Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara

Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara
Penulis: Ahmad Yunus
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juli 2011, 370 Halaman

Buku ini merupakan buah ekspedisi "gila" Ahmad Yunus dan Farid Gaban yang dilakukan dalam waktu hampir setahun. Dua jurnalis ini mengelilingi Nusantara, khususnya pulau-pulau terluar, dengan sepeda motor. Mereka menyusuri jalan panjang dan berliku dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Flores, hingga Papua.

Misi Yunus dan Gaban sederhana: menguji bagaimana konsep keindonesiaan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Mereka menemui dan berdialog dengan nelayan miskin, petani berlahan sempit, penambang emas, pedagang kecil, pembuat perahu, dan pengangguran. Mencatat dan memotret apa saja yang didengar dan dilihat. Semua dilakukan secara jujur, tanpa muatan politik atau tendensi citra.

Perjalanan Yunus dan Gaban menemui kegetiran dan keindahan, silih berganti. Di Pulau Enggano dan Miangas menemukan puskesmas, rumah sakit, gedung Bulog, dan bandar udara yang berantakan. Warga belum menikmati listrik dan air bersih, hidup dalam kemiskinan karena minimnya peluang kerja dan rendahnya harga komoditas.

Memasuki Sumatera Barat, Yunus berharap bisa menyaksikan situs-situs bersejarah. Harapannya pudar ketika melihat Museum Hatta dan rumah kelahiran Tan Malaka tidak terawat. Pemerintah tak memedulikan kekayaan sejarah yang semestinya menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda itu. Pemerintah lebih sibuk mengurus mal dan pusat perbelanjaan.

Kewajiban negara melindungi warga juga masih memprihatinkan. Di Selat Malaka, nelayan tidak bisa berlayar aman. Ada saja perompak berseragam yang meneror. Setiap kapal yang lewat harus menyogok kapal-kapal patroli yang tidak lain adalah TNI-AL dan polisi. Bukannya mencegah kapal-kapal raksasa asing yang menjarah kekayaan laut Indonesia, aparat justru mengawasi, memalak, dan menindak kapal sayur dengan alasan dibuat-buat.

Trauma politik masa lalu juga terus menghantui warga di Maumere, Flores. Leonardo Lidi, 64 tahun, adalah saksi mata pembantaian 1965. Ia menyaksikan bagaimana keluarga dan orang-orang di kampungnya diikat, disiksa, dan digorok secara keji.

Kegetiran tidak berhenti sampai di situ. Pemandangan umum sepanjang perjalanan Yunus dan Gaban adalah buruknya sarana transportasi darat dan laut. Jalan berlubang, rusak, dan berlumpur. Mobilitas warga terhambat dan aktivitas ekonomi lumpuh. Mereka terbelit aneka kesulitan, kemiskinan, dan keterbelakangan tanpa kepastian kapan akan berakhir.

Sarana transportasi laut lebih mengenaskan. Kapal-kapal yang digunakan warga jauh dari manusiawi. Kondisinya rusak berat, tanpa dilengkapi penerangan, air bersih, dan pelampung penyelamat. Meski demikian, warga --termasuk ibu hamil dan bayi-- tetap menjadi pelanggan setia karena terbatasnya pilihan. Ganasnya laut tidak mereka pedulikan asal bisa sampai ke tujuan dan roda ekonomi terus berputar.

Berbagai kesulitan itu memberi pesan kuat bahwa Jakarta belum berhasil mewujudkan keindonesiaan secara jujur dan adil. Jakarta tampak arogan dan boros. Segala kebijakan dibuat tanpa terlebih dahulu mencemati kondisi daerah terpencil. Uang negara habis tersedot untuk Jakarta, sehingga daerah terpencil dikorbankan. Mudah dipahami jika kekecewaan, bahkan kemarahan, sesekali meletup seperti terjadi di Papua.

Sajian buku yang terbagi dalam enam bagian ini amat hidup dan bersahaja. Yunus seakan mengajak kita untuk ikut menari bersama ribuan lumba-lumba di Enggano, beriang hati menikmati indahnya Wakatobi dengan aneka satwa yang mempertontonkan kemolekan, hingga akhirnya mendapati diri tergeletak tak berdaya dalam kapal-kapal tua di antara tumpukan ikan dan sayur-mayur.

Sungguh buku yang memikat dan sarat informasi yang membuat kita semakin mengenal dan mencintai Indonesia. Potret hitam-putih Indonesia yang ditampilkan buku ini menggugah kita untuk lebih cermat, jujur, dan rendah hati dalam mendesain kebijakan yang lebih memberi prioritas bagi kelompok miskin dan terlupakan.

Romanus Ndau
Pengajar politik dan perubahan sosial Universitas Bina Nusantara, Jakarta