Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21

Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21
Penulis: Prof. (Emeritus) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Phd
Penerbit: Pustaka Alvabet, Jakarta, Maret 2012, viii + 274 halaman

Ratusan orang yang terdiri dari akademisi, pengusaha, dan pejabat pemerintahan memadati Financial Club Niaga Tower di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Seluruh perhatian tercurah pada guru besar ekonomi di Universitas Indonesia, Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang memaparkan prediksi keadaan Indonesia pada dekade ketiga abad ke-21.

Hari itu, Menko Perekonomian pada masa Presiden Megawati ini meluncuran buku terbarunya, Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21. Menurut Prof. Dorodjatun, buku yang ditulisnya itu merupakan permintaan para akademisi muda yang meminta dia menulis buku mengenai masa depan Indonesia di abad ke-21 ini. Permintaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan diskusi-diskusi rutin sampai ia melahirkan buku ini.

Dorodjatun menjelaskan, tahun 2030 dipilih sebagai titik tolak penerawangan terkait dengan problem demografi. Kenyataannya, saat ini Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, menurut proyeksi lembaga kependudukan dunia, penduduk bumi akan berhenti tumbuh di sekitar 2050 pada jumlah total mencapai 9,15 milyar jiwa.

Tapi, jumlah penduduk Indonesia akan tetap menjadi yang keempat terbesar di dunia. Menurut ekonom yang meraih penghargaan Mahaputra Adipradana itu, pada 2030, Indonesia berada di tengah periode demographic bonus yang akan berlangsung hingga 2040.

Periode itu merupakan jendela peluang yang tidak akan berulang kembali ke masa depan, ketika tingkat ketergantungan (dependency ratio) di Indonesia akan berada pada posisi yang terendah. Setelah 2040, peluang itu akan mulai berakhir dan akan berdampak dalam segala dimensi, baik ekonomi, sosial, bahkan politik.

Namun, sayangnya, Indonesia masih menghadapi persoalan yang sangat fundamental. Dorodjatun melihat, sejak awal negara ini berdiri, Indonesia tidak pernah memiliki sistem perekonomian yang cocok. "Kita masih mencari-cari," ujarnya kepada M. Diaz Bonny S. dari Gatra di sela-sela peluncuran buku itu.

Pada sesi dialog dengan wartawan, ia menjelaskan bahwa republik ini masih bimbang dalam menentukan komposisi yang pas antara peranan pemerintah dan dunia usaha dalam meningkatkan perekonomian negara. Padahal, sebagai bangsa, seharusnya kita menemukan jawaban tepat ihwal pembangunan perekonomian ini.

Faktor-faktor lain yang menentukan kondisi Indonesia pada 2030, antara lain masalah perkembangan regionalisme ASEAN. Seperti disepakati dalam KTT ASEAN pada 2009 di Singapura, kelak pada 2015 akan dibentuk ASEAN Economic Community (AEC). Lalu, ASEAN akan memasuki pembentukan ASEAN Socio-Cultural Community. Pertanyaannya, apakah Indonesia berhasil dengan baik dalam mencapai sasaran-sasaran Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015, seperti yang telah ditetapkan PBB?

Jawabannya harus dilihat dari berbagai aspek. Beberapa skenario tentang prospek Indonesia 2030, menurut dia, dapat dikembangkan dari jawaban atas capaian mendasar itu. Dalam bagian pertama bukunya ini, ia mengemukakan bagaimana posisi setiap negara-bangsa pada abad ke-21 harus dilandaskan pada pemahaman tentang kelemahan-kekuatan geografi, demografi, dan sejarah.

Bermula dari telaah geostrategi, mengarah ke geopolitik dan kemudian geoekonomi yang akan diproyeksikan ke segala tatanan kehidupan negara-bangsa. Perumusan geostrategi itu tidak bisa dianggap remeh dalam menuju negara-bangsa yang kuat. Sebab, geostrategi berkaitan dengan strategi nasional jangka panjang dari posisi kekuatan geografis yang dimiliki suatu negara-bangsa.

Posisi strategis Indonesia akan diperhitungkan secara lebih serius oleh semua kekuatan-kekuatan besar di dunia karena letaknya di antara dua benua dan dua samudra, serta keberadaan 4 SLOC (sea-lane of communication) di wilayahnya. Dalam percaturan global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar sejak abad ke-19, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara Asia yang sangat diperhitungkan dalam lingkup strategi mempertahankan kepentingan nasional kekuatan-kekuatan besar tersebut. Hal ini masih berlangsung hingga kini dan akan tetap muncul di pada 2030 dan seterusnya.

Luas wilayah NKRI yang membentang seluas Eropa Barat dan memiliki tempat strategis bagi transportasi laut, seperti Selat Malaka dan Selat Makasar, menambah arti penting negara ini dalam geostrategi negara-negara besar. Dalam posisi geografis yang begitu strategis itu, Indonesia perlu memperhatikan pengaruh dari perkembangan-perkembangan besar dalam peta global yang berpotensi berdampak jauh ke depan.

Di sisi lain, sumber daya alam Indonesia sangat melimpah. Kalimantan bagian belahan Utara misalnya. Di daerah yang berbatasan laut dengan Semenanjung Malaya dan Vietnam, darat dengan Negara Bagian Serawak dan Negara Bagian Sabah itu tersebar endapan gas alam dan minyak bumi, serta batu bara. Di Papua dan beberapa pulau tertentu di Sulawesi dan NTB juga terdapat endapan mineral yang dapat ditambang untuk puluhan tahun ke depan. Sehingga kekayaan Indonesia juga harus dibarengi dengan pemberantasan praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), terutama di wilayah perbatasan bagian utara dan timur.

Secara historis, Dorodjatun mencatat, perjalanan dunia pada abad ke-19 dan 20 penuh dengan cerita praktek penjarahan kekayaan alam skala besar. Itu dilakukan lewat kolusi perusahaan-perusahaan asing dengan pemerintahan-pemerintahan otoriter. Sebagian dari kolusi itu merupakan praktek mafia yang berpotensi menjerumuskan negara ke posisi failing state atau bahkan failed state. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini akan meningkat apabila pemerintah yang otoriter itu berkembang menjadi kediktatoran.

Jika Indonesia tidak mempersiapkan diri secara matang, tidak tertutup kemungkinan pada 2030 skenarionya menjadi raksasa ASEAN yang tidak berdaya. Untuk mencapai lakon kebangkitan masyarakat ASEAN pada 2030, bukan hanya diperlukan keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian, tetapi juga harus mampu menyederhanakan sistem politik, menangani berbagai gejolak sosial dan ekonomi, serta memanfaatkan tata ruang wilayah NKRI dengan sebaik mungkin.

Dalam mengelola sumber daya alam, pemerintah harus benar-benar pro terhadap kepentingan NKRI. Hal itu dimulai dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan strategis dalam menangani ketahanan energi dan ketahanan pangan. Sebuah skim nasional berjangka panjang yang mengutamakan penerapan strategi industrialisasi berbasis sumber daya alam dilaksanakan demi pemerataan proses pembangunan ke daerah-daerah penghasil sumber daya pertanian.

Dalam kaitan ketahanan energi, Dorodjatun mengingatkan, Indonesia juga perlu memperhatikan perangkap subsidi yang diberikan saat ini. Terlebih energi tak akan bertahan lama. Untuk itu, diperlukan suatu perhitungan yang tepat agar energi bisa mengatasi pertambahan penduduk. "Saya khawatir ke depan generasi muda sekarang akan mengalami kesulitan energi," katanya seperti dicatat Ade Faizal Alami dari Gatra.

Selanjutnya, perekonomian Indonesia harus bersifat bottom-up dan bersumber pada peningkatan kegiatan-kegiatan perekonomian di daerah-daerah. Dalam hal ini peranan pemerintah pusat adalah sebagai fasilitator dari kehendak masyarakat luas untuk maju dan hidup dalam sebuah negara yang adil, makmur, berdaulat, dan bersatu seperti yang diamanatkan Mukadimah dan UUD 1945.

Mengikuti alur pemikiran Prof. Dorodjatun dan membaca buku ini, kita dibawa ke beragam kemungkinan masa depan Indonesia: negara kuat dan besar, failing state, atau failed state. Ada optimisme dan tak kurang pula pesimisme bila melihat kondisi nyata negeri ini dari sekarang. Banyak parameter yang dikemukakan Prof. Dorodjatun dalam buku ini masih seperti jauh panggang dari api.

Erwin Y. Salim