Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai

Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai
Penulis: Denny JA
Penerbit: Renebook, Jakarta, April 2012, 216 halaman

Perubahan tidak melulu menghasilkan kemaslahatan. Ada ekses yang muncul di antara segudang kebaikan yang didapat: reformasi juga melahirkan diskriminasi. Setidaknya, itulah yang dialami warga di negeri ini sejak embusan angin reformasi menumbangkan rezim Orde Baru pada 1998.

Sejumlah catatan diskriminasi terekam dalam sejarah negeri ini. Kerusuhan yang membakar Jakarta, misalnya, membekaskan noda dalam kehidupan berbangsa. Tragedi yang memilukan itu membuat ribuan warga Cina meninggalkan negeri ini. Lalu, entah berapa banyak lagi pertikaian antarwarga yang berbau suku-agama-ras-antargolongan muncul ke permukaan hingga sekarang.

Itulah yang dipotret Denny lewat karya yang disebutnya puisi esai ini. Berbeda dengan sebelumnya, Denny menuangkan pikirannya dalam larik-larik puisi panjang, bukan lagi ke dalam esai mendalam sebagaimana biasa dilakukan. Temanya menyentuh persoalan nyata negeri ini --yang membuatnya juga pantas disebut sebagai puisi naratif. Di situlah daya tarik yang dapat dirasakan pembaca.

Ada lima tema besar "sejarah kelam" dipuisikan putra Palembang kelahiran 4 Januari 1963 ini. Lewat puisi "Sapu Tangan Fang Yin", ia coba merefleksikan trauma korban Tragedi Mei 1998. Lewat gadis bernama Fang Yin, seluruh peristiwa yang mengenaskan itu terpotret dengan gamblang lewat setiap larik puisinya. Subjektivitas tokoh Fang Yin pun terkesan menjadi realitas objektif kaum perempuan keturunan yang jadi korban peristiwa itu.

Peristiwa lain yang merobek-robek rasa kemanusiaan yang diangkat Denny sebagai tema puisinya adalah pertikaian berbau agama. Dramatisasi peristiwa pembantaian umat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dilakukannya lewat kisah pilu dua tokoh dalam puisi "Yuli dan Romi dari Cikeusik", yang berujung seperti drama Romeo and Juliet karya William Shakespeare.

Realitas kelam lain yang ditangkap lalu dituangkannya dalam larik-larik puisi panjang adalah kisah nestapa perempuan pekerja migran Indonesia. Sebuah tema lama, tapi memang tak pernah terselesaikan hingga kini. Yang terasa agak lebay adalah ketika Denny mengangkat tema kebebasan gay dan perkawinan lain agama. Kedua tema itu tak lagi menjadi isu yang seksi, karena reformasi sudah membuka ruang yang cukup walau belum sampai pada pengakuan terbuka seperti di negeri serba bebas.

Kalaulah kedua tema itu diniatkannya untuk memotret kondisi masyarakat prareformasi, itu memang lebih mengena. Demikian pula bila ia memotretnya dalam konteks kelompok-kelompok beragama garis keras --apa pun alirannya. Yang perlu digarisbawahi barangkali adalah bahwa tema ini pernah sangat mewarnai kehidupan bangsa di masa lalu.

Yang patut mendapat apresiasi adalah keberhasilan Denny menangkap realitas lalu merumuskannya dalam ruang imajinasi, dan menuangkannya dalam larik-larik puisi dengan rima dan irama yang terjaga baik. Tapi, apakah puisi esai ini dapat disebut genre baru dalam sastra seperti pertanyaan yang diajukannya dalam bagian pengantar, jawabnya mestilah tunggu dulu.

Pujangga Sapardi Djoko Damono dengan caranya yang halus menolak menyebut karya ini sebagai genre baru. Sekalipun Denny mencantumkan catatan-catatan kaki sebagai penguat fakta yang diangkatnya sebagai objek puisinya. Apa yang dilakukan Denny lewat kumpulan lima puisi panjang ini sudah dilakukan banyak penyair sebelumnya.

Sapardi menyebut nama W.S. Rendra dan F. Rahardi sebagai tokoh yang sudah melakukan apa yang digarap Denny sekarang. Boleh jadi, perlu ditambahkan pula dua nama lain yang juga pernah menggarap "sawah" yang sama, seperti Romo Mangunwijaya lewat Durga Umayi dan Linus Suryadi Ag dengan Pengakuan Pariyem. Apa yang disebut Denny dengan puisi esai cukup kental mewarnai karya kedua sastrawan itu.

Apa pun namanya, karya Denny telah ikut memperkaya khazanah karya sastra Indonesia. Semoga saja, seperti harapan Sapardi, kelak akan lahir puisi esai karya penulis lain yang mengangkat tema besar yang juga menggetarkan hati.