Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim

Judul: 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim
Penulis: Roger Crowley
Penerbit: Alvabet, 2011
Tebal: 408 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 90.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312


Konstantinopel adalah kota yang dibangun Kaisar Romawi Timur (Byzantium), bernama Constantine I, pada tahun 330. Kota ini sangat strategis. Letaknya di antara batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut, antara Laut Tengah dan Laut Hitam. Ia juga dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik pada saat itu.

Tak mengherankan bila Konstantinopel selalu menjadi kota rebutan bangsa-bangsa dunia, baik dari Eropa, Rusia, Afrika, Persia, Arab-muslim, bahkan Kesultanan Turki. Kekhalifahan Islam sendiri, dalam rentang 800 tahun, sudah mencoba merebutnya, tapi selalu gagal. Dimulai dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), hingga masa Kesultanan Turki Utsmani --sejak Sultan Bayazid I (796 H) hingga Sultan Murad II (1451 M).

Buku ini mengisahkan kembali keberhasilan Sultan Mehmet II (Mahmud II), putra Sultan Murad II, dalam membebaskan Konstantinopel dari tangan Kaisar Constantine XI Paleologus. Sebuah prestasi besar yang tak pernah bisa dilakukan para khalifah Islam sebelumnya.

Peristiwa ini menandai terbukanya dunia Timur Tengah menuju dunia modern yang, menurut Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi dalam bukunya, Madza Khasira al-Alam bi Inhithath al-Muslimin, telah membangkitkan kembali semangat kaum muslimin untuk mengembalikan kejayaan dan kewibawaan Islam di mata dunia pasca-keruntuhan Bani Abasyiah oleh tentara Tartar Mongol.

Konstantinopel merupakan kota laut dengan pertahanan tembok tebal berlapis dua setinggi 10 meter dan dikelilingi parit sedalam 7 meter, yang tidak mungkin bisa dikepung kecuali menggunakan armada laut. Menyadari itu, Sultan Mehmet II membawa 400 unit kapal perang, meriam-meriam penghancur, dan peralatan berat canggih lainya, dengan jumlah pasukan 150.000 personel.

Tepat pada Jumat 6 April 1453, Sultan Mehmet II bersama gurunya, Syaikh Aaq Syamsudin (keturunan Abu Bakar Shiddiq), beserta dua tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha, menyerbu benteng kota Konstantinopel. Diiringi hujan panah, tentara Islam Turki maju dalam tiga lapis pasukan. "Irregular" di lapis pertama, "Anatolian Army" di lapis kedua, dan terakhir pasukan khusus "Yanissari".

Meski segala kemampuan dengan bantuan teknologi canggih dikerahkan, Konstantinopel sulit ditaklukkan. Banyak tentara Sultan tewas dan hampir saja membuatnya frustrasi. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh harus dilakukan hanya dalam semalam: memindahkan kapal-kapal tempur melalui darat untuk menghindari rantai penghalang. Usaha ini berhasil memasukkan 70 kapal ke wilayah Selat Golden Horn hingga mengejutkan pihak musuh.

Hampir dua bulan pasukan Sultan menggempur pertahanan Konstantinopel. Hingga Selasa 20 Jumadil Ula 857 H/ 29 Mei 1453 M, hari kemenangan itu tiba. Melalui pintu Edirne, pasukan Sultan memasuki kota dan mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyah di puncak kota sebagai tanda runtuhnya kejayaan Konstantinopel. Dalam pertempuran hebat itu, Kaisar Constantine XI dikabarkan tewas, walau sampai saat ini jasadnya tidak pernah ditemukan.

Di antara reruntuhan benteng dan bangunan megah, Sultan Mehmet II membangun kota Konstantinopel kembali dan memberi perlindungan kepada penduduk taklukan untuk hidup semestinya. Sultan mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol. Kini nama itu diganti Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul.

Karya Roger Crowley ini berhasil membangun versi cerita yang begitu memikat tentang penaklukan Konstantinopel. Selama ini, peristiwa berdarah itu diceritakan para sejarawan berdasarkan asumsi terkait detail dan pertentangan di antara dua kubu yang berseteru. Karena itu, Roger berusaha menjauhkan kata "barangkali", "mungkin saja", "bisa jadi", dan istilah sejenisnya.

Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta