yang berbeda. Ia melihat demokrasi dengan mengedepankan disensus. Ketakpercayaan bahwa sistem politik apa pun mampu menggalang konsensus dengan asas semua senang, semua terima keputusan, menjadi landasan dalam memahami demokrasi sebagai disensus. Asumsi antropologis yang dijabarkan Budiarto adalah ketidakmungkinan konsensus untuk tidak mereduksi otonomi dalam korelasi. Karena korelasi antarmanusia pada dasarnya merupakan koeksistensi antarunikum. Upaya menuju konsensus dengan sendirinya tidak akan pernah selesai karena selalu ada yang tertinggal dalam pencapaian pada satu kesepakatan.

Pengambilan keputusan dalam kerangka demokrasi disensus bukanlah pencapaian terhadap kesepakatan final, melainkan keikutsertaan pada proses politik sebagai terminal sementara dalam dinamika antagonisme berkelanjutan. Sementara itu, antagonisme merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman yang sudah menjadi sifat dasar relasi sosial. Dengan demikian, tidak mungkin merangkum segala perbedaan dalam demokrasi ke dalam konsensus. Sebagai wadah, demokrasi memiliki kapasitas menggalang harmoni dari faktisitas sosiopolitik yang beragam.

''Manusia di era ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik,'' tulis Budiarto (halaman xxx). Budiarto Danujaya ingin menegaskan bahwa demokrasi adalah penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat.

Fitri Kumalasari