Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kebudayaan Sunda

Judul: Sejarah Kebudayaan Sunda
Penulis: Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, MS, dkk
Penerbit: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2011
Tebal: 533 halaman
Stok Kosong


Tatar Sunda mulai mengenal aksara pada abad ke-5 Masehi, di era kerajaan Tarumanagara. Sejumlah bukti yang ditemukan pada prasasti Kebon Kopi, Ciarunteun, Tugu, dan Jambu yang dituliskan kira-kira pada 450 Masehi, menunjukkan bahwa ciri-ciri tipe Pallawa awal yang dipergunakan di tanah Sunda memiliki hubungan dengan aksara-aksara pada prasasti-prasasti yang ditemukan di India Selatan dan Sri Lanka pada abad ke-3 hingga abad ke-5 Masehi.

Sebagai perbandingan, banyak literatur sejarah Tanah Air menyebutkan bahwa aksara pertama kali ditemukan di wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-4 sampai ke-5 Masehi, berdasarkan prasasti yang ditemukan pada zaman Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur).

Dari dua temuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa awal perkembangan peradaban di Tanah Sunda berlangsung nyaris berbarengan dengan perkembangan peradaban di wilayah Nusantara. Aksara dalam konteks sejarah ditempatkan sebagai lambang kemajuan adab dan media yang memacu perkembangan peradaban. Selain itu, aksara digunakan sebagai satu dari sejumlah indikator yang membedakan pembagian zaman prasejarah (manusia belum mengenal aksara) dengan zaman sejarah (telah mengenal aksara).

Semangat untuk mengukuhkan kompetensi kebudayaan Sunda dalam sejarah Nusantara itu dipaparkan oleh Dra. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.Hum, di buku Sejarah Kebudayaan Sunda. Tepatnya pada Bab 4 yang berjudul Sejarah Perkembangan Aksara dan Bahasa Sunda. Elis mengemukakan hasil penelusurannya --baik yang berasal dari sumber-sumber prasasti dan naskah kuno maupun dari jelujuran sumber-sumber sekunder hasil penelitian tentang aksara sunda sebelumnya-- mengenai sejarah dan perkembangan aksara di Tatar Sunda pada era Tarumanagara, hingga perkembangan bahasa Sunda di zaman kiwari (terhitung tahun 1900 hingga kini).

Elis adalah dosen pada Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia seorang leksikograf (bidang perkamusan) dan filolog (yang mempelajari naskah-naskah kuno). Dari persinggungannya dengan naskah-naskah Sunda Kuno, Elis dalam tulisannya di buku ini hendak menegaskan kembali kesimpulan-kesimpulan yang pernah dikemukakan Profesor Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19 (2005).

Dalam buku yang merupakan materi disertasi doktoralnya di Universitas Leiden, Moriyama, yang kini menjadi profesor di Jurusan Studi Asia Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang, memaparkan bahwa orang Sunda bukanlah masyarakat kelas dua setelah etnis Jawa. Moriyama juga memberikan gambaran faktual tentang asal-muasal bahasa dan kesusteraan Sunda yang juga menjadi acuan Elis untuk menjelaskan -dalam Sejarah Kebudayaan Sunda-- bahwa bahasa yang sekarang dikenal sebagai bahasa Sunda Kuno sudah digunakan di daerah Sunda sebelum pengaruh Mataram-Jawa menyebar di wilayah Sunda pada abad ke-17.

Meski ditaruh di bab IV, uraian tentang Kebudayaan Sunda dari aspek keaksaraan merupakan petilan yang menarik (sebagai pengisi ruang perdebatan) dari sejumlah informasi sejarah lainnya dalam buku Sejarah Kebudayaan Sunda.

Buku ini dikemas sebagai -semacam-- bunga rampai yang memuat esai, laporan hasil penelitian dan penelusuran-penelurusan lainnya seputar sejarah kebudayaan Sunda. Bertindak sebagai ketua tim penulis buku ini adalah Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, MS. Sedangkan anggota tim penulisnya adalah Elis Suryani, Miftahul Falah, Undang Ahmad Darsa, Etty Saringendyanti, Awaludin Nugraha, Een Herdiani, serta dua budayawan dan sastrawan Sunda yang namanya telah dikenal dalam konstelasi kesusatraan Indonesia, Herry Dim dan Soni Farid Maulana.

Dalam menjelaskan ruang lingkup sejarah kebudayaan Sunda, buku ini mengetengahkan pelbagai pokok bahasan ke dalam tujuh bab. Masing-masing bab (kecuali bab I yang berisi pendahuluan dan bab II yang memuat paparan sejarah ) merupakan deskripsi dari unsur-unsur kebudayaan Sunda yang ditulis berdasarkan hasil penelitian oleh peneliti di bidang bahasa,seni, filologi, dan arkeologi. Hasil penelitian tersebut lantas --secara metodologis-- diberi sentuhan historiografis oleh sejarawan "pendamping".

Secara sederhana, pendekatan metodologis kesejarahan dalam buku ini dapat ditandai dengan pembagian keterangan waktu dalam pembahasan hasil-hasil penelitian pada sebagian besar bab. Terentang dari masa prasejarah, era sejarah ketika manusia Sunda telah mengenal kebudayaan, hingga masa kontemporer.

Dalam bab pendahuluan, Nina Herlina Lubis menuliskan bahwa dari tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, buku ini memilih untuk mendeskripsikan enam unsur yang mewakili --sebut saja--definisi kontemporer kebudayaan. Enam unsur tersebut adalah: Ingatan Kolektif dan Sejarah (bab II); Sistem Pengetahuan dan Kesadaran Nilai Kultural (bab III); Bahasa (bab IV); Benda Budaya (bab V), Adat Istiadat (bab VI); dan Kesenian (bab VII).

Berpijak pada unsur-unsur tersebut, cukup terbuka kemungkinan pengulangan pembahasan dalam satu bab dengan bab lainnya. Sebut saja, kemungkinan itu lahir sebagai implikasi upaya "menggabungkan" penelitian bidang kebudayaan oleh peneliti-peneliti berbeda. Namun dalam buku Sejarah Kebudayaan Sunda ini, irisan-irisan itu tidak memakan bidang yang luas dan tidak terlalu mengganggu alur pembahasan.

Sebagai contoh, materi tentang naskah-naskah Sunda Kuno dalam paparan mengenai perkembangan aksara dan bahasa Sunda (bab IV), memiliki materi irisan dengan paparan benda budaya (bab V) seputar materi naskah dan tradisi tulis Sunda Kuno. Atau irisan dalam pemaparan unsur kesadaran nilai kultural (bab III) dengan unsur perkembangan kesenian (bab VII), yang entah kebetulan atau tidak memiliki irisan juga pada penulisnya, yakni Herry Dim.

Memiuh dari informasi-informasi teknis tersebut, buku Sejarah Kebudayaan Sunda dapat ditempatkan sebagai inisiatif penggabungan aneka pembahasan tentang penelitian kebudayaan Sunda dalam struktur historiografis tertentu. Seperti diketahui, penelitian mengenai pelbagai unsur kebudayaan Sunda (secara parsial) telah banyak diungkap dalam bentuk buku, esai, dan tulisan lainnya, meski ragam telaahnya --meminjam pernyataan Ajip Rosidi dalam buku Manusia Sunda (1984)-- tidaklah banyak.

Contohnya, sebagai buru besar ilmu sejarah Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis telah menuliskan sejumlah buku terkait penelitian sejarah tentang kebudayaan Sunda. Pembahasan Nina pada bab II buku ini, yang mengambil judul Tatar Sunda dalam Lintasan Sejarah (ditulis bersama dengan Miftahul Falah), relatif terhubung dengan buku Sejarah Tatar Sunda Volume 2 yang ia susun dan diterbitkan pada 2003.

Bambang Sulistiyo